Wednesday, April 8, 2015

Perubahan

Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Bahkan Buddha mengatakan bahwa segala sesuatu mengalami perubahan, tak terkecuali perubahan itu sendiri. Diri kita juga mengalami hukum perubahan ini. Coba cek saja foto-foto kita. Tidak perlu jauh-jauh cek foto kita waktu kecil. Foto kita sebulan, seminggu, bahkan sehari sebelumnya saja jika dibandingkan sama hari ini, detik ini, mengalami perubahan. 

Perubahan ini pula yang sering kita tidak sukai. Terlebih ketika posisi kita sudah "aman". Aman artinya kita merasa diuntungkan dengan kondisi yang ada. Sehingga ketika perubahan ini datang dan pada akhirnya mengusik ketenangan kita, kita sendiri akan menjadi gaduh. Ibarat kita sedang santai makan, tiba-tiba ada pengamen datang yang memaksa meminta uang, mungkin seperti itulah ilustrasinya. Kita merasa tidak nyaman, kita mungkin saja marah, mengumpat, bahkan mengusir sang pengamen. Terlebih jika kedatangan pengamen ini tanpa permisi. 

Perubahan datang sering kali tidak kita duga. Demikian pula dengan perusahaan/organisasi. Sebuah perusahaan yang berkembang, pasti terus melakukan perubahan disana-sini. Perubahan tempat duduk, perubahan aturan jam masuk, perubahan tata perpakaian, dll. Semuanya diubah, semata-mata demi perkembangan perusahaan dan karyawan yang bekerja di dalamnya. Celakanya banyak dari kita, termasuk saya, tidak menyukai perubahan-perubahan ini. Karena apa? Karena kita sudah terbiasa nyaman. "Ngapain sih diubah-ubah?", "Begini saja sudah baik", dll. Demikian rentetan kekecewaan atas datangnya perubahan. Belum lagi, respon karyawan terhadap perubahan ini. Ada yang mendukung, ada yang 1/2 mendukung, menolak, hingga berujung "melawan" perubahan ini. Yang mendukung sudah tidak perlu kita bahas. Yang 1/2 mendukung, pasti ada gejolak di dalam diri, yang pada akhirnya mengikuti meski dengan terpaksa. Yang "melawan" pasti melakukan pembangkangan terhadap perubahan ini. "Melawan" bisa berupa macam. Seperti masuk diluar jam yang sudah ditentukan, sesuka hati datang ke kantor, motivasi kerja yang amburadul, dll. Yang celaka, tipe bad passanger, seperti yang diutarakan Pak Rhenald Kasali ini justru menjadi influencer bagi yang lain. Tipikal yang satu ini sudah pasti tidak diharapkan perusahaan atau organisasi. Karena hanya menjadi pengacau. 

Yang gentlemen, biasanya akan mencari jalan baru. Resign. Dan ini lumrah terjadi. Jika memang sudah tidak cocok, buat apalagi. Sebab jika dibiarkan terlalu lama, orang-orang tipikal ini justru akan menjadi duri dalam daging. Merugikan semuanya. Bagi perusahaan/organisasi, orang-orang ini dicap sebagai pengganggu. Sementara bagi yang bersangkutan, pastinya rugi karena membuang waktunya untuk "berkembang". Tipe orang ini juga lebih sering mengumbar keluhan atas perusahaan. Tidak puas, merasa disisihkan, merasa tidak dihargai, tidak dihormati, dll. Bagaimana mau dihargai, jika orang ini juga tidak menghargai perusahaan/organisasinya sendiri? Sama halnya bagaimana bisa seorang yang meludahi sumur yang sehari-hari dia minum airnya? 

Bagi saya, orang-orang seperti ini lebih baik mencari pelabuhan baru. Mencari tantangan baru. Daripada menyiksa diri sendiri, lebih baik mencari peluang, kesempatan yang lebih sesuai dengan hati nuraninya. Untuk apa setiap pagi tidak happy  berangkat kerja? Untuk apa bekerja dengan setengah hati? 

Self Driving

Saya terbiasa membeli buku ketika sosial media, terutama twitter ramai memperbincangkannya. Dan kali ini buku yang saya buru Self Driving, yang dibuat Pak Rhenald Kasali. Beberapa bukunya terdahulu sebagian sudah saya baca. Tapi entah kenapa untuk buku yang satu ini, saya seperti didorong untuk segera memilikinya. Mungkin karena efek sosial media yang saya akses. 

Buku ini lebih banyak membahas tentang passenger dan driver. Sama seperti yang disebutkan di rumahperubahan.com, banyak dari kita kita menyadari menjadi seorang passenger dalam keseharian. Kita seolah kehilangan inisiatif, tidak kreatif, tidak berani mengambil tantangan, dan memilih untuk mencari comfort zone. Tapi dalam waktu yang sama kita "cemburu" dengan teman-teman kita yang sukses dalam hidupnya. Padahal kata Pak Rhenald, bedanya cuma satu; kita memilih menjadi passanger atau driver

"Ngapain cape-cape, toh gaji kita segitu-gitu aja", "Begini aja udah cukup, ngapain harus lembur lagi", "Kita ini bawahan, gak usahlah kerja keras". Begitulah secuplik alasan para passanger, termasuk saya selama ini. 

Seperti saya kutip dari rumahperubahan.com, setiap orang sebetulnya memiliki karakter driver dan passanger, yang bisa digunakan untuk mengubah dirinya sendiri dan orang-orang sekelilingnya. Di antara karakteristik seorang driver adalah tidak puas dengan kondisi sekarang, menyukai tantangan dan mengeksplorasi peluang, memecahkan masalah bersama dan menginspirasi orang lain, memimpin dengan pertanyaan, memberikan clear direction, merangkul orang yang berbeda paham dengannya, dikendalikan oleh creative thinking, dan sangat mencintai perubahan. Di  atas semuanya, seorang driver harus berani melakukan kesalahan dan mengambil risiko. 

Sebaliknya passanger sangat mencintai jabatan atau kekuasaan, menyerahkan masalah kepada orang lain, menunggu perintah, dikendalikan oleh "autopilot", hingga terlalu membanggakan apa yang telah dicapai.   

Dari buku ini saya seakan "ditampol", untuk segera sadar memperbaiki diri. Diingatkan kembali untuk tidak lagi membuang waktu terlebih untuk hal-hal yang justru mengurangi energi driver saya. 

Sekali lagi, terima kasih Pak Rhenald atas pencerahannya! Semoga saya bukan lagi "rajawali yang terlanjur percaya bahwa dirinya hanya burung dara." 

Tabik