Wednesday, July 25, 2018

belajar cerocos

Satu hari ada pesan singkat ke ponsel saya. Dia perkenalkan diri singkat lalu tanya email. Tanpa nyebut tahu kontak saya dari siapa. Setelah saya kasih email, esoknya dia kirim beberapa file proposal tawaran. Tanpa disebutkan maksud tawarannya itu. Mau kerjasama, mau jualan, atau mau apa, saya juga tidak tahu. Sekilas saya buka file yang dikirim. Berisi profil companynya. Ada beberapa cabang, kualitas layanan, termasuk juga daftar harganya. Sekali lagi, saya disuruh baca sendiri, tanpa ada kejelasan ini maksudnya apa. Besokannya lagi, dia wa saya menanyakan emailnya. Karena memang saya tidak berwenang, saya cuma balas sudah saya teruskan ke pihak yang berwenang.
Lain waktu, teman SMP bertanya kabar. Ujungnya ajak ketemu untuk menawarkan deposito. Sebagai teman baik, saya iyakan ajakan itu. Meski dari awal sebetulnya tidak begitu tertarik. Singkat kata kita ketemu. Diselingi makan siang yang seadanya, langsung tancap dengerin penjelasan soal kelebihan deposito ini. Saya coba nyimak aja. Dia menjelaskan kalau perusahaan deposito ini ada di bilangan sudirman, udah punya gedung sendiri alias gak ngontrak seperti yang lain. Masih belum tuntas saya menelan informasinya, dia mengeluarkan majalah bisnis yang tebel. Di cover-nya terpampang orang-orang hebat. Dia jelasin kalau bos perusahaan depositonya ada di salah satu foto itu. Dia juga keluarin rilis terupdate capaian target sesama agen perusahaan deposito ini. "Pokoknya lu gak bakal rugi kalau ikut ini" cerocosnya. 

Di lain hari, saya dapat pesan pendek dari salah satu communication officer, sebuah LSM di Bali yang menanyakan data metrik terkait program mereka di Bali, tepatnya di Karangasem. Dengan santun dan bahasa tertata baik tentunya. Saya juga menanggapinya dengan hepi. Karena data yang diminta saya tidak ada, saya ganti dengan data yang lain, yang kebetulan saya punya. Pun sebaliknya, data yang saya kasih diterima dengan baik, meski kurang memenuhi keinginan awalnya. 

Pada akhirnya kita memang perlu belajar cara bicara yang gak cuma baik, tapi juga benar. Biar gak nyerocos sembarangan. 

comat comot

Di twitter kemarin ramai ungkapan kekesalan wartawan online yang dicomot wawancaranya dengan artis ngetop. Pasti berhak kesal, terlebih dia memang sudah jauh-jauh hari janjian sama artis ini. Bahkan katanya sebelum ramadan lho janjiannya. Buset lamir bener ya. Eh begitu artikelnya dimuat, lha kok dengan gampangnya diembat. Cilakanya tanpa sebutin sumbernya. Kata paling menghujam hati bisa jadi bukti kekesalan yang sudah diubun-ubun. Doi yang kerja di online juga menyoroti fenomena berita yang dibikin dari sosial media. Artis A lagi upload satu foto di IG, langsung dijadiin berita berjilid-jilid. Ini tentu kurang elok dengan prinsip jurnalis yang katanya sumber berita tuh harus yang primer. Ah tapi sudahlah. 

Lain waktu, foto status saya diaplot teman di IG-nya tanpa kasih sumbernya. Tanpa juga minta permisi. Padahal bikin foto status meski pake templet kan tetep butuh mikir. Yekan? Lha kok pas ambil copas gitu gak pake mikir. Meski mangkel, tapi saya tidak mengumbar kemangkelan itu keluar. Rasanya gak punya keberanian untuk menumpahkan juga. Nyali saya masih kincut, karena pikiran saya malah mikir kalau gitu apa yang saya buat "diapresiasi" orang dong. Gitu pikiran saya yang lain bantu mikir. 

Mas Arbain Rambey, fotografer jempolan pernah bilang kalau karya kita gak mau dicaplok orang, ya gak usah di pablis. Meski banyak juga yang kasih inisial atau watermark, tapi bagi dia itu sah-sah saja untuk "melindungi" karya kita. Tapi teteplah, lebih baik nyomot tapi sertakan sumber comotan, daripada tinggal glanggang begitu. 

Eh tapi, dunia comat comot memang bakal selalu ngehits. Terlebih sekarang jaman "mbah gugel" semua tersedia. Selamat mencomot dengan etika. 

Tuesday, June 19, 2018

06062018

Setelah dari kamar mandi, istri memberi tahu kalau ada sedikit darah. Juga rasanya rembesan air ketuban mulai nampak. Tapi tanda-tanda mules belum terasa katanya. Hari itu memang prediksi dokter. Mulai awal minggu istri sudah ijin cuti lahiran. Jam 09.00 istri, mertua, dan kakak ipar ke rs. Kebetulan kakak ipar juga ada keperluan, setelah sebelumnya operasi minor di rs yang sama. Setelah cek sana sini, istri mengabarkan kalau hari itu juga harus mondok di rs. Sontak, setelah makan siang, saya ijin pulang cepat. 

Beberes sebentar di rumah, saya lantas ke rs. Sampai rs katanya baru bukaan 4. Dari awal istri memang ingin lahiran normal. Terlebih yang pertama juga normal. Saya menyaksikan beberapa kali istri menahan sakit yang luar biasa. Entah berapa kali tangan saya di remas sekuatnya untuk pengalih rasa sakitnya. Memang betul banyak yang bilang, perjuangan perempuan melahirkan, seperti perjuangan hidup mati. Lahiran kali ini betul-betul normal. Tanpa bantuan induksi. Mertua juga bilang kalau lahiran anak kedua biasanya lebih lancar dibanding yang pertama. Tapi kata istri, lahiran yang kedua lebih sakit dibanding yang pertama. Setelah dilanda kecemasan juga kekhawatiran, tepat pkl 19.58 bayi mungil itu lahir. Rambutnya lebat. Tangisannya masih malu-malu. Bobotnya 3.5kg dengan panjang 50cm. Mertua, Dhira (anak saya yang pertama), juga kakak ipar semuanya tak sabar ingin melihat. Observasi pasca lahir memakan waktu yang cukup lama. Wajar karena bidan juga tidak mau ambil resiko. Setelahnya dilakukan IMD. Nyatanya tak ada hambatan dalam proses ini. Setelah urusan di ruang persalinan, kami berpindah di ruangan pemulihan di lantai 3. Istri sepertinya masih kelelahan. Malam itu saya ikut berjaga di rs. Dari hasil observasi perawat, anak saya yang kedua juga kuning. Salah satu sebabnya karena golongan darah saya dan istri yang berbeda. Entah kebetulan, dulu Dhira, anak saya yang pertama juga mengalami hal yang sama. Sehinga harus di sinar beberapa hari. 

Sementara baby-nya di sinar, istri sepertinya sudah sangat pulih. Sebetulnya sudah bisa pulang tanpa baby, tapi saya memutuskan untuk tetap stay saja. Karena kalau di rumah juga pasti kepikiran baby di rs. Belum lagi juga persoalan asi dll. 

Another coming itu kami beri nama Adhiwira Bodhi Widana. Artinya pemimpin yang berbudi luhur dan pembawa pencerahan dari keluarga Widodo dan Ivana. Sama seperti kakaknya, kami nyuwunke ke Bhante Pannavaro. Malam itu juga kabar bahagia ini kami bagi ke seluruh keluarga dan teman-teman. Semoga kelahirannya membawa kebahagiaan untuk semesta. 

Monday, June 18, 2018

Domino

Bergincu merah tebal wajah itu tanpa ekspresi. Bedaknya tercecer siang. Kaca mata peraknya tak memungkiri kepenatan ritme kerja. Lelah sepertinya bersuara dari seberang sana. Topi hitam menambah gelayut letihnya. Tanpa basa-basi, disambarnya pesanan yang tertera di layar mungil. Sekali lagi tanpa ekspresi. "Tunanya cuma ada pedas" sergahnya terpaksa. Ekspresinya tak jua berbuah ketika tiga lembar biru berpindah. "Tunggu 15 menit"ujarnya kecut. Bayangannya segera bertukar ke ruang adonan. 

Lalu lalang orang seperti membisu. Tak ada tegur "selamat datang" terdengar. Sunyi, sepi. Yang baru pulang mengantar juga terlihat letih. Mungkin hari ini kerja ekstra. Maklum mereka belum dapat jatah mudik. 

Adonan itu sudah berpindah dalam dua dus. Masih panas tapi cuma diikat seutas tali usang. Sekali lagi memastikan pesanan, tapi lirih tak bergairah. Dua dus adonan sudah berpindah tangan. Menantikan mulut di rumah melumatnya. Tentu melumat dengan gairah. Karena lapar. 

Monday, April 16, 2018

Bisnis Pelayanan

Sebuah siang, seorang pemuda dan mertuanya tergopoh menyambangi rumah sakit. Ditemani anak yang baru dijemput sekolah, mereka lantas bergegas ke lantai dua. Maklum waktunya sudah mendekati tenggat jam praktek dokternya. Telat sedikit bisa tak terlayani. Tepat jam 14.15, mereka sampai di bagian pendaftaran. 

Pemuda: "Sus, saya sudah daftar ke dokter Antony untuk mama saya, katanya dapat nomor 4".
Suster: "Nomor pendaftarannya mana?"
Pemuda: "Lha saya kan daftar pakai whatsupp sus, dan dikasih nomor 4"
Suster: (..........................) #diam

Pemuda dan mertuanya mengambil duduk. 5 menit berlalu, 10 menit berlalu tanpa kejelasan. Pemuda menghampiri lagi meja suster di pendaftaran.

Pemuda: "Gimana sus, dokternya masih ada"
Suster: "Eh eh dokternya sudah gak ada Pak, karena ada operasi di rumah sakit yang lain". "Tadi ditunggu-tunggu gak datang bapaknya"
Pemuda: "Lho kalau memang gak ada kenapa gak dari pertama kali tadi dikasih tahunya? Sementara juga gak ada yang telpon untuk konfirmasi!" cerocosnya. 
Suster: "Ya kalau mau besok aja Pak datang lagi"
Pemuda: "Lha besok bukannya tanggal merah? Dokternya apa ada?"
Suster: "Ya gak ada, kalau gitu ke IGD saja".
Pemuda: "Lha saya mau ke dokter Antony, ngapain ke IGD".
Suster: "Ya kalau gitu senin atau selasa aja Pak"
Pemuda: "Sus, kalau memang begitu, kenapa gak dari tadi kasih tahunya, sekarang saya nunggu juga buat apa?"
Suster: (...............................) #heninglagi

10 menit kemudian, pemuda dan mertuanya berniat pulang. Tapi tiba-tiba, susternya memanggil lagi. Akhirnya muncul suster senior. Dengan membawa berkas, suster senior ini memintanya untuk ke gedung sebelah. Ternyata disana dokter Antony sedang operasi. Jadi operasinya bukan di rs lain. Setelah konsul sebentar, akhirnya diberikan resep dan mereka kembali ke apotik untuk mengambil obat. 

***
Rumah sakit adalah bisnis layanan. Kalau layanannya tidak baik jangan harap akan ramai. Jadi kunci melayani pasien, keluarga pasien adalah yang utama. 


Mind Power


"Kami bertukar gurauan, ditemani kopi dan seonggok cemilan". Suasana foodcourt ramai lalu lalang orang. Kami bertukar kabar. Mulai yang serius, sampai yang remeh temeh. Dari obrolan pangeran berkuda yang akhirnya mendeklarasikan diri dengan bertelanjang dada, sampai peluang sang petahana di tahun panas ini. Sedang asyik ngobrol, saya terbangun". 

Ternyata saya mimpi. Kejadiannya seperti baru saja terjadi. Belakangan ini saya sering mengalami kejadian serupa. Entah kenapa, setiap kali akan bertemu orang/kawan, malamnya saya sudah "berjumpa" dengan dia lewat mimpi. Kadang jelas sekali, kadang tersamar, tapi jelang sepertinya orang yang akan saya temuilah yang hadir di mimpi itu. 

Ketika SMP dulu, guru Matematika pernah mengatakan kalau mau bangun pagi, bisa mengucapkannya menjelang tidur. Tentu tidak perlu keras-keras, cukup di hati saja. Beberapa kali saya melakukannya, beberapa kali juga terjadi. 

Saya meyakini, ini karena kekuatan pikiran kita. 


Sumber foto: https://www.google.com/search?biw=1366&bih=662&tbm=isch&sa=1&ei=PHTUWrrFJIHmvgS7qr5Q&q=kekuatan+pikiran+bawah+sadar&oq=kekuatan+pikiran+&gs_l=psy-ab.1.2.0j0i30k1l2j0i5i30k1l4j0i8i30k1j0i24k1l2.33687.33687.0.36576.1.1.0.0.0.0.119.119.0j1.1.0....0...1c.1.64.psy-ab..0.1.117....0.g3kF-6IMHfs#imgrc=0cpeOZOCbVBwIM:

Tuesday, February 13, 2018

Belajar pelayanan

Toko Yun tak jauh dari rumah kami di kampung. Toko ini menyediakan barang sehari-hari. Mulai dari sabun, kosmetik, mie instan, juga perlengkapan rumahan lainnya. Toko ini sekilas seperti swalayan kecil yang banyak bercecer di tempat lain. Bedanya, toko ini tidak ada pendingin udara saja. Juga penataan barang yang agak semprawut. Kebersihan juga kurang terjaga. Di depan kita diminta lepas alas kaki, tapi di dalam kaki terasa berjalan di atas tanah. Belum lagi, pemilik atau pelayan juga kurang paham letak barangnya. Terbukti ketika kita tanya sebuah barang, kita diminta untuk cari sendiri. Ketika membayar pun, tak pernah ada interaksi. Bahkan sekedar basa-basi. 

*****

Di lain waktu, saya makan soto kudus di terminal Kudus. Seorang ibu tergopoh menghampiri warung soto ini. Ia berniat membungkus soto untuk anaknya. Namun sayang, pemilik warung soto tidak menyediakan wadah yang pas. Sementara pemilik warung keukeh meminta untuk makan di tempat. Akhirnya sang ibu tidak jadi membeli soto. Saya yang menyaksikan percakapan itu cuma bisa melonggo. 

*****
Dari Toko Yun dan toko soto ini, saya jadi teringat ketika membantu seorang kawan membuat video pendek tugas kuliah S2 yang membahas soal "service excellent". Di video yang diperankan anak didik di sekolahnya ini, pelayanan yang prima menjadi kunci. Terlebih persaingan untuk mendapatkan pelanggan juga tidak mudah. Lebih tidak mudah lagi membuat pelanggan loyal dengan produk yang kita jual. 

Sering kali saya melihat, sebuah bisnis (entah warung, toko, dll) yang sebetulnya bagus, cuma sayang kadang pelayanan belum digarap dengan baik. Pelayanan disini bukan sekedar soal tawaran diskon, tapi juga untuk hal-hal simpel yang kadang luput, seperti senyuman, dll. Guru saya pernah mengatakan "your problem is my business", artinya ketika kita bisa mengatasi masalah orang lain, maka orang lain itu pasti akan mencari kita. Terlebih 80% orang membeli produk kita karena mereka menyukai penjualnya. 

Mana senyummu?

Minggu lalu, saya mengantar mertua perpanjang paspor di kantor imigrasi di Kota. Sengaja datang lebih pagi. Sekilas tak ada yang banyak berubah. Tapi begitu masuk ke kantor pelayanan, ternyata bangunan sudah jauh lebih tertata. Musola, tempat foto kopi, juga kantin nyempil tertata. Lebih kinclong. 

Seorang satpam kurus tampak melayani warga. Meski sudah banyak terpampang alur sistem pengurusan paspor, tak sedikit warga yang bertanya memastikan. Seketika beberapa orang yang baru datang juga mengerubungi. Salah satu orang menanyakan, apakah bisa daftar manual? Karena sudah beberapa hari daftar online tidak bisa. Saat ini, semua harus online. Jadi tidak ada manual lagi. Untung jauh hari adik ipar sudah mendaftarkan perpanjangan paspor mertua via online. Di sana juga tertera jam berapa kita harus datang, jadi tidak perlu takut untuk tidak dilayani. Dan khusus untuk lansia, di atas 60 tahun, ada jalur khusus untuk mendapat nomor urut. 

Setelah data diisi, kita lalu ke gedung A untuk menunggu panggilan. Pegawai belum banyak yang datang. Maklum belum jam 08.30. 15 menit kemudian nama mertua di panggil. Di loket 1, mertua hanya diminta foto dan cap jari saja. Setelah itu keluar. Kami menunggu untuk mendapat lembar kuitansi pembayaran. Jika dulu ketika saya memperpanjang paspor harus membayar di BNI (yang jaraknya lumayan dari kantor imigrasi), tapi kali ini kami membayar di mobil pos yang berjaga di pelataran parkir kantor imigrasi (helpfull banget nih). Setelah bayar, kami tak perlu melapor lagi. Tinggal mengambil paspor baru minggu depan. 

Dari semua pelayanan hari itu, semuanya sudah sangat baik. Catatan kecil saja, petugas loket perlu dibekali cara tersenyum. Karena ketika melayani kami, tak ada sedikitpun senyum dari petugas yang melayani. Apa susahnya tersenyum?

Tuesday, January 9, 2018

Bombay

Sebuah ruang di lantai dua. Di tiga meja lebih penuh orang meriung. Sengaja dibagi sesuai minat dan obrolan. Biar nyambung. Meja ujung berisi guru-guru. Meja kedua berisi perempuan. Meja berikutnya berisi laki-laki. Di meja ujung Waktu membuat mereka banyak berubah. Apalagi sebagian besar sudah berumah tangga. Ada yang punya anak 4, 3, 2. Tapi juga ada yang sedang berjuang punya keturunan. Masing-masing meja penuh gelak-tawa. Semua saling cerita memori ketika sekolah. Ketawa-ketiwi semua. Apalagi yang ingat "hukuman" guru-guru ketika sekolah dulu. Kami semua seperti kembali ke memori 20th silam. Semuanya masih segar ingatan. 

Satu per satu guru-guru memberikan testimoni. Semuanya merasa bersyukur bisa diajak ngumpul dengan murid-murid. Kita semua juga bersyukur bisa memberi sedikit perhatian ke guru-guru. Tanpa jasa mereka bisa apa kita semua ini? 

Sembari makan, kami saling terus bertukar cerita. Ada yang bekerja di perusahaan minyak dan gas, ada yang punya jabatan tinggi di perusahaan, ada yang buka toko sendiri, ada pula yang ngaku cuma ibu rumah tangga. Ada yang tinggal di Jakarta, luar kota, bahkan ada juga yang tinggal di negeri kanguru. 

Jelang bubar, saya mendekat ke salah satu teman. Maklum sedari tadi, kita berjauhan duduknya. Tinggi besar, sejak sekolah. Teman yang satu ini memang gak jauh beda. Bombay namanya. Ukuran celana dan baju saja yang rasanya agak membesar. Muka dan cara jalan, persis seperti dulu. Bersyukur sempat berbincang sedikit soal aktivitasnya. "Gak ngapa-ngapain" ujarnya ringkas saat ditanya kesibukannya. "Hah serius lu" prepet saya. "Iya serius, karena cuma jaga bokap yang lagi sakit" jawabnya serius. Lanjutnya "Anak dan istri sekarang pindah ke Serpong, karena kerja dan sekolah di sana". 

Di waktu teman-teman mengejar karier, Bombay memilih untuk mengurus bokapnya yang sakit. Tentu bukan perkara mudah. Padahal bisa saja dia menyewa jasa suster/pembantu untuk mengurus papanya. Bombay mengajarkan pada saya, karier boleh tinggi, tapi merawat orang tua adalah karier paling tinggi sebagai anak. Kamsiah brother. Semoga bokap segera diberikan kesembuhan.