Friday, July 26, 2013

pesta getir

Berturut-turut kita kedatangan Arsenal, Liverpool, dan terakhir Chelsea. Dengan Arsenal timnas kalah telak 7-0. Agak mendingan ketika lawan Liverpool cuma 2-0. Tapi kita dibantai lagi 8-1 sama Chelsea di pertandingan terakhir. 

Lalu apa yang kita dapatkan dari semua pertandingan itu? 

Dari segi suporter, tentu kedatangan mereka membawa kegairahan tersendiri. Dari segi klub yang datang pasti memberi keuntungan baik langsung maupun tidak langsung. Dari para pemain, selain mereka bisa dapat jersey pemain idamannya, tentu pengalaman bertanding sangat berkesan. Meski bukan lawan yang sepadan. Bahkan Mourinho, pelatih Chelsea, berseloroh kalau pemain kita gak punya passion bermain. Mungkin Mou juga setengah menyesal membawa pasukannya kesini. Jika bukan karena alasan branding, marketing, penjualan jersey, rasanya tidak mungkin mereka ke sini. 

Arsene Wenger dan Rodgers berturut-turut juga mengomentari timnas kita. Katanya kita punya potensi. Katanya kita punya pemain-pemain bagus. Katanya bla bla bla. Pokoknya yang bagus-bagus, meski terdengar kamuflase saja. 

Bagi saya yang suka nonton bola, kedatangan klub-klub eropa tak lebih sebagai opera saja.  

Lalu apa?

Lihat saja kompetisi kita? Apa menariknya? Berapa banyak penonton yang mau datang ke stadion dengan model kompetisi acang adut seperti itu? Kisruh PSSI sebagai penentu kebijakan sepakbola juga makin tak terarah. Kompetisi yang merupakan ajang pembuktian kerja mereka saja tidak pernah berjalan maksimal.


Padahal harusnya ini adalah kesempatan yang baik untuk para pengurus PSSI melihat dari dekat bagaimana sebuah klub dikelola dengan profesional. Dibanding kondisi disini, rasanya bumi dan langit. Tunggakan gaji pemain terjadi hampir di semua klub. Belum lagi klub diperlakukan tak lebih dari sebuah entitas politik semata.  

Spirit kedatangan Arsenal, Liverpool, Chelsea mungkin seperti kembang api, yang berpijar dan berkembang ketika dinyalakan. Sejenak kita bersuka cita, tapi setelah itu, perlahan padam, hilang kembali sedia kala. Menjadi pesta yang semu bin getir.

*)terilhami tulisan serupa.

Wednesday, July 17, 2013

Mas Bedjo

Mas Bedjo. Usianya sudah menginjak kepala 3, tapi tak lebih 35 tahun. Dulu dia kuliah di salah satu universitas swasta di kawasan Tembalang, Semarang. Jurusan yang dipilih teknik sipil. 

Mas Bedjo memutuskan untuk tidak melanjutkan ilmunya dalam mencari hidup. Berdagang nasi kucing menjadi pilihannya. Banyaknya mahasiswa di kawasan Tembalang menjadi konsumen potensialnya. Nasi kucing-bagi yang belum tahu- adalah jenis makanan yang berisi aneka lauk, seperti ikan, ayam, teri, plus sambal. Tentu porsi masing-masing lauk cuma secuil. Makanya disebut nasi kucing. 

Mas Bedjo tanpa sebab memilih berdagang. Baginya dengan berdagang, ia bisa leluasa mengatur dan menikmati hidupnya. Selain juga persaingan lulusan teknik sipil yang tidak berpihak kepadanya. Berdagang baginya justru lebih mematik semangat hidupnya. Berdagang membuat pikirannya terus "hidup". Berdagang membuat pikirannya "mletik". 

TV kecil menjadi hiburan di warung Mas Bedjo. Sesekali ia perhatikan berita tv. "Opo yo kuwi sing arep digowo mati" ujarnya ketika melihat berita korupsi di tv. Pejabat yang hilir mudik di tv tak lupa dikomentari. "Lha yo, pas mau jadi pegawai semua antri nyogok sana-sini, lha sekarang kok malah antri masuk penjara KPK" imbuhnya. 

#jleb


****
*)ditulis di guest house Amelia.