Thursday, December 26, 2013

Konfirmasi

Pasti kita tidak suka ditanya berulang kali untuk pertanyaan yang sama. Sebab kita pasti akan mengulang jawaban yang sama. Sekali dua kali masih wajar, tapi bagaimana jika terlalu sering? Misalnya kawan yang menanyakan alamat rumah, no hp, pin bb, termasuk no rekening kita ketika mereka membutuhkan? Lantas,tersimpan dimana data-data yang selama ini kita sudah berikan?

Belakangan saya baru menyadari pentingnya untuk selalu memastikan segala sesuatu sebelum bertindak. Contohnya memeriksa alamat, denah, rute, dll sebelum berangkat ke suatu tempat. Saya pernah tersesat karena tidak melihat peta terlebih dahulu. Saya juga sempat di tahan satpam perumahan, gara-gara lupa alamat rumah kawan, sementara HP saya kehabisan baterai. 

Ada baiknya kita menyimpan dengan rapi semua data yang pernah kita minta. Terlebih jika data tersebut sering kita butuhkan. Apalagi teknologi sudah memanjakan kita dengan segala aplikasinya. Tinggal kita manfaatkan saja dengan bijak. 

Tuesday, December 10, 2013

Belajar Integritas

Mengawali tulisan ini saya ingin berbagi sedikit soal buku yang belum lama ini saya baca. Dan tulisan ini memang terilhami dari buku "Follow Your Passion" karya Muadzin, salah satu pendiri semerbak coffee (SC). Di buku ini dijelaskan bagaimana dia memulai usahanya mendirikan SC bersama kawan SMPnya. Benang merah buku ini adalah soal integritas. Ya integritas. Bagaimana perjuangan Muadzin ketika masih bekerja, namun juga dalam waktu bersamaan mulai merintis usaha kopinya ini. Seperti bagaimana dia mampu memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin. Salah satunya yang patut diacungi jempol adalah dia memanfaatkan waktu istirahat untuk mengurus bisnis rintisannya. Makanan sengaja titip beli sama office boy, sehingga waktu istirahatnya maksimal untuk mengurus segala tetek bengek bisnisnya. Mulai dari desain pamplet, dll.  Dia sama sekali tidak korupsi mencuri-curi waktu kerjanya untuk mengurus bisnisnya. Dia juga tidak memakai alat kantor, bahkan sekedar telepon atau numpang printer untuk keperluan pribadinya. Sungguh luar biasa. Tak heran SC sudah menyebar ke berbagai kota. Bahkan di pojokan jalan juga sudah ada. Terakhir saya dengar, dia mulai membuka kedai kopi satu lagi yang dinamai Ranah Kopi. Meski saya belum pernah sekalipun mencicipi kopinya, tapi saya merasakan integritasnya yang tinggi melalui buku ini.

Dari buku ini, saya banyak berpikir. Termasuk juga tentang diri saya. Lalu berdentuman pertanyaan memborbardir diri. Berapa persen jiwa dan raga kita "betul-betul" tercurahkan untuk urusan kantor yang menggaji kita? Seberapa banyak potensi diri kita yang bener-bener kita serahkan untuk urusan kantor? Lalu berapa banyak juga waktu kita untuk "mencuri-curi" waktu dan berbagai fasilitas kantor untuk urusan pribadi kita?  Terlebih ketika banyak juga kita saksikan di sekitar kita yang justru melakukan perilaku curang. Menggunakan fasilitas kantor untuk urusan pribadi kita. Juga menggunakan waktu kerja untuk mengurusi urusan pribadi yang belum selesai. Termasuk juga untuk melihat, mencari barang-barang yang ingin kita beli? Rumah, mobil, baju, aksesoris, dll? Berapa banyak dari kita yang justru menggunakan telepon kantor untuk menelepon anak kita, keluarga kita, kerabat kita, teman kita? Mungkin banyak, mungkin juga tidak. Belum lagi banyak dari kita yang "melemparkan" pekerjaan utama kita dikantor ke orang lain, sementara diri sendiri justru asyik masyuk mengurusi keperluan pribadi. 

Seorang kawan bercerita, dia harus melakukan banyak pekerjaan sampingan karena tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Segera saya timpali dengan pertanyaan kalau tidak cukup mengapa masih disini? Sementara keberadaannya disini juga tidak maksimal?  

Saya tidak bermaksud menghakimi teman-teman. Saya sendiri juga masih belajar soal integritas ini. Silahkan teman-teman berkaca dan menilai diri sendiri.

www.wiedodo.blogspot.com

Jadi maunya apa?

Hari itu saya bertemu kawan lama. Ketika bersekolah dulu kami cukup dekat. Meski setelah itu kami lama tidak bertemu, terlebih saya melanjutkan kuliah di luar Jakarta. Setelah sekian banyak janji yang belum bisa dipenuhi karena kesibukan masing-masing, sore  itu kami sepakat bertemu di salah satu mall di Jakarta Barat. Sebetulnya tidak terlalu bersemangat saya ketika meninggalkan rumah. Bukannya tidak mau bertemu. Bukan tidak mau silaturahmi. Bukan itu. Entah apa penyebabnya. Tersahut di telepon beberapa hari sebelumnya, kawan ini cerita kalau dia sekarang menjadi "pengusaha". Meski belum besar, tapi lumayan hasilnya. Itu cerita dia via telepon. Dia juga menanyakan apakah saya memiliki jaringan untuk memasarkan barang-barang dagangannya. Singkat cerita kami janjian bertemu.

Hari sudah agak gelap. Lalu lintas minggu sore tidak terlalu ramai. Agak kepagian dari jadwal yang kami sepakati. Akhirnya saya masuk toko buku Gramedia untuk membunuh waktu. Tak lama, pesan bbm masuk. Dia bilang kalau sudah sampai. Segera berkemas dan bergegas menuju lantai 3 sesuai janji kami. Banyak ide, pemikiran yang berseliweran di atas kepala. Apa jadinya ya kawan sudah lebih 10 tahun tak bertemu? Ada cerita apa? Akan ada tawaran apalagi? dll Pasti seru. Batin saya. 

Tak berselang lama, dia muncul bersama kakaknya. Kami sengaja memesan tempat yang agak mojok biar bisa bertukar cerita banyak. Sembari pesan makanan, saya cek sekali lagi handphone. Kali saja orang rumah mencari. Ternyata tidak ada pesan apapun. Saya putuskan untuk menyimpannya di dalam tas. Berharap sekali waktu kami isi dengan obrolan. Bukan bertemu tapi sibuk dengan handphone masing-masing di tangan seperti meja sebelah. Agak lama, kawan ini baru meletakkan handphonenya di atas meja makan. Sembari makan kami ngobral sana-sini yang menurut saya sangat biasa. Tidak ada isinya sama sekali. Makanan sudah mulai tandas. Pikir saya, mungkin akan bisa ngobrol banyak lagi setelah makan. Tapi ternyata prediksi saya keliru. Si kawan sudah mulai sibuk dengan handphonenya. Sementara saya sekuat hati untuk tidak melongok handphone di tas. Saya sengaja ingin tahu, sebetulnya apa yang dia inginkan dari pertemuan itu. 

Satu menit, dua menit, 10, 15 menit berlalu, tanpa ada sesuatu yang berarti. Saya mulai gusar, tapi gak enak kalau harus undur diri terlebih dahulu. Saya kuatkan pantat untuk tidak tercabut dari bangku yang mendadak terasa panas. Dia masih asyik dengan handphone di tangannya. Mungkin itu yang lebih berarti daripada pertemuan itu sendiri. Pada akhirnya kami bubar setelah tagihan makanan di bayar. Sama sekali tak ada kesan yang berarti.

Di perjalanan pulang, saya berpikir, sebetulnya apa yang dimaui orang-orang seperti ini ya? Keberadaan teknologi, gadget dan seperangkat alat penunjangnya bukan hanya sudah membantu, tapi juga sekaligus  "mengganggu" hidup manusia. 

Jadi maumu apa kawan?

www.wiedodo.blogspot.com

Friday, October 11, 2013

#DhirakumaraBodhiWidana

Happy 8th months of My Son!

Semoga selalu sehat,
Sukses pendidikan,
Sukses pekerjaan,
Juga sukses kegiatan sosial kemasyarakatanmu ya!

11-02-13
11-10-13

alasan

Sebuah sore. Sebuah percakapan. Dua orang berseberangan telepon genggam saling berjanji. "Pokoknya barangnya harus dikirim besok ya Mas"ujarnya. "Iya besok pasti dikirim"sahut suara di seberang. Klek. Telepon genggam tak lagi bersuara. 

Selang keesokan, barang yang dijanjikan belum jua datang. "Mas gimana barangku kok belum dikirim?, padahal janjinya kan hari ini". Suara di seberang tersahut, "iya nih karyawanku ada yang gak masuk". Bla bla bla #

Kita semua pasti atau setidaknya pernah memberikan beribu alasan untuk sebuah janji yang tidak bisa kita tepati. Entah karena beragam sebab. Alasan pasti kita cari. Kambing hitam selalu kita cari. Alasan kita bikin agar kita "lolos" dari hukuman atas janji yang tak kita tepati. Alasan adalah cara kita berkelit untuk bebas dari hukuman. Koruptor atau bandar narkoba juga mencari beribu alasan agar lolos dari palu sidang hakim. Meski sudah terbukti bersalah, mereka akan selalu mencari cara untuk setidaknya meringankan hukumannya. Lagi-lagi alasan yang dipakai. 

Sakit bisa kita jadikan alasan untuk tidak masuk kerja. Padahal mungkin tidak sakit betulan. Sama halnya, koruptor ketika tertangkap, semua mendadak beralasan "sakit". Alasan, entah beribu cara, akan dan akan selalu dipakai untuk mengelabui janji yang sudah terucap. Seorang suami akan beralasan macet ketika terlambat menjemput istrinya belanja. Lagi-lagi alasan yang berasal dari luar diri kita. Seorang terlambat kerja, beralasan jalanan macet, padahal nyatanya yang bersangkutan memang terlambat bangun.

Kita sering sekali tidak mau mencari alasan dari dalam diri. Kita tidak pernah mau jujur mengakui memang kesalahan pada diri kita. Kita selalu mencari alasan yang berada diluar diri kita. Kita terlambat memang karena kita telat bangun, bukan karena jalanan macet. Kalau memang sudah tahu jalanan macet, mengapa bangun siang? 

Mari mencari alasan yang berasal dari diri kita. 

Monday, October 7, 2013

Belajar Berhitung ala Tukang Parkir

Hari minggu kemarin saya ada keperluan ke daerah Casablanca. Minggu pagi jalanan relatif lancar. 30an menit, sampai juga akhirnya di daerah elit itu. Seperti biasa, motor saya parkir di dekat warteg samping jalan apartemen Casablanca. Tak biasanya, kali ini seorang bapak tua menghampiri sambil memberikan "tanda parkir". Belum juga helm saya lepas, dia minta uang parkir. Saya keluarkan uang 2,000. "Empat ribu Mas" semburnya. Setengah kaget saya keluarkan uang 5,000. Dia kembalikan 2,000. Artinya saya cuma ditarik 3,000 sebagai uang parkir. Urusan dengan tukang parkir saya anggap selesai. Lalu saya berjalan menuju apartemen Casablanca.

Urusan di apartemen Casablanca tak sampai 20 menit. Saya kembali ke parkiran untuk mengambil motor. Saya acungkan tanda parkir ke orang tua itu lagi. Tergopoh dia menghampiri saya. Saya mengembalikan kartu tanda parkir. Bapak tua pun berlalu. 

Bersiap saya mengambil helm, menyalakan motor untuk berlalu. Tapi belum sempat motor menyala, bapak tua kembali dengan memberikan uang logam 500 2 buah. "Hah kok dikasih kembalian lagi" batin saya. Uang logam 500 2 buah saya terima dan langsung masuk ke kantong celana. Motor saya pacu melintas Manggarai. Di perjalanan saya sempat berpikir, bapak tua itu kok masih mau mengembalikan uang 1,000 ya? Apa dia salah hitung? Di awal ketika dikasih 2,000, dia minta 4,000. Lalu ketika dikasih 5,000, justru dikembalikan 2,000. Lalu dikembalikan lagi 1,000. 

Jadi bukankah pada akhirnya uang parkirnya cuma 2,000? 

Friday, July 26, 2013

pesta getir

Berturut-turut kita kedatangan Arsenal, Liverpool, dan terakhir Chelsea. Dengan Arsenal timnas kalah telak 7-0. Agak mendingan ketika lawan Liverpool cuma 2-0. Tapi kita dibantai lagi 8-1 sama Chelsea di pertandingan terakhir. 

Lalu apa yang kita dapatkan dari semua pertandingan itu? 

Dari segi suporter, tentu kedatangan mereka membawa kegairahan tersendiri. Dari segi klub yang datang pasti memberi keuntungan baik langsung maupun tidak langsung. Dari para pemain, selain mereka bisa dapat jersey pemain idamannya, tentu pengalaman bertanding sangat berkesan. Meski bukan lawan yang sepadan. Bahkan Mourinho, pelatih Chelsea, berseloroh kalau pemain kita gak punya passion bermain. Mungkin Mou juga setengah menyesal membawa pasukannya kesini. Jika bukan karena alasan branding, marketing, penjualan jersey, rasanya tidak mungkin mereka ke sini. 

Arsene Wenger dan Rodgers berturut-turut juga mengomentari timnas kita. Katanya kita punya potensi. Katanya kita punya pemain-pemain bagus. Katanya bla bla bla. Pokoknya yang bagus-bagus, meski terdengar kamuflase saja. 

Bagi saya yang suka nonton bola, kedatangan klub-klub eropa tak lebih sebagai opera saja.  

Lalu apa?

Lihat saja kompetisi kita? Apa menariknya? Berapa banyak penonton yang mau datang ke stadion dengan model kompetisi acang adut seperti itu? Kisruh PSSI sebagai penentu kebijakan sepakbola juga makin tak terarah. Kompetisi yang merupakan ajang pembuktian kerja mereka saja tidak pernah berjalan maksimal.


Padahal harusnya ini adalah kesempatan yang baik untuk para pengurus PSSI melihat dari dekat bagaimana sebuah klub dikelola dengan profesional. Dibanding kondisi disini, rasanya bumi dan langit. Tunggakan gaji pemain terjadi hampir di semua klub. Belum lagi klub diperlakukan tak lebih dari sebuah entitas politik semata.  

Spirit kedatangan Arsenal, Liverpool, Chelsea mungkin seperti kembang api, yang berpijar dan berkembang ketika dinyalakan. Sejenak kita bersuka cita, tapi setelah itu, perlahan padam, hilang kembali sedia kala. Menjadi pesta yang semu bin getir.

*)terilhami tulisan serupa.

Wednesday, July 17, 2013

Mas Bedjo

Mas Bedjo. Usianya sudah menginjak kepala 3, tapi tak lebih 35 tahun. Dulu dia kuliah di salah satu universitas swasta di kawasan Tembalang, Semarang. Jurusan yang dipilih teknik sipil. 

Mas Bedjo memutuskan untuk tidak melanjutkan ilmunya dalam mencari hidup. Berdagang nasi kucing menjadi pilihannya. Banyaknya mahasiswa di kawasan Tembalang menjadi konsumen potensialnya. Nasi kucing-bagi yang belum tahu- adalah jenis makanan yang berisi aneka lauk, seperti ikan, ayam, teri, plus sambal. Tentu porsi masing-masing lauk cuma secuil. Makanya disebut nasi kucing. 

Mas Bedjo tanpa sebab memilih berdagang. Baginya dengan berdagang, ia bisa leluasa mengatur dan menikmati hidupnya. Selain juga persaingan lulusan teknik sipil yang tidak berpihak kepadanya. Berdagang baginya justru lebih mematik semangat hidupnya. Berdagang membuat pikirannya terus "hidup". Berdagang membuat pikirannya "mletik". 

TV kecil menjadi hiburan di warung Mas Bedjo. Sesekali ia perhatikan berita tv. "Opo yo kuwi sing arep digowo mati" ujarnya ketika melihat berita korupsi di tv. Pejabat yang hilir mudik di tv tak lupa dikomentari. "Lha yo, pas mau jadi pegawai semua antri nyogok sana-sini, lha sekarang kok malah antri masuk penjara KPK" imbuhnya. 

#jleb


****
*)ditulis di guest house Amelia.


Sunday, June 23, 2013

22 Juni

22 Juni
Hari ini pasti berbahagia, tapi juga sekaligus sedih. Bahagia karena diingatkan kembali makna sebuah arti kelahiran. Bersedih karena jatah hidup sebagai manusia kembali berkurang. Perayaan bahagia sudah biasa digelar. Ketika sebuah kelahiran datang, bayi biasanya akan menangis. Sementara ketika kematian menjemput, justru yang ditinggalkan yang tersedu menangis. Kelahiran disambut gegap gempita seisi rumah. Kematian ditangisi seisi rumah.

22 Juni
Pertanda bahwa harus banyak kebaikan yang diperbuat. Karena jasa kebaikan inilah yang akan dibawa sebagai bekal di perjalanan berikutnya. Tak perlu lagi mati-matian mengejar apa yang tidak bisa dibawa ketika mati. 

22 Juni
Penanda hidup harus makin bermanfaat. Penanda harus menjadi lebih dewasa dan bijak. Sebab umur pasti bertambah, tapi menjadi dewasa itu pilihan. Penanda untuk terus berkawan dengan kebaikan. Sebab kebaikanlah yang akan dikenang ketika kita sudah tidak ada lagi. 

22 Juni
Pengingat bahwa Kelahiran itu adalah awal kematian (Buddha). 

Sunday, June 16, 2013

Harga Kepercayaan

Hari masih pagi ketika saya dan kawan meluncur ke barat Jakarta. Lalu lintas pagi tidak begitu ramai karena memang hari itu libur tanggal merah. Kuda besi hitam kawan mulus melaju. Meski tahun lama, tapi tenaganya masih kuat. Tujuan kami hari itu adalah rumah bisnis kawan. Saya ingin melihat dan belajar tepatnya. Beruntung kawan bermurah hati membagi. Tak banyak orang yang mau dimintai ilmu bisnisnya. Tak banyak juga bisnis yang mau "membuka" dirinya terhadap orang lain. 

Tak berselang lama, kami sampai di perumahan yang dituju. Sempat berhenti sejenak, kawan memperlihatkan selang besi yang berisi air putih limbah bisnisnya. Selang itu sendiri menempel di saluran perumahan itu. "Wid tuh liat limbahku, sengaja terpisah dari saluran" ujarnya bangga. Tepat di gang ke dua kami berhenti. Terlihat beberapa tumpukan container warna-warni. Garansi disulap menjadi pusat produksi. Kompor besar menyala. Beberapa karyawan mengaduk panci besar yang mendidih. Beberapa lainnya mengepak. Rapi dan terorganisir, itulah kesan pertamaku. Meski santai, tapi para karyawan telaten mengerjakan apa yang sudah jadi tanggung jawabnya. Rumah berlantai dua itu disulap menjadi pusat produksi bisnis kawan. Pusat semua produksi, penerimaan pesanan, administrasi, terletak di lantai satu. Sementara lantai dua dijadikan asrama untuk semua karyawan. Bisnis kawan ini meski tidak melibatkan banyak orang dan masih skala rumah tangga, tapi produknya sudah banyak tersebar di swalayan terkenal. 

Kawan terus bercerita bisnis yang sudah ditekuninya sejak 2005 silam. "Meski belum BEP, tapi kita bisa membahagiakan anak-anak dan keluarganya" ujarnya. Kawan lantas bercerita bahwa sejak pertama kali bisnis ini dimulai, modalnya cuma kepercayaan saja. "Saya tidak tiap saat kontrol kesini, anak-anak sudah tahu apa yang harus dikerjakan" lanjutnya. Kawan juga menambahkan, jika dari awal mulai driver sampai kepala produksi sudah dipesan bahwa bisnis ini bukan sekedar jualan produk. "Mereka bekerja juga bukan hanya karena butuh uang. Tapi kita bekerja untuk meraih kepercayaan. Kalau masyarakat sudah percaya sama produk kita, itu baru tolok ukur keberhasilan kita. Mereka kita didik untuk memegang teguh kepercayaan ini. Apa artinya produk kita bagus tapi masyarakat gak percaya? Bukan pula keuntungan yang kita kejar. Yang utama adalah mendapatkan kepercayaan. Keuntungan itu akan jadi bonus kalau kita sudah mendapatkan kepercayaan" ujarnya berapi-api. Aku hanya manggut-manggut saja menanggapi. "Driver juga kita ajarin betapa pentingnya produk ini sampai ke pelanggan dengan selamat dan tepat waktu" imbuhnya. 

Hari itu aku belajar sebuah harga kepercayaan. Harga yang murah sekaligus mahal. Murah karena sebetulnya tidak memerlukan biaya yang banyak, tapi juga mahal ketika kepercayaan itu terciderai oleh tingkah yang kurang terpuji. Terima kasih kawan untuk pembelajarannya hari itu. Semoga bisnismu makin maju ya. 

Thursday, June 13, 2013

anatta

Beberapa minggu lalu saya dan istri ke vihara. Sudah agak lama kami tidak beribadah. Kami putuskan untuk menyambangi vihara tempat kami menikah hampir 2 tahun silam, Saddhapala yang memang tak jauh dari rumah kami. Kebetulan masih dalam suasana Waisak, sebuah hari besar agama kami. Ada perasaan berbeda setiap kali menginjakkan kaki ke tempat ini. Ada damai terasa. Sandal kami letakkan di tempat yang memang sudah disiapkan. Masuk ke tempat ibadah kami memang harus bertelanjang kaki. 

Hampir setiap minggu, setiap puja bakti (sembahyang) selain baca paritta, juga ada penceramah. Hari itu kebetulan yang ceramah adalah Pak Handaka Vijjananda, founder Ehipassiko, sebuah yayasan yang banyak bergerak di bidang penerbitan, pelatihan, juga penyuluhan agama Buddha. Mom Han, biasa Pak Handaka di sapa. Semua orang yang ditemui biasa dipanggil Mom. Kenapa Mom? Meski kita seorang laki-laki? "tanya saya suatu kali. Mom Han, menyakini bahwa di kehidupan lampau, kita semua pernah menjadi seorang ibu dan pernah juga menjadi keluarga kita. Dan untuk menghormati sosok Ibu, setiap orang dia sapa "Mom".

Mom Han, selalu membawakan ceramahnya berbeda dengan yang lain. Tidak pernah duduk. Tidak pernah diam. Tapi selalu berdiri, sama seperti sedang berdemonstrasi. Mom Han, termasuk penceramah yang saya gemari. Materi yang dibawakan selalu kontekstual. Jarang sekali dia mengutip sesuatu yang diluar nalar kita. Semua disajikan segar. Jadi mudah mencerna dalam-dalam. 

Mom Han, hari itu berbicara tentang anatta. "Wah topik berat nih" batinku. Tak banyak orang yang bisa menjelaskan anatta secara gamblang, bahkan termasuk bhikkhu sekalipun. Anatta adalah salah satu dari trilogi agama Buddha selain Anicca (semua hal yang terkondisi tidak kekal) dan Dukkha (penderitaan). Anatta itu artinya tanpa ego, tanpa aku. 

Menurut Mom Han setidaknya ada 6 cara agar kita terbebas dari anatta:
1. Aku berubah, maka dunia berubah.
2. Sadari bahwa aku ini kotor.
3. Kotoran itu ada di dalam, bukan di luar.
4. Berlatih welas asih, kasihani semua makhluk.
5. Semua ini hanya pikiran yang muncul dan berlalu.
6. Ulangi ke-5 tahap ini seribu kali. 

Konsep terakhir dia pilih sebagai jawaban atas pertanyaan jika kita belum bisa melakukan step 1-5 secara sungguh-sungguh. Kalau diulangi terus apa memang tidak bisa? Jadi ingat konsep 1=21. Ternyata untuk membangun sebuah kebiasaan diperlukan 21 kali melakukan kegiatan tersebut secara berturut-turut tanpa putus. Misalnya kita mau bangun pagi setiap hari pukul 6, itu harus kita lakukan selama 21 hari berturut-turut. Niscaya kita akan bisa bangun pagi tepat jam 6 setiap harinya. Silahkan dicoba deh. He...:)

Pemahaman konsep anatta memang tidak mudah.

Monday, June 10, 2013

Pembangunan untuk Manusia (PuM)

Buku ini bagi saya masuk kategori yang relatif berat. Membaca buku karangan Sulak Sivaraksa harus memahami buah pikirnya di beberapa buku yang lain. Buku terjemahan yang diterbitkan oleh Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (HIKMAHBUDHI) dan Institut Nagarjuna ini layak untuk dibaca oleh siapa saja yang ingin memahami tentang pembangunan yang tidak melulu bertumpu pada kekuatan modal, tapi bertumpu pada manusia seutuhnya.

Bab Satu tentang "Utusan Surgawi".
Sulak mengaitkan 4 peristiwa penting yang membuat Pangeran Sidharta keluar istana, dengan badai krisis yang menghantam Asia medium 1998. Jika tidak ada 4 peristiwa penting, mungkin Sidharta tidak keluar istana untuk mencari obat bagi sakit, tua, dan mati. Sementara krisis 98 telah memaksa kita semua untuk mencari pembangunan alternatif yang tidak rentan dihantam krisis. Bab ini mengkritisi bahwa pembangunan yang selama ini dibanggakan ternyata "kosong" dan ambruk diterjang krisis. Seperti yang ditulis Sulak di hal 13, bahwa janji kapitalisme untuk mewujudkan emansipasi melalui pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus, seperti yang dikatakan Jerry Mander, tiadklah masuk akal. Tidak ada yang bisa tumbuh selamanya. Semua ada batasnya. Sebelum kita semua kelewat batas menggerogoti segala hasil bumi, kita harus mengubah haluan dan membangun masa depan yang berlandaskan ada kebijaksanaan dan welas asih. Bab ini menurut saya lebih menekannya bagaimana suatu kondisi krisis dan kritis memaksa kita untuk mencari jalan lain, jalan alternatif. Kelangkaan BBM adalah "utusan surgawi". Sementara pencarian energi alternatif biodesel dari limbah salak, biopelet pengganti gas, dll adalah jalan alterantif. Sama seperti ungkapan Soe Hok Gie yang terkenal "lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan". 

Bab Dua tentang "Menciptakan Perdamaian". 
Sulak banyak membahas tentang perang yang dimotori AS. Alasan terorisme menjadi alasan kuat bagi AS untuk memberondongkan sejatanya ke segala penjuru. Terlebih paska peristiwa 9/11, dan terbukti gagal. Perang AS bukan sekedar terorisme, tapi perang dalam rangka penguasaan minyak. Sulak mengaitkan ajaran Buddha ahimsa (tanpa kekerasan) dalam bab ini. Sulak menyakini bahwa banyak cara untuk menyelesaikan peperangan. Dialog adalah kata kuncinya. Bahkan Sulak dengan tegas mengatakan daripada membelah dunia menjadi baik dan jahat, yang paling utama, kita harus melihat orang lain sebagai sesama umat manusia.

Menengok ke Indonesia, bab ini menggiring kita pada angka APBN yang menganggarkan lebih besar untuk pertahanan dibandingkan kesehatan, bahkan pendidikan. Itu artinya negara lebih memilih berdamai dengan cara membeli lebih banyak senjata daripada memperkuat kapasitas rakyatnya pentingnya sebuah perdamaian. Belum lagi soal rencana departemen pertahanan yang mengusulkan untuk diadakan satuan cadangan organik alias wajib militer yang sampai hari ini masih terus diperdebatkan. 

Bab Tiga, "Pembangunan dari Bawah ke Atas". 
Bab ini banyak menyoroti ketidakberdayaan golongan bawah. Petani yang beralih profesi berbondong menyerbu kota untuk sekedar bertahan hidup, ketika tanah garapan tak lagi menjanjikan. Belum lagi banyaknya tanah petani yang berpindah tangan ke petani berdasi. Ujungnya petani tak memiliki posisi tawar dalam hal menentukan harga pasar, harga sewa, dan upah harian. Pembangunan yang tidak merata juga jadi sebab ketidakberdayaan mereka. Meminjam pendapat Kwik Kian Gie beberapa tahun silam, golongan bawah, sebetulnya memiliki banyak potensi. Masalahnya adalah kesempatan mereka mengembangkan potensi tersebut yang tidak tersalurkan, terlebih dalam era globalisasi sekarang ini. Kesempatan menjadi kata kunci dalam menguatkan pembangunan yang berasal dari bawah. Pembangunan yang top down hanya akan menciptakan manusia robot yang patuh terhadap remote control. Yang programnya belum tentu dimaui oleh masyarakat, yang pada akhirnya pembangunan tersebut belum tentu dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Pembangunan macam ini hanya akan menghamburkan uang rakyat. Sudah waktunya kembali pada pembangunan bottom up. Masyarakatlah yang membangun dirinya sendiri. Karena masyarakatlah yang paham betul kebutuhan pembangunannya. 

Bab Empat, "Reka Ulang Pendidikan". 
Pendidikan dewasa ini telah menjadi sangat sempit wawasannya. Kita meraih gelar hanya semata-mata untuk mencari pekerjaan dengan upah tinggi. Richard Rodriguez mengatakan "Pendidikan membutuhkan reformasi diri yang radikal". Tugas universitas bukanlah mengajar, khususnya mengajar mahasiswa/i menjadi sekelompok kelas masyarakat yang spesial, istimewa. Memberi pelajaran dan melatih para murid-mengembangkan kemampuan dasar-seharusnya menjadi tugas sekolah dasar dan menengah. Universitas harusnya memprioritaskan pembelajaran sebagai prioritas utamanya. Sebab banyak pendidikan tinggi yang hanya menghasilkan para pelayan bagi penguasa, bukan menghasilkan individu rakyat yang penuh welas asih dan bertanggung jawab. 

Bab ini membawa kita kepada pemahaman bahwa dunia universitas berbeda sekali dengan dunia sekolah. Artinya kita tidak cukup hanya belajar. Rute hidup kita tidak cukup rumah/kost -  kampus saja. Rute hidup kita harus banyak, karena tidak semua yang nanti kita butuhkan terpenuhi oleh dunia kampus. Nilai tinggi, tidak menjamin kesuksesan kita kelak setelah dunia kampus berakhir. Justru proses pembelajaran yang kita lakukan di sela-sela menikmati dunia kampus yang serba dinamislah yang akan menuntun kita, ke arah mana kita kelak. Bahkan Sulak secara provokatif mengatakan pendidikan yang bersifat praktikal dan komtemplatif adalah jantung pembangunan perdamaian. 

Bab Lima, "Pemerintahan Berbasis Moral". 
Di bab ini Sulak mengatakan para penguasa haruslah tulus dan rendah hati, mau belajar dari setiap orang yang ia temui sepanjang hidupnya, bukan hanya mau menemui para teknokrat, pengusaha, dan mereka yang memiliki hak istimewa. Penyalahgunaan kekuasaan mewakili kebencian dan akumulasi harta kekayaan berlebihan mewakili keserakahan. Apabila keserakahan menjadi akar dari sebuah pemerintahan, institusi tersebut akan dengan cepat hanyut daam perangkap budaya konsumerisme dan sangatlah rentan untuk dimanipulasi oleh para pelobi dan politikus lainnya. 

Hal lain yang lebih buruk dari keserakahan dan kebencian adalah ketidaktahuan. Seorang pemimpin seharusnya bertindak dengan sikap tercerahkan, menerangi jalan menuju pemahaman holistik, sembari mengijinkan adanya perbedaan pendapat dan kritik. Artinya, seorang pemimpin itu seharusnya bersedia dikritik. Sebab kritik membantu seorang pemimpin mempersempit hak istimewanya dan menumbuhkan rasa tanggung jawabnya. 

Pemerintah yang amanah adalah yang mau mendengar dengan hati apa yang menjadi kebutuhan masyarakatnya. Mau menerima kritik. Mau mendengar kritik. Itulah pemimpin yang sejati. Bukannya justru bersembunyi, mengurung diri terhadap kritik. Atau justru berkeluh kesah terhadap kritik yang ditujukannya seolah-olah ia terzolimi oleh kritik tersebut. Jika mau memimpin, tetapi mengapa tidak mau dikritik?

Bab Enam, "Keamanan yang Sesungguhnya".
Janji pembebasan oleh kaum kapitalis melalui pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kemajuan teknologi terbukti mustahil. Tidak ada perekonomian yang dapat terus tumbuh besar selamanya. Kemajuan teknologi bukanlah tanpa batas. Kapitalisme mensyaratkan kekayaan yang terus bertumbuh. Dalam kenyataannya, pertumbuhan ekonomi juga ikut melebarkan kesenjarangan jurang pendapatan. Visi masa depan yang berkesinambungan tidak bisa berakar pada mitos pembebasan kaum kapitalis. Masa depan semestinya dibangun atas dasar kearifan dan budaya tradisional. Masa depan dunia haruslah mencakup persepektif mengenai kesalingterikatan, yakni sebuah dunia yang dibangun atas prinsip-prinsip perdamaian, tanpa kekerasan, dan keadilan bagi semua makhluk. Kebijaksanaan yang sejati berasal dari kelapa dan hati kita. Ketika kita menyelami penderitaan diri kita dan orang lain, ketika kita bernafas dengan penuh kesadaran sepanjang hari, perdamaian dan kebahagiaan akan muncul dan kita dapat berbagi rasa damai ini dengan lainnya. Ini merupakan fondasi keamanan yang sesungguhnya.

Bab Tujuh, "Buddhisme dalam Dunia yang Berubah".
Setiap hari, puluhan ribu orang mati kelaparan di dunia yang berlimpah dengan makanan. Sistem ekonomi global menguntungkan segelintir kelompok minoritas, sementara semakin banyak orang terjerumus dalam kemiskinan. Dua puluh persen penduduk dunia mengendalikan lebih dari 80 persen kekayaan dunia. Kekuatan ekonomi globalisasi, yang dimotori IMF dan Bank Dunia tidak hanya menjerumuskan jutaan orang ke dalam kemiskinan, tetapi juga menciptakan lahan untuk mengembangbiakkan keserakahan, yang menjadi pemicu kekerasan. 

Ajaran Buddha menawarkan banyak cara untuk meringankan penderitaan dunia. Pada tingkat politik, sikap berkesadaran dapat membantu usaha kita dalam melawan budaya konsumerisme, perlakuan tidak adil terhadap perempuan, militerisme, dan paham-paham lainnya yang dapat merusak integritas kehidupan. Kesadaran dapat menjadi sarana dalam membantu kita mengkritisi masyarakat, negara, dan bahkan tradisi budaya dan agama kita secara positif dan kreatif. Daripada membenci penindas kita, lebih baik membongkar sistem yang menindas. Ada dorongan besar untuk perubahan. Dan saatnya mengutamakan manusia. 

Bab Delapan, "Nafas Perdamaian".
Sulak pada bab ini menegaskan peran penting keterlibatan agama dalam beragam masalah sosial. Betul bahwa diri sendirilah yang pertama melakukan transformasi, namun hal ini tidak serta merta harus memisahkan diri terhadap transformasi lingkungan sosial. Justru keduanya berjalan beriringan. Ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan, karena keduanya saling menguatkan. Perubahan sosial dan pertimbangan spiritual tidak dapat dipisahkan. Agama terletak pada jantung perubahan sosial, dan perubahan sosial adalah intisari agama.  

Menurut saya, kelemahan buku yang sangat padat isinya adalah contoh konkret dari setiap babnya. Termasuk contoh konkret keterlibatan Buddhis dalam membendung proyek pembangunan ala Bank Dunia atau IMF. Ibarat masakan khas Thailand, Tom Nyam, dimana Sulak berasal, buku ini lebih terasa Thailandnya, jadi perlu kerja keras untuk menyesuaikan dengan lidah orang Indonesia. 

Tuesday, June 4, 2013

Buat apa marah?

BBM pesanan saya terima dalam-dalam. Tertera alamat sang pemesan. Sebuah perumahan elit. Tercatat jelas di otak rute yang harus dilalui. Jika tersasar, gampang, tanya saja satpam. Buku yang pernah saya baca tentang konsumen, mengatakan bahwa konsumen itu adalah raja. Buku juga bilang jika kita berjanji dengan konsumen hari kamis, tetapi hari selasa atau rabu kita bisa mengirim barangnya, konsumen akan puas dengan pelayanan kita. Customer satisfaction bahasa kerennya. 

Dengan maksud menerapkan teori buku itu, saya mengantarkan pesanan hari senin. Saya memang janji mengantarkan pesanannya hari rabu, tapi senin malam saya berusaha mengantarkan dengan harapan memberi "kejutan". Kebetulan senin malam juga mengantar ke arah yang sama. Sempat tersasar, tapi beruntung satpam sigap memberi jawaban. 

Tak ada bel di rumah mewah itu. Beberapa kali di panggil juga tak ada sautan. Beruntung sang tuan rumah membuat spanduk usahanya di teras. 08xxxxx saya pencet. Lama terhubung, akhirnya diangkat juga. Saya ucapkan salam dan memberi tahu maksud kedatangan. Saya juga minta maaf jika malam-malam datang mengganggu. Di ujung telpon, sang tuan rumah tidak berkenan menerima barang pesanannya. Alasannya kok malam-malam? "Saya pamali menerima pesanan malam-malam" ujarnya di seberang sana. Saya lihat jam belum genap bergeser dari angka 8. "Padahal masih pagi" gundah saya. HP saya tutup. Tak lupa saya meminta maaf lagi. "Kejutan" yang saya siapkan ternyata "mengejutkan" saya sendiri. Di jalan arah pulang, saya sempatkan berhenti sejenak. Mengirim pesan pendek meminta maaf lagi. Saya juga sampaikan jika memang tidak jadi membeli barangnya, tidak jadi soal.

Sepanjang jalan arah pulang saya banyak berpikir. Awalnya saya kecewa sekaligus marah. Marah terhadap situasi. Marah terhadap diri sendiri. Tapi lamat laun, saya juga menyadari ternyata marah tidak menyelesaikan masalah. Saya malam itu belajar apa arti sebuah konfirmasi. "Jika memang sudah rejeki, gak akan kemana" batinku yakin. Sesampai di rumah, pesan pendek masuk lagi dari sang tuan rumah itu. "Kalau Anda tidak berminat jual juga gak papa" begitu bunyi pesannya. Saya berusaha memahami maksud pesan itu. Saya sudah tidak lagi memendam amarah. Saya release, saya legowo, apapun yang akan terjadi. Akhirnya saya bersepakat untuk mengirim barang pesanannya selasa pagi, jam 8an. Dan tepat hampir setengah 9 saya mengirimkan. Rupanya sang tuan rumah sudah menunggu. Barang saya serahkan sambil (sekali lagi) minta maaf. Sang tuan rumah terlihat masih menyimpan "kekesalan" semalam. "Makanya kalau mau antar jangan malam-malam" ujarnya. Saya amini ucapannya dengan anggukan pertanda setuju. Dia menyerahkan uang 50,000. Lalu saya kembalikan 6,000 karena harganya memang 44,000. Sebelum saya beranjak dia sempat tanya ini itu. "Mungkin basa-basi" batinku. Ketika saya akan melangkah, dia mengatakan untuk mengambil kembalian 6,000 sebagai biaya kirim. Saya menolaknya. Saya kasih tahu, kalau harga itu sudah termasuk ongkos kirim. Pagi itu saya belajar #integritas. Terserah dia mau berkomentar apa terhadap penolakan saya. Itu sikap saya. Dan sikap saya tidak bisa dibeli oleh sang tuan rumah.

Sejak kejadian semalam hingga pagi saya belajar banyak hal. Ternyata beda manusia, beda keinginan. Beda kepala, beda pula perlakuannya. Jadi ingat pelajaran pertama Mom Han di vihara beberapa waktu lalu. Kalau kita berubah, maka dunia berubah. All is Well. Gitu aja kok repot!

 

 

Monday, May 13, 2013

Orang Mana?

Hari itu tukang datang memeriksa rumah. Sayang jelang magrib datangnya. Jadi gak bisa memeriksa tuntas. Sejak hujan kemarin, bagian gudang kerap bocor. Sudah ganti 3 tukang tapi belum juga beres. Akhirnya kami hanya bisa memeriksa dari jalan depan rumah. Dari kejauhan dia meraba kerusakan atap. Juga berhitung perkiraan biaya. 

"Biayanya sejutaan nih mas" ujarnya. 
"Mahal juga ya mas" timpalku. Dari logatnya aku bisa menebak darimana tukang ini berasal. Logatnya yang medok tak bisa menutupi badannya yang bongsor. 
"Mas tiyang Jawi to? Jawine pundi mas" tanyaku yakin. 
"Semarang mas" balasnya. 
Karena lumayan lama di Semarang, aku lantas membalas. "Semarange pundi mas?"
"MRANGGEN mas" ujar si tukang. 

Hah? Mranggen itu nDemak mas, bukan Semarang, sergahku. "Lha Mranggen kan Semarang maju dikit mas" ujarnya mencairkan suasana. 

Kepala lalu berputar mencari peta Indonesia, lalu di zoom in ke Jawa Tengah, zoom ini lagi ke Semarang, geser dikit ke nDemak, lalu baru ketemu Mranggen. Puta buta sekalipun, gak ada tuh daerah Mranggen di Semarang. 

........

Pintu besi hitam tinggi menjulang. Beberapa satpam berjaga di depan, membuka dan menutup pintu pagar perumahan elit. Prosedural pertanyaan dan tujuan meluncur sebelum bertukar kartu masuk. Saatnya menuju rumah no 10. Ternyata tak jauh dari pintu masuk. Ting tong ting tong, bel garasi rumah mewah itu aku pencet. Tak lama seorang perempuan belasan tahun keluar sambil memicingkan matanya. "Cari siapa" tanyanya curiga. "Mbak saya mau antar barang pesanan nyonya" balasku. Aku kembali ke motor hitam mengambil barang lalu menyerahkannya. Tak lama, seorang pria dewasa keluar dari pintu garasi. Badannya tegap. Kumis tipis mengembang. Raut mukanya mengumbar senyum. Aku membalasnya dengan membungkukkan kepala. Aku menebak dia adalah sopir nyonya pemesan barangku. 

Pak sopir: "Mas anter apa". 
Aku: "Anter telur Pak" balasku. 
Pak sopir: "Oh sampeyan wong jowo to mas" 
Aku: "Nggih pak, lha jenengan nggih tiyang jawi pak" balasku sehalus mungkin. Maklum urusan bahasa jawa halus aku selalu dapat nomer buncit. 
Pak sopir: "Iyo mas" 
Aku: "Jawine pundi pak"  
Pak sopir: "Solo Mas"
Aku: "Solonipun pundi pak?". Kebetulan ada teman yang asalnya Solo. Kali aja deket rumahnya.
Pak sopir: "Wonogiri mas"
Aku: #$%***

Sejak kapan Wonogiri dicaplok Solo? Betul sih, Wonogiri memang bisa diakses dari Solo. Betul kalau mau ke Wonogiri harus melalui Solo. Bukannya dari Solo masih perlu 2 jam-an untuk sampai Wonogiri? Lha tapi kenapa gak bilang aja Wonogiri? Kenapa harus bilang Solo? Bukannya Wonogiri ngetop juga dengan baksonya? Liat aja di sepanjang jalan yang jualan bakso atau mie ayam, pasti yang jualan banyak dari Wonogiri. 

.....

Hari itu aku diminta ngisi di sekolah seorang kawan. Materinya tak berat. Hanya sharing-sharing ringan saja. Hampir 60an anak mengisi ruang aula di lantai 2. Hampir satu jam, sesi itu harus diakhiri. Anak-anak lumayan juga tanggapannya. Banyak juga yang bertanya. Tiba waktunya berkemas. Seorang guru yang sedari tadi menjadi moderator, menyalami mengucapkan terima kasih. 

Pak Guru: "Oh masnya itu dari Pati to". Ingatannya pasti meluncur pada slide pertama perkenalanku. 
Aku: "Iya pak". "Kalau bapak sendiri darimana".
Pak Guru: "Salatiga mas".
Aku: "Salatiganya mana pak?"
Pak Guru: "Ampel mas". 
Aku: "Lho Ampel bukannya Salatiga masih maju lagi Pak"
Pak Guru: "Iya, tapi kakek buyut saya asalnya dari Salatiga"
Aku: "Oh"

......

Sepanjang jalan aku mikir, ada apa dengan asal daerah orang-orang itu ya? Apa karena kurang terkenal? Apa akan dianggap aneh kalau kita berasal dari daerah pinggiran yang kalah terkenal? Lalu, kalau bukan kita sendiri sebagai yang bikin terkenal, siapa lagi? Jadi kamu orang mana? 

####


Ubai

Badannya agak gemuk. Beberapa rambut putih mulai memenuhi kepalanya yang bulat. Kulit mukanya legam terpapar matahari, begitu juga cover penangkal angin yang dia pakai naik motor Lebak-Depok saban minggunya. Tergopoh dia menghampiri saya, tepat diujung jalan keluar perumahannya. Kami berjabat tangan erat. Senyumnya masih sama, sejak pertama kali kami bertemu dua tahunan lalu. 

Ubaidilah Muchtar namanya. Mas Ubai biasa saya sapa. Tugas negara sebagai tenaga pengajar membawanya terdampar di pedalaman Lebak, Banten, tepatnya desa Ciseel. Pertama kali kesana, sungguh pengalaman tiada banding. Setelah terguncang 5 jam menyusuri Jakarta arah Rangkas Bitung via Bogor, mobil kami terhenti di sebuah pasar tradisional. Perjalanan berakhir? Ternyata belum. Perjalanan harus kami lanjutkan dengan naik ojek. Sekali jalan tarifnya 50rb. Sepanjang jalan, udara sejuk terasa. Pemandangan alam nan indah khas Indonesia menyegarkan mata. Tukang ojek beberapa kali mengerem laju motornya, menuruni curamnya jalanan setapak. Kanan tebing tinggi, sebelah kiri selurus terlihat sungai mengalir air jernih. Kondisi jalan mirip arena offroad. Beberapa kali, harus turun dari motor, biar selamat. 45 menit kemudian kami tiba di desa Ciseel. Papan bertulis "Taman Baca Multatuli" menyambut. Banyak rumah sederhana di sekitarnya. Adat Badui kental terlihat. Rumah panggung sederhana menjadi bukti. Aliran sungai jernih gemericik memanggil. Sesekali burung riang bernyanyi. Damai sekali. 

Mas Ubai memanggil masuk rumah bacanya. Sederet buku baca lengkap tertata rapi di rak sederhana. Novel, majalah, buku cerita menghiasi rumah baca sekaligus kontrakan Mas Ubai. Tapi yang berbeda di rumah baca ini terdapat beberapa koleksi novel Max Havelaar. Sebuah novel yang saya sendiri belum pernah Baca! Mas Ubai bercerita bahwa novel Max Havelaar inilah yang menjadi "motor" rumah bacanya. Max Havelaar alias Multatuli pernah berdinas di Lebak sebagai gubernur Belanda meski singkat. Multatulilah yang menulis tentang politik balas budi, meski dia sendiri harus mendekam di penjara. Di rumah baca ini, Ubai mengajak anak didiknya untuk membaca novel Max Havelaar. Secara bergantian anak-anak diajak untuk membaca lalu meresapi makna novel kelas dunia ini.

Obrolan sore itu ditemani jengkol goreng. Ubai tentu tanpa alasan membawa "semangat" Multatuli. Lebih dari 60 tahun merdeka, desa Ciseel, yang masih berada di pulau Jawa tak teraliri listrik. Kegelapan sudah menjadi teman setia anak-anak Ciseel sekian lama. Hal inilah yang mematik Ubai untuk berpikir keras mencari hiburan untuk anak didiknya. Sepulang sekolah anak-anak dipersilahkan membaca apapun yang ada di rumah baca Multatuli. Anak-anak biasanya disana sampai menjelang magrib. Selepas baca novel, anak-anak dibiasakan menulis perasaannya. "Nanti kalau saya jadi pejabat, saya tidak akan semena-mena terhadap masyarakat", itu salah satu tulisan anaknya. Sebuah ungkapan jujur melihat tingkah polah banyak pejabat yang menyengsarakan rakyatnya, bukan hanya sejak jaman belanda, tapi hingga sekarang!

Perjuangan Ubai mendidik anak-anaknya tak hanya berhenti di taman baca. Sesekali Ubai membawa anak-anak ini turun desa, menengok dan mengenalkan jejak Multatuli di sekitar Lebak. Banyak pengalaman disini. Turun desa adalah pengalaman sebagian besar anak-anak Ubai. Tak banyak mereka yang menginjakkan kaki di luar desanya, mengingat biaya transportasi yang mahal. 

2 tahun berselang, dan kami bertemu lagi. Mas Ubai bercerita kalau anak-anak sekarang makin giat membaca. Tambahan koleksi bukunya makin bertambah. Berita yang menggembirakan, listrik akhirnya bisa mengalir ke desa ini. Sebuah berita besar untuk desa yang sudah gelap puluhan tahun. Ubai sendiri sudah jauh hari memberi terang bagi desa Ciseel. Jauh lebih terang dari bantuan listrik negara. 

Selain listrik, Ubai juga cerita kalau di desa ini ada tenaga pengajar dari Indonesia Mengajar yang digagas Pak Anies Baswedan. Lebak adalah satu-satunya daerah di Pulau Jawa yang ada Indonesia Mengajar (IM). Biasanya IM ditempatkan dipelosok-pelosok negeri. Tapi atas permintaan pemerintah setempat, IM diminta untuk mengajar.  Artinya pemerintahannya sendiri sadar diri. #syukurdeh

Hari itu, saya menyerahkan buku-buku bekas kiriman dari orang. Kumpulan majalah yang sayang jika harus berakhir di pemulung. Pasti menjadi bahan bacaan berharga untuk anak-anak Ciseel. Sebelumnya seorang kawan juga meminta untuk membongkar 1 lemari koleksi komiknya sejak SMP. Semoga anak-anak Ciseel terus bisa maju, menjadi penerang untuk sesama. Seperti yang dilakukan Mas Ubai. Semoga suatu saat bisa berkunjung lagi ke Ciseel.


Friday, May 3, 2013

Manusia Robot

Sebuah pagi di bank. Anak muda tergesa. Satpam sigap membuka pintu dan memberi salam. Senyum customer servise menghangatkan pagi. Gincu merah dan kerudung kombinasi serasi hari itu. Anak muda bergegas menyeret langkah menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendapat penjelasan, anak muda segera membuka dompet. Uang beberapa lembar sudah berpindah ke tangan CS. "Paling lama satu minggu surat perjanjiannya sudah selesai Pak" ujarnya. 

Seminggu berselang, Dua minggu terlewat. Anak muda tersadar surat perjanjian belum kunjung tiba. Segera pula ia telpon. Di ujung seberang, CS menjawab jika surat perjanjiannya masih dalam proses. "Masak surat sepenting itu harus butuh waktu yang lama" batin anak muda. Percakapan dan perdebatan terjadi diujung telpon. CS menjawab sekenanya. "Pimpinan sedang tidak ditempat, petugasnya sedang keluar kantor, dst dst, terdengar meluncur dari mulut cs. Anak muda agak naik pitam. Sementara cs terdiam membisu. 

Terlihat wajah anak muda yang masih memendam amarah. Geram. "Kenapa gak ada inisiatif dari bank untuk memberitahu proses suratnya?" "Apakah memang harus selama ini?"

.....
Sebuah kantor suatu siang. Telepon berdering, lantas terdengar percakapan.
A: "Halo bisa bicara dengan Mbak B"
B:  "Iya ini ada apa Pak"
A: "Mbak apa sudah ada jawaban dari manajer kapan saya bisa datang ke kantor?"
B: "Wah belum ada keputusan tuh Pak?"
A: "Apa selama itu Mbak keputusannya, saya kan sudah menghubungi Mbak sejak sebulanan yang lalu, masak sampai sekarang belum ada keputusan?"
B: "Ya saya gak tahu Pak"
A: "Lha kira-kira kapan saya bisa dapat kepastiannya?"
B: "Ya saya tidak tahu Pak"
A: "Manajernya memangnya kemana Mbak?"
B: "Saya tidak tahu"
A: "Lho kok bisa gak tahu Mbak"
B: "Ya saya gak tahu"
A: #jleb

......

Sebuah SPBU di malam hari. Tak banyak mobil & motor yang isi bensin. Petugas pun hanya beberapa orang saja. Tiba giliran saya isi tangki si hitam. "Lima belas ribu Mas". Tanpa mengatakan "mulai dari nol", bensin subsidi mengalir deras ke dalam tangki hitam. Entah lelah atau tidak hati-hati, petugas spbu tidak tepat mengucurkan. Beberapa ml tumpak tak berguna. Saya sempat menjerit memperingatkan petugas untuk berhati-hati. Ajaib, tidak ada satupun kata atau kalimat keluar dari mulutnya. Hanya diam membisu. Permintaan maaf pun tak terdengar. Bahkan keinginan untuk membersihkan bensin yang tumpahpun tak ada. Uang 50rb saya sodorkan. Berharap segera berlari meninggalkan kekecewaan. Ajaib, dengan enteng petugas justru melayani kendaraan di belakang saya. Kembalian isi bensin baru saya terima setelah dia mengisi lebih dari 3 kendaraan. 
 ....

Sebuah malam di perjamuan makan pernikahan. Saya duduk di meja bulat bersama kawan. Tak banyak tamu yang diundang, hanya keluarga dan kawan dekat. Mempelai duduk manis di meja depan. Makan meja berarti kita tidak perlu bersusah payah hunting makanan yang kita suka. Semua sudah disediakan dan kita dilayani oleh petugas. Rumah makan ini dijamannya memang sangat terkenal. Sayang beberapa tahun belakang kurang ramai lagi. Dan malam itu saya menyaksikan sendiri mengapa dia tidak ramai. Petugas yang menjadi ujung tombak tidak ada satupun yang bersikap ramah. Terlebih di meja saya. Makanan asal dikeluarkan. Grusa-grusu. Melayani dari hati jelas tidak terlihat. Yang penting semua makanan cepat keluar. Dan tak ada sama sekali senyum di wajah mereka. Sepertinya mereka ingin jamuan makan malam itu cepat selesai. 

......
Jangan-jangan sebentar lagi tugas manusia sudah digantikan robot-robot yang lebih memiliki hati dibanding manusia. 

*) dibuat di warung pecel di Cipayung. 

Tuesday, April 16, 2013

Gratisan

Siapa sih yang gak mau dapat barang tapi gak bayar alias gratis? Pasti semua orang mau. Lihat saja tiap kali ada sale atau diskon, pasti selalu dikerubuti orang. Biasanya menjelang lebaran, akhir tahun, atau malah tak jarang tiap akhir bulan, memanfaatkan orang habis gajian. Promo gratis, semua produk pasti sudah lazim. Dari mulai perang spanduk, iklan, bilboard, dll sering kita jumpai di jalanan. Terlebih produk telekomunikasi. Bilboardnya bisa jejeran di jalanan saling menawarkan layanan gratis. Telpon gratis sesama Ax**s, telk**s*l, bla bla. 

****

Ngomongin soal gratisan, jadi ingat cerita kawan, Sebut saja namanya Bunga. Tapi bukan korban perkosaan yang biasa ditulis koran. Terlebih, Bunga yang ini berjenis kelamin laki-laki. Bunga sudah berkeluarga, dengan tiga orang anak, satu istri tentunya. Dulu Bunga dan keluarga hidup bersama di Jakarta. Tapi seiring biaya hidup yang makin tinggi di Ibukota, Bunga "memulangkan" istri dan ketiga anaknya di kampung halaman, Jawa Tengah. Bunga menjadi tulang punggung keluarga, sementara istrinya menjadi ibu rumah tangga menjaga ketiga anaknya. Hidup irit, makan sederhana menjadi kunci di ibu kota. Jika tidak, dapur rumah gak bisa ngepul. Sayangnya, saking ingin membahagiakan orang rumah, semua cara dipakai. Hidup bunga cenderung pragmatis. Semua cara dipakai, asal menguntungkan, meski cara itu tidak benar. Intinya hidup Bunga ingin enaknya saja. Termasuk soal makan jika bisa dia makan gratis alias ada yang bayarin. Mentalitas gratisan dia muncul seiring kebutuhan. Tapi menurutku ini gak sehat. Sama sekali gak sehat. Bahkan saking ngiritnya, ketika sakit, Bunga tak mau dirawat di RS. Alasannya apalagi kalau bukan ketakutan habis uangnya. Dan benar saja, ketika badannya turun mesin, Bunga tak mau ke RS. Padahal semua jenis obat warung yang biasa diminum tak manjur. Klinik murah dekat rumah juga nihil. Dokter klinik merujuk Bunga untuk di rawat di RS. Tapi dia tak bergeming. Karena sakit ini, Bunga tak masuk kantor hampir sebulan lebih. Kekurangan uang sering kali aku dengar jika dengar cerita kondisi terakhir dia. Padahal menurutku, kalau saja gajinya di manaj dengan baik, dia tidak akan kekurangan. Mosok biaya rumah sakit karena sakit sendiri, juga harus kita-kita yang bayarin? Yang bener aja? Kencing aja bayar!!

*****
Lain Bunga, lain lagi Bruto. Sebut saja begitu. Bruto pemuda desa baru saja lulus SMA. Sebagai anak petani, Bruto sadar betul, orang tuanya tak mampu mengirim dia ke perguruan tinggi untuk kuliah. Hingga tiba tawaran dari sebuah institusi dari ibukota untuk memberikan kuliah gratis. "Bahkan selain kuliahnya gratis, kami juga menyediakan pemondokan gratis, belum lagi tiap bulan kami berikan tunjagan uang, beras, lauk-pauk, pokoknya tinggal belajar saja" begitu cerocos pegawai kampus ibukota berpromosi. Orang tua Bruto terkesima. Bruto terkesima. Orang sekampung yang berkumpul di lapangan juga terkesima. Hingga tiba waktunya Bruto dan beberapa teman sekampungnya melancong ke ibukota untuk kuliah. Tahun pertama dilaluinya dengan baik. Semangat belajarnya tinggi. Terbukti nilai IP-nya paling tinggi di kelas. Lingkungan kampus yang dinamis, memacu motivasi belajarnya. Tapi seiring waktu, Bruto mulai berulah. Pergaulan dengan kakak kelasnya merubah semuanya. Kakak kelasnya selalu mengatakan bahwa kuliah disini tak harus belajar sungguh-sungguh. "Toh sebetulnya yang butuh kita itu sebenarnya kampus ini. Biar ramai, biar keliatan banyak mahasiswanya". Bruto pun mulai gontai ke kampus. Motivasi belajarnya sudah tidak ada lagi. Dia merenungkan dengan seksama apa yang diucapkan seniornya. "Ada betulnya omongan itu" gumannya. "Kalau memang gak kenapa kampus ini begitu baik memberikan biaya kuliah semuanya gratis". Keseharian Bruto sudah berganti. Bruto sering bolos kuliah, hanya sekedar nongkrong di warung depan menghabiskan jatah tunjangan bulanannya. 

*****
Dari pengalaman itu, saya makin meyakini bahwa yang namanya gratis itu asas manfaatnya pasti tidak ada. Karena gratis, apalagi gratisan, orang pada akhirnya kurang menghargai dengan barang yang dia dapat. Tentu berbeda ketika mendapatkannya dengan penuh perjuangan. Keponakan seorang kawan yang masih SD berhasil membeli handphone idamananya dengan hasil tabungannya. Sedikit demi sedikit dia sisihkan uang jajannya. Dia bangga dengan jerih payahnya meski harus memecahkan celengan ayam jantannya. Pasti berbeda cerita jika handphone itu dibelikan langsung orang tuanya. Dia kemana-mana selalu pamer jika handphone itu dia beli sendiri. Dari sini, kita belajar bahwa untuk mendapatkan sesuatu itu butuh proses. Tidak gratis. Harus ada hal yang diperjuangkan, bukan datang dengan sendirinya. Bukan proses yang gratis, apalagi gratisan.

*)ditulis di pinggir jalan sambil menunggu seorang kawan.

Saturday, March 23, 2013

Telur Ayam Kampung Organik











Telur Ayam Kampung Organik:
1. Tidak Amis.
2. Ukuran lebih besar dibandingkan telur ayam kampung biasa. 
3. Kuning telurnya berwarna orange. 
4. Cocok untuk anak-anak dan orang dewasa.
5. Sehat Bergizi.

Info pemesanan:
Widodo
Jl Nusa Indah 1/11B, Kapuk
Cengkareng, Jakarta Barat
0815 798 1269
email: wied_odo@yahoo.com
twitter: @widwidodo
pn bb: 7CC84CD9

Tahu Sehat, Tahu Organik Towang



Dengan pengalaman lebih 15 tahun mengolah tahu dengan menggunakan kedelai organik, garam mineral dan air RO. Teknologi penyulingan Air RO - Reverse Osmosis (Teknologi Pemutakhir menghilangkan kadar logam, mineral, dan bakteri berbahaya).

Towang tidak mengandung PESTISIDA, FORMALIN, PENGAWET, PEMUTIH, KIMIA. 

Kini Towang hadir dengan sertifikat pengujian mutu dari Sucofindo atas kualitas dan keamanannya. 


Tahu Sehat, Tahu Organik Towang sangat baik dikonsumsi oleh penderita diabetes, jantung, kolesterol, anak-anak dan wanita hamil. 


Untuk pemesanan:


Widodo

Jl Nusa Indah 1/11B
Cengkareng 
Jakarta Barat
email: wied_odo@yahoo.com
twitter: @widwidodo
pin bb: 28f1f4ff




Bumi Langit

Saya punya teman. Sebut saya yang pertama namanya Bumi. Saya kenal Bumi ketika masih di bangku kuliah. Umur kami tak berbeda jauh. Bumi orangnya agak tertutup. Tak semua yang dikatakan di mulutnya sesuai dengan apa yang dirasakan hatinya. Mungkin kecenderungan pada umumnya orang timur. Entahlah. Setiap kali berbicara seperti ada yang ditutupi dari saya. Tapi so far hubungan pertemanan kami baik-baik saja meski kondisi seperti ini. Bumi, sejak sekolah, cenderung suka sekali permainan yang berbau komputer. Perkenalan dengan beberapa kawan gamers membawanya berpetualangan dari satu ajang ke ajang lainnya. Karena hal ini pula, menurut saya, Bumi akhirnya "menelantarkan" pendidikannya. Bahkan hingga masa kuliah. Prinsip Bumi memang berbeda. Bahkan keluarganya sendiri sepertinya juga agak kewalahan. Keluarga maunya dia ke kiri, tapi dia memilih ke kanan. Hidup itu harus dinikmati, itu mungkin menjadi salah satu moto hidupnya. Di usia kawan-kawan seangkatannya yang mulai tertata hidupnya dengan bekerja, entah menjadi karyawan atau membuka usaha sendiri. Bumi cenderung masih "bermain" dengan mainannya. Dia pernah mengatakan tidak mau mengikuti kawan-kawannya yang bekerja formal. Dia ingin bekerja secara merdeka. Sesuka dia. Dia sangat tidak suka kerja formal yang harus berangkat pagi, pulang sore. Bumi memang pada akhirnya memilih bekerja mandiri, sendiri, dengan caranya. Kadang pergi sore, pulang malam. Ketika kita pulang kerja, dia justru sedang bersiap berangkat. Ya itulah Bumi.

Kawan saya satu lagi namanya Langit. Sebut aja begitu. Langit juga saya kenal ketika di bangku kuliah. Prinsip hidupnya sangat ketat. Bahkan termasuk soal keuangan. Sangat jarang saya melihat Langit membeli baju baru. Dia memang sangat memegang prinsipnya. Selesai kuliah, Langit memilih bekerja formal. Setelah sempat beberapa kali pindah perusahaan, akhirnya Langit memilih untuk mengundurkan diri dan membuka usaha sendiri. Ketika masih bekerja formal, Langit, menurut saya sangat mengikuti sistem ritme kerja formal pada umumnya. A ya A, tidak bisa B. Bahkan cenderung mengikuti apa yang memang menjadi tanggung jawabnya. Persoalannya, Langit, ketika bekerja formal hanya memenuhi apa yang diminta pimpinannya, jarang sekali saya melihat Langit melakukan pekerjaan formalnya dengan hati. Yang penting ada, yang penting sudah saya lakukan. Yang penting bla bla.....

Saya agak terkejut akhirnya dia memutuskan membuka usaha sendiri. Dan ketika kita suatu waktu bertemu, saya juga terkejut. Langit yang dulu saya kenal kurang begitu cerah wajahnya ketika bekerja formal, kini tampak beda. Langit sudah lebih percaya diri. Mungkin karena dia sekarang bos bukan karyawan lagi. Usaha sendiri memang berbeda. Saya melihat usaha rintisannya makin maju. Dia juga mulai melebarkan sayap bisnisnya. Saya banyak belajar dari Langit, bagaimana belajar bisnis. 

Langit dan Bumi memang tidak akan pernah sama. Dari keduanya saya bisa belajar. Belajar untuk memilih, apapun yang menjadi keputusan kita. Sama halnya memilih untuk berbelok, kiri atau kanan, kita tinggal belok saja.

Wednesday, March 6, 2013

Minyak Goreng Kelapa










Minyak goreng kelapa lebih sehat dibandingkan minyak goreng yang lain. Karena minyak goreng kelapa mengandung asam lemak jenuh rantai sedang yang mengandung asam lauric dengan kadar tertinggi.

Minyak goreng kelapa Dafina terbuat dari kelapa segar (bukan kopra) dan diproduksi secara alami.

Beberapa khasiat minyak goreng kelapa adalah sebagai berikut:
  1. Membunuh virus penyebab mononucleosis, influenza, hepatitis C, campak, dan herpes.
  2. Selain bisa digunakan sebagai minyak goreng pada umumnya, minyak goreng kelapa juga bisa mengobati berbagai keadaan seperti luka bakar, luka, borok, jamur kulit, kutu, batu ginjal, disentri, dan kolera.
  3. Dengan kandungan medium trigliserida didalamnya, minyak goreng kelapa dapat membantu menurunkan berat badan.
  4. Minyak goreng kelapa dapat meningkatkan kolesterol pembuat antioksidan yang sangat bermanfaat dalam tubuh.
  5. Kandungan lemak antimicrobial, asam lauric, asam kaprik, dan asam kaprilik berperan sebagai antibakteri, antijamur, dan antivirus, sehingga meningkatkan kekebalan tubuh.
  6. Minyak goreng kelapa berguna untuk tulang karena bermanfaat untuk penyerapan magnesium dan kalsium yang baik.
  7. Membantu mengontrol gula darah karena minyak goreng kelapa meningkatkan sekresi insulin dan kegunaan glukosa darah.
  8. Titik didih minyak goreng kelapa lebih rendah dibandingkan minyak goreng pada umumnya, sehingga tidak boros pemakaian gas.
  9. Minyak goreng kelapa tidak menempel pada makanan yang digoreng.
Mau sehat, mulai beralihlah konsumsi bahan-bahan yang sehat juga.

Info pemesanan:
Widodo
Jl Nusa Indah 1/11B
Cengkareng
Jakarta Barat
email: wied_odo@yahoo.com
twitter: @widwidodo
pin bb: 28f1f4ff

Belajar Jualan

Belakangan ini untuk menambah kesibukan juga tentunya pemasukan, aku belajar berjualan. Minyak goreng kelapa, telur ayam kampung organik, dan tahu organik yang aku pilih. Mengapa memilih jenis barang ini? Karena berkaitan sama kebutuhan perut. Aku menyakini, semua hal yang berkaitan sama perut manusia pasti ada peminatnya. Lihat saja berapa banyak warung makan dibuka? Ternyata laku aja. Ini bukti kalau manusia adalah rajanya makan.

Belajar jualan juga belajar menata mental kita. Bagaimana menghadapi konsumen yang "rewel", juga bagaimana menghadapi mereka yang menawar jauh dibawah harga modal kita. Semuanya membawa pelajaran tersendiri. Setidaknya yang aku rasakan sendiri. Belajar berjualan membuat pikiran kita "mletik". Belajar membuat pikiran kita terus berkembang. Apalagi kalau kita juga dikelilingi orang-orang yang sama-sama "mletik" pikirannya. Pasti kita tambah semangat.

Twitter adalah salah satu tempat belajar. Tidak perlu bayar, tapi kita dapat ilmu banyak. Kita hanya perlu mem-follow orang-orang yang kita anggap bagus untuk diikuti. Kalau tidak cocok ya tingga unfollow saja. Beres. Ringkas padat. Belajar berjualan juga saya ilhami dari tweet sadizz Mas Kingkong Saptuari Sugiarto. Dia yang sudah sukses dengan bisnis kedai digitalnya, juga merambah kaos @joggist (jogja istimewa) dan yang terakhir warung baksonya. Salah satu tweet dia yang bikin mringis kalau mau mulai bisnis itu jangan kebanyakan alasan. Gak perlu modal besar. Apa yang kita punya bisa jadi modal. HP buntut juga bisa jadi modal. Yang penting gak perlu gengsi. Lha wong gak nyolong kok gengsi. Lha wong gak korupsi kok malu?

Hal ini pula yang aku praktekan selama ini. Di awal sama sekali tak terbayang. Ketika sedang liputan ke Jogja, tentang ragam produk olahan kelapa, tiba-tiba Mas Arief (narsum yang aku liput) menawarkan untuk membantu menjual produknya, minyak goreng kelapa. Setelah BBM beberapa teman, sambutannya lumayan. Pulang dari Jogja aku membawa pesanan 3 lusin (1 lusin lagi akhirnya dikirim via kereta). Dan semuanya berjalan sampai saat ini.

Belajar jualan tak harus mengikuti seminar mahal yang harganya jutaan rupiah. Cukup mengikuti, mencermati twitter orang-orang  yang berpengalaman saja sudah cukup. Tinggal kita praktekkan ilmunya. Belajar jualan juga belajar bahwa suara konsumen adalah suara tuhan. Bahwa konsumen itu adalah raja. Karena konsumen kita bisa jualan. Karena konsumen kita bisa belajar.