Monday, June 10, 2013

Pembangunan untuk Manusia (PuM)

Buku ini bagi saya masuk kategori yang relatif berat. Membaca buku karangan Sulak Sivaraksa harus memahami buah pikirnya di beberapa buku yang lain. Buku terjemahan yang diterbitkan oleh Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (HIKMAHBUDHI) dan Institut Nagarjuna ini layak untuk dibaca oleh siapa saja yang ingin memahami tentang pembangunan yang tidak melulu bertumpu pada kekuatan modal, tapi bertumpu pada manusia seutuhnya.

Bab Satu tentang "Utusan Surgawi".
Sulak mengaitkan 4 peristiwa penting yang membuat Pangeran Sidharta keluar istana, dengan badai krisis yang menghantam Asia medium 1998. Jika tidak ada 4 peristiwa penting, mungkin Sidharta tidak keluar istana untuk mencari obat bagi sakit, tua, dan mati. Sementara krisis 98 telah memaksa kita semua untuk mencari pembangunan alternatif yang tidak rentan dihantam krisis. Bab ini mengkritisi bahwa pembangunan yang selama ini dibanggakan ternyata "kosong" dan ambruk diterjang krisis. Seperti yang ditulis Sulak di hal 13, bahwa janji kapitalisme untuk mewujudkan emansipasi melalui pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus, seperti yang dikatakan Jerry Mander, tiadklah masuk akal. Tidak ada yang bisa tumbuh selamanya. Semua ada batasnya. Sebelum kita semua kelewat batas menggerogoti segala hasil bumi, kita harus mengubah haluan dan membangun masa depan yang berlandaskan ada kebijaksanaan dan welas asih. Bab ini menurut saya lebih menekannya bagaimana suatu kondisi krisis dan kritis memaksa kita untuk mencari jalan lain, jalan alternatif. Kelangkaan BBM adalah "utusan surgawi". Sementara pencarian energi alternatif biodesel dari limbah salak, biopelet pengganti gas, dll adalah jalan alterantif. Sama seperti ungkapan Soe Hok Gie yang terkenal "lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan". 

Bab Dua tentang "Menciptakan Perdamaian". 
Sulak banyak membahas tentang perang yang dimotori AS. Alasan terorisme menjadi alasan kuat bagi AS untuk memberondongkan sejatanya ke segala penjuru. Terlebih paska peristiwa 9/11, dan terbukti gagal. Perang AS bukan sekedar terorisme, tapi perang dalam rangka penguasaan minyak. Sulak mengaitkan ajaran Buddha ahimsa (tanpa kekerasan) dalam bab ini. Sulak menyakini bahwa banyak cara untuk menyelesaikan peperangan. Dialog adalah kata kuncinya. Bahkan Sulak dengan tegas mengatakan daripada membelah dunia menjadi baik dan jahat, yang paling utama, kita harus melihat orang lain sebagai sesama umat manusia.

Menengok ke Indonesia, bab ini menggiring kita pada angka APBN yang menganggarkan lebih besar untuk pertahanan dibandingkan kesehatan, bahkan pendidikan. Itu artinya negara lebih memilih berdamai dengan cara membeli lebih banyak senjata daripada memperkuat kapasitas rakyatnya pentingnya sebuah perdamaian. Belum lagi soal rencana departemen pertahanan yang mengusulkan untuk diadakan satuan cadangan organik alias wajib militer yang sampai hari ini masih terus diperdebatkan. 

Bab Tiga, "Pembangunan dari Bawah ke Atas". 
Bab ini banyak menyoroti ketidakberdayaan golongan bawah. Petani yang beralih profesi berbondong menyerbu kota untuk sekedar bertahan hidup, ketika tanah garapan tak lagi menjanjikan. Belum lagi banyaknya tanah petani yang berpindah tangan ke petani berdasi. Ujungnya petani tak memiliki posisi tawar dalam hal menentukan harga pasar, harga sewa, dan upah harian. Pembangunan yang tidak merata juga jadi sebab ketidakberdayaan mereka. Meminjam pendapat Kwik Kian Gie beberapa tahun silam, golongan bawah, sebetulnya memiliki banyak potensi. Masalahnya adalah kesempatan mereka mengembangkan potensi tersebut yang tidak tersalurkan, terlebih dalam era globalisasi sekarang ini. Kesempatan menjadi kata kunci dalam menguatkan pembangunan yang berasal dari bawah. Pembangunan yang top down hanya akan menciptakan manusia robot yang patuh terhadap remote control. Yang programnya belum tentu dimaui oleh masyarakat, yang pada akhirnya pembangunan tersebut belum tentu dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Pembangunan macam ini hanya akan menghamburkan uang rakyat. Sudah waktunya kembali pada pembangunan bottom up. Masyarakatlah yang membangun dirinya sendiri. Karena masyarakatlah yang paham betul kebutuhan pembangunannya. 

Bab Empat, "Reka Ulang Pendidikan". 
Pendidikan dewasa ini telah menjadi sangat sempit wawasannya. Kita meraih gelar hanya semata-mata untuk mencari pekerjaan dengan upah tinggi. Richard Rodriguez mengatakan "Pendidikan membutuhkan reformasi diri yang radikal". Tugas universitas bukanlah mengajar, khususnya mengajar mahasiswa/i menjadi sekelompok kelas masyarakat yang spesial, istimewa. Memberi pelajaran dan melatih para murid-mengembangkan kemampuan dasar-seharusnya menjadi tugas sekolah dasar dan menengah. Universitas harusnya memprioritaskan pembelajaran sebagai prioritas utamanya. Sebab banyak pendidikan tinggi yang hanya menghasilkan para pelayan bagi penguasa, bukan menghasilkan individu rakyat yang penuh welas asih dan bertanggung jawab. 

Bab ini membawa kita kepada pemahaman bahwa dunia universitas berbeda sekali dengan dunia sekolah. Artinya kita tidak cukup hanya belajar. Rute hidup kita tidak cukup rumah/kost -  kampus saja. Rute hidup kita harus banyak, karena tidak semua yang nanti kita butuhkan terpenuhi oleh dunia kampus. Nilai tinggi, tidak menjamin kesuksesan kita kelak setelah dunia kampus berakhir. Justru proses pembelajaran yang kita lakukan di sela-sela menikmati dunia kampus yang serba dinamislah yang akan menuntun kita, ke arah mana kita kelak. Bahkan Sulak secara provokatif mengatakan pendidikan yang bersifat praktikal dan komtemplatif adalah jantung pembangunan perdamaian. 

Bab Lima, "Pemerintahan Berbasis Moral". 
Di bab ini Sulak mengatakan para penguasa haruslah tulus dan rendah hati, mau belajar dari setiap orang yang ia temui sepanjang hidupnya, bukan hanya mau menemui para teknokrat, pengusaha, dan mereka yang memiliki hak istimewa. Penyalahgunaan kekuasaan mewakili kebencian dan akumulasi harta kekayaan berlebihan mewakili keserakahan. Apabila keserakahan menjadi akar dari sebuah pemerintahan, institusi tersebut akan dengan cepat hanyut daam perangkap budaya konsumerisme dan sangatlah rentan untuk dimanipulasi oleh para pelobi dan politikus lainnya. 

Hal lain yang lebih buruk dari keserakahan dan kebencian adalah ketidaktahuan. Seorang pemimpin seharusnya bertindak dengan sikap tercerahkan, menerangi jalan menuju pemahaman holistik, sembari mengijinkan adanya perbedaan pendapat dan kritik. Artinya, seorang pemimpin itu seharusnya bersedia dikritik. Sebab kritik membantu seorang pemimpin mempersempit hak istimewanya dan menumbuhkan rasa tanggung jawabnya. 

Pemerintah yang amanah adalah yang mau mendengar dengan hati apa yang menjadi kebutuhan masyarakatnya. Mau menerima kritik. Mau mendengar kritik. Itulah pemimpin yang sejati. Bukannya justru bersembunyi, mengurung diri terhadap kritik. Atau justru berkeluh kesah terhadap kritik yang ditujukannya seolah-olah ia terzolimi oleh kritik tersebut. Jika mau memimpin, tetapi mengapa tidak mau dikritik?

Bab Enam, "Keamanan yang Sesungguhnya".
Janji pembebasan oleh kaum kapitalis melalui pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kemajuan teknologi terbukti mustahil. Tidak ada perekonomian yang dapat terus tumbuh besar selamanya. Kemajuan teknologi bukanlah tanpa batas. Kapitalisme mensyaratkan kekayaan yang terus bertumbuh. Dalam kenyataannya, pertumbuhan ekonomi juga ikut melebarkan kesenjarangan jurang pendapatan. Visi masa depan yang berkesinambungan tidak bisa berakar pada mitos pembebasan kaum kapitalis. Masa depan semestinya dibangun atas dasar kearifan dan budaya tradisional. Masa depan dunia haruslah mencakup persepektif mengenai kesalingterikatan, yakni sebuah dunia yang dibangun atas prinsip-prinsip perdamaian, tanpa kekerasan, dan keadilan bagi semua makhluk. Kebijaksanaan yang sejati berasal dari kelapa dan hati kita. Ketika kita menyelami penderitaan diri kita dan orang lain, ketika kita bernafas dengan penuh kesadaran sepanjang hari, perdamaian dan kebahagiaan akan muncul dan kita dapat berbagi rasa damai ini dengan lainnya. Ini merupakan fondasi keamanan yang sesungguhnya.

Bab Tujuh, "Buddhisme dalam Dunia yang Berubah".
Setiap hari, puluhan ribu orang mati kelaparan di dunia yang berlimpah dengan makanan. Sistem ekonomi global menguntungkan segelintir kelompok minoritas, sementara semakin banyak orang terjerumus dalam kemiskinan. Dua puluh persen penduduk dunia mengendalikan lebih dari 80 persen kekayaan dunia. Kekuatan ekonomi globalisasi, yang dimotori IMF dan Bank Dunia tidak hanya menjerumuskan jutaan orang ke dalam kemiskinan, tetapi juga menciptakan lahan untuk mengembangbiakkan keserakahan, yang menjadi pemicu kekerasan. 

Ajaran Buddha menawarkan banyak cara untuk meringankan penderitaan dunia. Pada tingkat politik, sikap berkesadaran dapat membantu usaha kita dalam melawan budaya konsumerisme, perlakuan tidak adil terhadap perempuan, militerisme, dan paham-paham lainnya yang dapat merusak integritas kehidupan. Kesadaran dapat menjadi sarana dalam membantu kita mengkritisi masyarakat, negara, dan bahkan tradisi budaya dan agama kita secara positif dan kreatif. Daripada membenci penindas kita, lebih baik membongkar sistem yang menindas. Ada dorongan besar untuk perubahan. Dan saatnya mengutamakan manusia. 

Bab Delapan, "Nafas Perdamaian".
Sulak pada bab ini menegaskan peran penting keterlibatan agama dalam beragam masalah sosial. Betul bahwa diri sendirilah yang pertama melakukan transformasi, namun hal ini tidak serta merta harus memisahkan diri terhadap transformasi lingkungan sosial. Justru keduanya berjalan beriringan. Ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan, karena keduanya saling menguatkan. Perubahan sosial dan pertimbangan spiritual tidak dapat dipisahkan. Agama terletak pada jantung perubahan sosial, dan perubahan sosial adalah intisari agama.  

Menurut saya, kelemahan buku yang sangat padat isinya adalah contoh konkret dari setiap babnya. Termasuk contoh konkret keterlibatan Buddhis dalam membendung proyek pembangunan ala Bank Dunia atau IMF. Ibarat masakan khas Thailand, Tom Nyam, dimana Sulak berasal, buku ini lebih terasa Thailandnya, jadi perlu kerja keras untuk menyesuaikan dengan lidah orang Indonesia. 

No comments: