Wednesday, December 30, 2015

Makanan Sisa

Sebuah siang di rumah makan. "Habiskan saja lauknya, gak usah nasinya". Kita pasti sering dengar hal ini. Nasi selalu dianggap remeh. Seremeh orang yang makan nasi. Padahal sebagai orang Indonesia sering belum makan, kalau belum ketemu nasi. Membuang nasi sudah menjadi kelumrahan. Tidak ada perasaan bersalah sama sekali. Sangat enteng. Padahal jika ditelusuri begitu panjang proses untuk membuat sebutir nasi. Paling cepat 3-4 bulan lamanya membuat bibit padi menjadi gabah yang siap panen. Setelah itu harus dijemur beberapa hari, baru bisa digiling menjadi beras. Dalam masa tanam dibutuhkan air yang cukup, pupuk yang cukup. Belum lagi tenaga petani yang seringkali diabaikan dalam rantai produksi beras. Entah sudah berapa peluh yang keluar dalam proses membuat sebutir beras. Serangan wereng, tikus, dan hama lainnya juga mewarnai rangkaian panjang perjalanan sebutir beras. 

***

Sementara di lain waktu, sarapan pagi sebuah keluarga baru saja usai. Menu pagi itu soto ayam, yang ada nasinya juga. Sotonya hampir tandas sampai dasar mangkok. Tapi nasi masih tersisa hampir separo piring. Celakanya bukan cuma satu piring, tapi hampir semua piring sekeluarga berjumlah 4 orang ini. Ini baru sekali makan. Kalau sehari makan 3 kali, entah sudah berapa kilo nasi hasil peluh petani berbulan-bulan berakhir di tempat sampah. Sementara itu keberadaan kulkas memacu kita untuk belanja lebih banyak lagi karena bisa disimpan. Padahal kita juga sering lupa apa saja yang kita beli. Ujung-ujungnya, bahan makanan ini juga segera menuju tempat sampah. 

***

Setiap ke rumah makan, saya juga sering menjumpai kejadian serupa. Ini baru sebatas persoalan nasi. Belum makanan sisa yang lain, termasuk air, sayur, buah, roti, kopi, teh, dll. Sebuah penelitian pernah merilis bahwa hampir 60% total konsumsi kita ternyata berakhir di tempat sampah. Artinya kita tidak pernah benar-benar menghabiskan makanan yang kita pesan/beli. Beli makan, tidak habis. Beli air kemasan juga bersisa. Dengan uang kita bisa membeli diluar batas kemampuan konsumsi tubuh kita. Padahal alam, petani, tukang sayur, dll sudah banyak berkorban untuk memenuhi kebutuhan kita. "Yah ternyata kebanyakan porsinya, yah udah keburu kenyang, dll", menjadi serangkaian pembenaran yang sering kita lakukan. "Lebih baik nambah daripada gak habis" begitu nasehat orang tua yang sering saya dengar. Ungkapan ini bisa kita terapkan dalam berkonsumsi. Bahkan alm Mbah Suko, petani yang berhasil mengembangkan 39 jenis varietas padi lokal di Magelang pernah mengatakan bahwa sebutir nasi akan menangis jika tidak ikut masuk ke dalam perut bersama teman-temannya, karena masuk ke perut sama artinya masuk ke surga. "Jika begitu lantas apa kita tega meninggalkan sebutir nasi sendirian" ujarnya beberapa tahun silam. 

Selamat menjelang tahun baru. Jangan lupa tandaskan makananmu agar tidak berakhir di tempat sampah. 

foto: detikfood.com

Sunday, December 27, 2015

tangan di atas

Hari masih pagi ketika saya harus keluar rumah karena sebuah keperluan. Setelah urusan beres, segera kembali lagi ke rumah untuk berbenah. Belum juga pagar rumah terbuka, ada seorang wanita muda menghampiri. Sekitar 20an akhir umurnya. Perawakannya tidak tinggi, juga tidak pendek. Seorang diri tanpa tentengan apapun. Sepertinya juga berjalan tanpa arah. Bersandal jepit. Saya tidak pernah melihat sebelumnya. Persis ketika akan membuka pagar rumah, dia menghampiri. Berucap lirih, nyaris tak terdengar. Tapi dari bahasa tubuhnya saya dapat menangkap kalau dia meminta sumbangan uang. Saya pun menyampaikan kalau saya tidak bisa membantu. Saya termasuk pemilih dalam memberikan bantuan. Bukan apa-apa. Semata demi kebaikan yang saya berikan bantuan juga. Biasanya saya telisik, benar tidak yang bersangkutan memerlukan bantuan. Jangan hanya karena malas berusaha, akhirnya mencari jalan gampang menjulurkan tangan meminta bantuan. 


Ada banyak alasan sehingga saya tidak membantu. Ada banyak alasan juga saya biasanya tergerak membantu, bahkan terkadang yang bersangkutan tidak meminta sekalipun. Saya tidak akan membantu, kalau saya lihat pemohon bantuan dalam kondisi sehat bugar, masih muda juga memiliki jiwa yang waras. Bagi saya, model pertama ini, saya kategorikan sebagai "pemalas". Malas untuk mencari pekerjaan, malas untuk berusaha, malas untuk bersusah payah, malas untuk mencari. Maunya gampang bin instan. Di dunia ini mana ada yang instan? Bahkan mie instan aja harus direbus dulu. 

Model orang seperti ini harusnya belajar dari mbah-mbah di Pasar Bringharjo. Juga banyak bisa ditemui di pasar-pasar tradisional seantero negeri ini. Atau siapapun yang lebih tua tapi masih mau berusaha, mau bersusah payah, tak mau berpangku tangan. Bahkan termasuk ibu saya sekalipun. Di usia lanjut, orang-orang ini tidak mau menggantungkan dirinya kepada anaknya. Sekalipun itu bisa saja mereka lakukan. Mereka memilih untuk terus berusaha agar pikirannya selalu awas dan waras. 

foto: www.smstauhiid.com

Wednesday, July 15, 2015

Mbah Patmo

Rambutnya sebagian besar sudah memutih. Guratan keriput juga menutupi wajahnya. Topi lusuh menggantung di kepalanya yang kecil. Baju lengan panjangnya tampak kebesaran daripada tubuhnya. Demikian pula dengan celana pendeknya. Sandal jepit menyangga kakinya yang mulai rapuh. Sesekali ia duduk. Sesekali memandang sekeliling. Tanpa suara. Dia memajang mainan wayang-wayangan yang terbuat dari kertas, tepat di depan sebuah minimarket di pinggiran kota kecil, paling ujung Jepara. Ada punokawan, ada juga Arjuna dan yang lain. Di tengah menjamurnya mainan modern, Mbah Patmo masih setia dengan mainan tradisional syarat makna ini. 

Sebut saja namanya Mbah Patmo. Usianya mungkin sudah menginjak kepala 8. Tapi pendengarannya masih sangat baik. Mbah Patmo, tanpa suara menjual dagangannya. Di usia yang seharusnya dinikmati memomong cucu, Mbah Patmo masih gesit berjualan. Hasilnya memang tidak seberapa, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Selain untuk menambah pemasukan, kegiatan ini juga mengusir kejenuhannya di rumah.

Saya memutuskan membeli 2 mainan wayangnya Mbah Patmo. "Gangsal welas mas" jawabnya ketika saya tanya harga mainannya. Saya memberinya lebih sedikit dari yang seharusnya. Tiba-tiba tangan saya diraih sembari Mbah Patmo komat-kamit dalam bahasa Jawa halus yang saya tangkap sayup-sayup. Kurang lebih Mbah Patmo mendoakan yang baik-baik untuk saya dan keluarga. "Semoga Mbah Patmo banyak diberi kesehatan" ujar saya sembari pamit. 

Di jalan pulang, saya banyak memikirkan Mbah Patmo. Semangat mandirinya benar-benar menyentuh saya. Semangatnya untuk berdikari, tidak menggantungkan hidupnya kepada orang lain betul-betul menjadi pembelajaran tersendiri. Selamat menjelang lebaran Mbah Patmo. Semoga makin banyak rejeki dan makin sehat. Sungkem. 

Kelet, Jepara, 30 Juni 
  

Wednesday, April 8, 2015

Perubahan

Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Bahkan Buddha mengatakan bahwa segala sesuatu mengalami perubahan, tak terkecuali perubahan itu sendiri. Diri kita juga mengalami hukum perubahan ini. Coba cek saja foto-foto kita. Tidak perlu jauh-jauh cek foto kita waktu kecil. Foto kita sebulan, seminggu, bahkan sehari sebelumnya saja jika dibandingkan sama hari ini, detik ini, mengalami perubahan. 

Perubahan ini pula yang sering kita tidak sukai. Terlebih ketika posisi kita sudah "aman". Aman artinya kita merasa diuntungkan dengan kondisi yang ada. Sehingga ketika perubahan ini datang dan pada akhirnya mengusik ketenangan kita, kita sendiri akan menjadi gaduh. Ibarat kita sedang santai makan, tiba-tiba ada pengamen datang yang memaksa meminta uang, mungkin seperti itulah ilustrasinya. Kita merasa tidak nyaman, kita mungkin saja marah, mengumpat, bahkan mengusir sang pengamen. Terlebih jika kedatangan pengamen ini tanpa permisi. 

Perubahan datang sering kali tidak kita duga. Demikian pula dengan perusahaan/organisasi. Sebuah perusahaan yang berkembang, pasti terus melakukan perubahan disana-sini. Perubahan tempat duduk, perubahan aturan jam masuk, perubahan tata perpakaian, dll. Semuanya diubah, semata-mata demi perkembangan perusahaan dan karyawan yang bekerja di dalamnya. Celakanya banyak dari kita, termasuk saya, tidak menyukai perubahan-perubahan ini. Karena apa? Karena kita sudah terbiasa nyaman. "Ngapain sih diubah-ubah?", "Begini saja sudah baik", dll. Demikian rentetan kekecewaan atas datangnya perubahan. Belum lagi, respon karyawan terhadap perubahan ini. Ada yang mendukung, ada yang 1/2 mendukung, menolak, hingga berujung "melawan" perubahan ini. Yang mendukung sudah tidak perlu kita bahas. Yang 1/2 mendukung, pasti ada gejolak di dalam diri, yang pada akhirnya mengikuti meski dengan terpaksa. Yang "melawan" pasti melakukan pembangkangan terhadap perubahan ini. "Melawan" bisa berupa macam. Seperti masuk diluar jam yang sudah ditentukan, sesuka hati datang ke kantor, motivasi kerja yang amburadul, dll. Yang celaka, tipe bad passanger, seperti yang diutarakan Pak Rhenald Kasali ini justru menjadi influencer bagi yang lain. Tipikal yang satu ini sudah pasti tidak diharapkan perusahaan atau organisasi. Karena hanya menjadi pengacau. 

Yang gentlemen, biasanya akan mencari jalan baru. Resign. Dan ini lumrah terjadi. Jika memang sudah tidak cocok, buat apalagi. Sebab jika dibiarkan terlalu lama, orang-orang tipikal ini justru akan menjadi duri dalam daging. Merugikan semuanya. Bagi perusahaan/organisasi, orang-orang ini dicap sebagai pengganggu. Sementara bagi yang bersangkutan, pastinya rugi karena membuang waktunya untuk "berkembang". Tipe orang ini juga lebih sering mengumbar keluhan atas perusahaan. Tidak puas, merasa disisihkan, merasa tidak dihargai, tidak dihormati, dll. Bagaimana mau dihargai, jika orang ini juga tidak menghargai perusahaan/organisasinya sendiri? Sama halnya bagaimana bisa seorang yang meludahi sumur yang sehari-hari dia minum airnya? 

Bagi saya, orang-orang seperti ini lebih baik mencari pelabuhan baru. Mencari tantangan baru. Daripada menyiksa diri sendiri, lebih baik mencari peluang, kesempatan yang lebih sesuai dengan hati nuraninya. Untuk apa setiap pagi tidak happy  berangkat kerja? Untuk apa bekerja dengan setengah hati? 

Self Driving

Saya terbiasa membeli buku ketika sosial media, terutama twitter ramai memperbincangkannya. Dan kali ini buku yang saya buru Self Driving, yang dibuat Pak Rhenald Kasali. Beberapa bukunya terdahulu sebagian sudah saya baca. Tapi entah kenapa untuk buku yang satu ini, saya seperti didorong untuk segera memilikinya. Mungkin karena efek sosial media yang saya akses. 

Buku ini lebih banyak membahas tentang passenger dan driver. Sama seperti yang disebutkan di rumahperubahan.com, banyak dari kita kita menyadari menjadi seorang passenger dalam keseharian. Kita seolah kehilangan inisiatif, tidak kreatif, tidak berani mengambil tantangan, dan memilih untuk mencari comfort zone. Tapi dalam waktu yang sama kita "cemburu" dengan teman-teman kita yang sukses dalam hidupnya. Padahal kata Pak Rhenald, bedanya cuma satu; kita memilih menjadi passanger atau driver

"Ngapain cape-cape, toh gaji kita segitu-gitu aja", "Begini aja udah cukup, ngapain harus lembur lagi", "Kita ini bawahan, gak usahlah kerja keras". Begitulah secuplik alasan para passanger, termasuk saya selama ini. 

Seperti saya kutip dari rumahperubahan.com, setiap orang sebetulnya memiliki karakter driver dan passanger, yang bisa digunakan untuk mengubah dirinya sendiri dan orang-orang sekelilingnya. Di antara karakteristik seorang driver adalah tidak puas dengan kondisi sekarang, menyukai tantangan dan mengeksplorasi peluang, memecahkan masalah bersama dan menginspirasi orang lain, memimpin dengan pertanyaan, memberikan clear direction, merangkul orang yang berbeda paham dengannya, dikendalikan oleh creative thinking, dan sangat mencintai perubahan. Di  atas semuanya, seorang driver harus berani melakukan kesalahan dan mengambil risiko. 

Sebaliknya passanger sangat mencintai jabatan atau kekuasaan, menyerahkan masalah kepada orang lain, menunggu perintah, dikendalikan oleh "autopilot", hingga terlalu membanggakan apa yang telah dicapai.   

Dari buku ini saya seakan "ditampol", untuk segera sadar memperbaiki diri. Diingatkan kembali untuk tidak lagi membuang waktu terlebih untuk hal-hal yang justru mengurangi energi driver saya. 

Sekali lagi, terima kasih Pak Rhenald atas pencerahannya! Semoga saya bukan lagi "rajawali yang terlanjur percaya bahwa dirinya hanya burung dara." 

Tabik





Tuesday, March 24, 2015

Rongsok bukan Rongsokan

Tubuhnya kurus. Baju putih yang menutupi tubuhnya terlihat agak kebesaran. Rambutnya lurus hitam. Sesekali senyumnya berkembang ketika pengunjung datang. Dialah Nurcholis Agi, pemilik Mal Rongsok yang ada di kawasan Depok, Jawa Barat. Mal ini jauh berbeda dengan mal kebanyakan. Di sini tidak ada pendingin udara. Yang ada hanya pendingin alami. Barang bekas terserak di beberapa tempat. Ada tv, komponen komputer, buku. Sementara di lantai dua ada deretan furnitur bekas. Ada lemari, kursi, laci, dll. Kondisi secara keseluruhan agak berantakan. 

"Dulu saya sering ke rongsok, habis itu duitnya saya bawa ke mal, jajan". "Nah dari situlah ide kenapa gak bikin mal rongsok aja" ujarnya sambil berkelakar. 

Bisnis rongsok ini adalah bisnis ke sekian yang dirintis Nurcholis Agi. Sebelumnya ia pernah merintis beberapa bisnis, seperti reparasi, dll. Meski terlihat berantakan, tapi Agi tahu betul barang-barangnya. Bahkan jika ada barang yang hilang, meski barang itu kecil, ia juga tahu. Dan yang membuat saya terperanjat, bisnis rongsok ini tidak ada catatannya. "Semua ada di sini mas" ujarnya seraya menunjuk kepala. 

Tak jauh dari mal rongsok, Agi juga membangun sebuah tempat peristirahatan. Sekelilingnya tetap dijadikan tempat menyimpan beberapa barang rongsok. Yang agak membedakan, di sini Agi membangun rumah berlantai 3. Yang hampir semua materialnya berasal dari barang rongsok. Lantai 1 sengaja dibiarkan kosong melompong. Cuma ada meja kursi, tempat makan, tv, kamar mandi kecil. Lantai dua digunakan untuk tempat tidur, dan lantai 3 dibuat untuk kegiatan menanam dengan memanfaatkan barang rongsok. Disini ada padi, sorgum, jagung, terong, jeruk, dll. Semuanya ditanam dengan media barang rongsok. Bahkan ada tanaman yang ditanam di dalam bekas toilet.

Agi menamakan rumah ini sebagai rumah tanpa pintu. Maksudnya siapa saja boleh datang dan berkunjung. Bahkan untuk mendiami rumah ini, Agi sedang menyeleksi 4 kepala keluarga untuk tinggal bersama dengannya. Syarat untuk tinggal bersama ini ada tujuh. Salah satunya adalah tidak bergunjing, mau bekerja sama, bertanggung jawab, tidak membantah, tidak bergunjing, dll. 

Melalui rumah tanpa pintu ini, Agi ingin berbagi dengan sesama. "Saya sudah cukup, saatnya kecukupan saya ini dibagi untuk yang lain" ujarnya. "Saya juga gak mau masuk surga sendirian, makanya dengan rumah tanpa pintu ini, saya ingin mengajak yang lain juga masuk surga".