Wednesday, November 26, 2008

PKBM Pelita: Penerang Warga Pelosok

Sambil menggendong anaknya, Ibu Uum menggerakkan pensil di tangan. Tak sedikit rasa lelah. Dengan tekun ia mengikuti instruksi dari tutor hari itu. Satu persatu huruf ia rangkai membentuk sebait kata dan kalimat. Sesekali ia menenangkan anaknya yang mulai rewel kepanasan. Kadang ia harus bangkit dari kursi. Sekedar membuat tenang sang anak. Ibu Uum, satu dari sekian peserta belajar kejar paket A. Sore itu, ruang kelas itu penuh sesak warga belajar. Di bangku yang lain, seorang anak terlelap di dekapan ibunya. Sementara sang ibu terus mencatat. "BERSIH ITU CERDAS". Itu yang tergores di papan tulis. Kelas ini satu dari beberapa kelas yang di buka PKBM Pelita. Selain kejar paket A, disini pula dibuka kejar paket B. Berpusat di desa Kadudampit, Kec. Saketi, Pandeglang, PKBM ini tak hanya menyelenggarakan kejar paket. Di kompleks PKBM ini juga tersedia ruang belajar bagi PAUD (anak usia dini), bimbingan al-quran, kelas memasak juga life skill.

Adalah Ahmad Suhaery, seorang putra daerah yang menggagas PKBM ini. Alumni UPI Bandung ini prihatin melihat kondisi pendidikan warganya. "Sekitar 60% dari jumlah warga sini hanya tamatan SD". "Penduduknya banyak yang bekerja sebagai buruh tani. Upahnya pun cuma Rp 10.000,- per hari. Sebagian lain merantau dengan berbagai pekerjaan."ujarnya. Sambungnya, seluruh kegiatan ini tidak dipungut biaya. "Semua masih saya usahakan sendiri dibantu teman-teman"ungkapnya. "Belum pernah ada bantuan dari pemerintah". "Saya tak pernah memaksa mereka untuk ikut". "Ini semua atas kemauan mereka sendiri". "Mungkin karena banyak diantara mereka yang melamar pekerjaan di Jakarta hanya mengandalkan keahlian bela diri. Eh tak tahunya tanpa ijasah mereka tidak bisa melamar pekerjaan" ungkap bapak dua anak ini.

Sambungnya, pendidikan itu harus berkelanjutan. Artinya tak hanya sebatas pada ijasah saja. Kemampuan mereka pun harus ditingkatkan. Makanya program life skill juga digagas. Dengan memanfaatkan sumber yang ada, akhirnya diputuskan untuk membuat emping. Maklum disekitar rumah warga memang banyak pohon melinjo. Ibu-ibu diberdayakan per kelompok. Mereka bekerja di rumah masing-masing tanpa harus meninggalkan anak-anaknya. Sementara kegiatan belajar tetap disesuaikan aktivitas. Jangan sampai pekerjaan terganggu jam belajar. "Makanya jam belajar ini pun masyarakat sendiri yang memutuskan". Jelas, penghidupan dapat, demikian pula pendidikan. Semua diserahkan kepada warga belajar.

Asep Muhammad Natsir, seorang warga belajar kejar paket B mengatakan ingin segera punya ijasah. Dengan begitu ia berharap bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Ami, peserta lain, yang belajar bersama dengan ibunya yang sudah sepuh mengatakan pengen lancar membaca dan menulis. "Biar anak saya ketika bertanya soal PR saya bisa membantu. Nanti kalau gak tahu, saya diketawain anak-anak"ujarnya. "Harapan saya belajar ini semakin maju, meski saya semakin tua. Cari ilmu kan boleh sampai tua kan".

Ahmad Suhaeri yang akrab dipanggil Ade berharap, PKBM ini bisa segera mandiri. "Target saya, tahun 2009 PKBM ini sudah sepenuhnya dikelola masyarakat. "Dari, oleh, dan untuk masyarakat itu prinsipnya" tegasnya. Sebab ia berkeinginan mengembangkan PKBM sejenis di tempat lain. Sebuah niat yang sangat mulia. Di tengah dunia pendidikan kita yang masih agak gelap, tentu pelita-pelita yang dinyalakan Ade semoga bisa memberi terang benderang ke pelosok negeri ini.

(foto by Irena)

Monday, November 24, 2008

Harga Sebuah Stempel

Pagi itu jam tanganku belum lama beranjak dari angka sembilan. Suasana lalu lintas sudah mulai ramai. Tapi kantor kelurahan Duri Kosambi masih agak sepi. Meski di dalam ternyata sudah banyak warga yang mengantri mengurus berbagai surat. Di temani kakakku, hari itu aku bermaksud mengurus beberapa surat. Maklum, negara ini memang tak pernah lepas dari soal birokrasi. Di dalam kantor yang berasap karena rokok itu, ada seorang ibu yang mengurus surat domisili. "Untuk buka rekening Pak" jawabnya ketika di tanya petugas.

Beberapa orang juga tampak menunggu giliran. Dengan berbagai keperluan mereka datang. Tak menunggu lama, akhirnya giliranku tiba. "Pak ini surat pengantarnya dari RT" ujarnya sambil menyerahkan secarik kertas putih. "Ya pokoknya bikin sesuai surat pengantar ini Pak" pintaku. Bunyi mesin printer terdengar ditengah keheningan pagi itu. Berharap segera selesai semua urusan ada di kepala barisan antrian. "Pak Lurah lagi ke wali kota" ungkap seorang petugas. "Wah berarti gak bisa selesai dong hari ini" timpal seorang bapak. "Tapi biasanya sih sekretaris lurah udah bisa kok Pak" hiburnya. "Duh hampir saja umpatan aku lontarkan". Beruntung urusan pagi itu di kelurahan cepat selesai. Tanpa ba bi bu, sekretaris lurah yang masih muda membubuhkan tanda tangan satu per satu.

Mendung tebal menggelayut di luar. Lalu lalang kendaraan makin padat saja. Jalanan ternyata sudah agak gerimis. Motor, gerobak, mobil saling bertarung merebut jalan. Klakson menggema dimana-mana. Tiba saatnya setelah kelurahan, kantor kecamatan yang harus dituju. Ini pengalaman pertama. Maklum tak pernah sekalipun aku berurusan dengan kantor ini. Suasana pagi itu sepi sekali. Beberapa pegawai tampak baru datang. Pelampung dan persiapan banjir teronggok di sudut kantor kecamatan yang agak lusuh. Tiba di lantai dua. Setelah menyerahkan berkas kepada seorang pegawai, segera ku istirahatkan badanku. Di bangku itu kudapati seorang ibu menunggu cap untuk mendapatkan gakin dari rumah sakit. Orangnya sudah paruh baya. Suaminya terkena vonis prostat di rumah sakit. Di seberang sana, beberapa pegawai kecamatan sibuk baca koran. Ada yang ngobrol. Ada yang bawa map kesana-kemari. Ada yang mengumpulkan uang untuk beli gorengan. Sangat kontras dengan kegelisahan Ibu ini. "Ibu sudah lama?" tanyaku. "Sudah Mas, tapi saya tak tahu juga kok lama begini". "Padahal kayaknya ya gak rame-rame amat ya". "Yah sabar deh Bu" hiburku. Setengah jam sudah berlalu. Akhirnya panggilan itu datang juga. "Saya duluan ya Mas" pamitnya. "Iya Bu silahkan". Tak kurang lima belas menit, namaku akhirnya di panggil. "Mas ini ada biaya untuk bulan dana PMI". "Masing-masing 5000, jadi semua 10.000". Kaget bukan kepalang. Padahal disana tercetak jelas bahwa satu kwitansi bulan dana PMI itu hanya 1.000. Seribu. SE-RI-BU. Dengan berat hati akhirnya kuikuti kemauan pegawai berkerudung itu. Aku yakin Ibu tadi juga kena jumlah yang sama. Jumlahnya mungkin memang tidak banyak. Tapi jika dikalikan dalam sehari saja, potensi korupsi dana PMI di kecamatan ini sangat besar. Ini baru satu kecamatan. Kalikan saja dengan jumlah kecamatan di Jakarta. Maskud PMI yang mulia, ternyata masih saja dikotori oleh tangan-tangan tak bermoral. Jika kwitansi dana PMI saja di korupsi, gimana dengan proyek yang lain. Sebuah harga stempel yang mahal tentunya.

Wednesday, November 19, 2008

Darah Juang

Karena suatu keperluan, seorang teman memperlihatkan beberapa "lagu kiri" beberapa waktu lalu. Semua terasa asing di telingaku. Aku sendiri waktu mahasiswa tak pernah menyanyikan lagu ini. Maklum, ketika itu, demonstrasi sudah agak jarang. Dari total lagu yang disodorkan, lagu Darah Juang, yang paling menarik hati. Walau sudah agak lama, tapi apa yang ada di lirik lagu ini benar-benar masih terasa . Intinya sebuah pertanyaan besar dari mahasiswa terhadap keadaan negeri ini. Bagaimana pemerintah yang bobrok dan brengsek. Bagaimana tidak. Negara yang kaya raya, melimpah semua bahan alam, tapi dimana-mana rakyatnya kelaparan. Rakyatnya sengsara. Bagaimana bisa, negara penghasil minyak, tapi dimana-mana rakyat mengantri minyak. Negara kaya, namun rakyat terjepit kemiskinan.

Lagu Darah Juang adalah lagu perjuangan mahasiswa Indonesia yang lahir di era reformasi sejak menjelang jatuhnya orde baru. Lagu ini karangan aktivis John Sonny Tobing, Ketua KM UGM pertama, mahasiswa Fakultas Filsafat UGM sekitar 1990. Lirik lagu ini dikerjakan bersama Andi Munajat (Fakultas Filsafat UGM). Lagu ini kemudian menjadi ikon perjuangan setiap demonstrasi mahasiswa di seluruh Indonesia.

Rasanya lagu ini sampai sekarang masih tetap terasa semangatnya. Di tengah carut marut negeri, tak jua ada perubahan mendasar dari reformasi. Hidup makin sulit. Bahkan banyak banyak rakyat yang terusir di tanah sendiri. Negara masih belum berhasil mensejahterakan rakyatnya.

Darah Juang
Di sini negeri kami
Tempat padi terhampar luas
Samuderanya kaya raya
Tanah subur kami Tuhan

Di Negeri permai ini
Berjuta rakyat bersimbah luka
Anak kurus tak sekolah
Pemuda desa tak kerja

Mereka terampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Tuk membebaskan rakyat

Padamu kami berjanji
Padamu kami berbakti
Tuk membebaskan rakyat

(dari beberapa sumber)

Thursday, November 13, 2008

Prof: Komaruddin Hidayat: Indonesia Proyek Masa Depan yang Belum Selesai.

Tonggak kebangkitan bangsa Indonesia mencapai seabad tahun ini. Dalam proses kebangkitan itu tak terpungkiri peran kaum muda. Disela-sela kesibukan yang padat dalam rapat majelis rektor di Hotel Atlet Century, Prof. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Nasional Jakarta, yang biasa disapa Komar mengungkapkan penilaiannya tentang kebangkitan nasional ini kaitannya dengan peran kaum muda. Berikut petikan wawancaranya:

Tonggak panjang kebangkitan Indonesia sudah ditancapkan kaum muda. Seberapa penting Bapak melihat peran kaum muda dalam melakukan perubahan?

Bagi saya persoalannya bukan tua atau muda ya, tapi sebuah kesadaran bersama bahwa yang namanya Indonesia itu sebuah proyek masa depan. Proyek politik, kebudayaan, sebagaimana dicita-citakan oleh semangat proklamasi. Jadi Indonesia bukan warisan masa lalu yang sudah jadi, sudah selesai, tapi ini sebuah proyek masa depan. Nah kesadaran ini yang semestinya harus dimiliki oleh komponen-komponen bangsa, tidak peduli tua atau muda.

Tidak hanya tua muda saja ya Pak?

Iya, jadi tidak ada tua muda. Tua muda itu kan pengaruh struktural dalam rumah tangga kecil, orang tua meninggal lalu digantikan muda. Tapi kalau ke-Indonesiaan itu, hemat saya sebuah agenda besar yang harus disadari bersama. Bahkan sejak anak SD pun harus sadar tentang Indonesia lewat civic education, mahasiswa, termasuk orang tua. Jadi kesadaran bahwa Indonesia itu proses sejarah, budaya, yang belum selesai ini harus menjadi kesadaran bersama baik tua maupun muda, parpol, perguruan tinggi, businessman, ini harus menyadari bersama. Nah yang kedua bagaimana kita itu memperkuat dari etnic group menjadi etnic nation tetapi lebih dari etnic nation tetapi civic nation. Tapi kalau sekarang kan etnic group itu masih kuat ya, itu malah belum sampai. Nah etnic nation tapi pelan-pelan ini menjadi Indonesia, dari etnic-etnic menjadi Indonesia, Indonesia yang tetap melindungi identity etnic tapi diperkuat dan diikat oleh civic values. Makanya civic education, education of citizenship ini penting. Disitu apa kontennya? Misalnya tentang human dignity, respect others, demokrasi, etos kerja, menghargai ilmu pengetahuan, kesadaran tentang modernitas, kesadaran globalitas, nah yang begini-begini harus disadari dan diimplementasikan. Jadi kita tetap menghargai melindungi warisan etnic-etnic, local wisdom dalam satu pilar, satu bingkai civic nation.

Tapi pada kenyataannya sekarang ini yang dominan malah lebih etnic group – dalam bentuk primordialisme itu Pak?

Itu memang tidak bisa dihilangkan ya kedaerahan itu. Primordial itu kan artinya begini. Sesuatu yang kita terima sebelum lahir, itulah primordial. Saya terlahir laki-laki itu kan primordial. Saya terlahir sebagai orang Jawa itu primordial. Saya terlahir sebagai orang Islam itu kan primordial. Dan itu gak bisa dihilangkan.

Tapi itu bukannya yang sekarang dikedepan?

Nah persoalannya itu sekarang dikasih tempat tapi kemudian nilai-nilai primordial yang bagus itu, seperti local genius, local wisdom itu dikembangkan di angkat sebagai civic values tadi. Karena kita gak mungkin akan menghilangkan identity keluarga, etnis. Untuk masa depan mungkin saja, tapi kapan? Itu tidak bisa dielakkan. Mengingkari itu sama saja dengan mengingkari realitas.

Tapi tetap saja maksudnya sifat kedaerahan itu yang lebih menonjol jika dibandingkan nation itu?

Pertanyaannya kan bagaimana dan mengapa itu terjadi? Karena apa ya? Ketika pendidikan semakin menguat, law enforcement juga berjalan, lapangan kerja berkembang dengan baik. Hemat saya secara alami yang namanya keIndonesiaan itu akan terwujud. Dan secara alami sesungguhnya proses ke arah Indonesia itu berlangsung tanpa teriak-teriak. Generasi anak saya saja sudah menjadi anak indonesia. Saya sudah lintas suku, istri saya. Anak saya sudah lintas lintas suku lagi. Jadi kalau saja pendidikan itu maju lapangan kerja terbuka itu secara alami akan menguat ke arah sana, di kalangan eksekutif sesungguhnya sudah terjadi. Cuma yang menjadi sorotan kita kan ngomong politik, parpol, padahal realitas lebih dari itu.

Kembali soal peran kaum muda, seberapa pentingkan peran mereka dalam melakukan perubahan?

Di Indonesia sesungguhnya jumlah lapisan muda ini sangat besar dibanding di Jepang. Disana yang tua itu banyak. Di Indonesia ini muda itu kuat sekali. Nah kalau saja pendidikan itu bagus…..Sebuah negara yang bagus itu kan kalau pilar-pilarnya itu saling bekerja sama. Misalnya pilar pendidikan, pilar ekonomi industri, pilar masyarakat, parpol, pilar birokrasi, masing-masing itu kan sebuah pilar untuk membangun bangsa kan. Jadi kalau masing-masing ini dunia pendidikan, dunia industri, dunia politik dan birokrasi itu punya spirit dan diikat dengan spirit keindonesiaan dengan civic values dengan patriotisme yang inklusif maka diharapkan terjadi satu proses akomodasi dan sekaligus ruang bagi setiap generasi yang tumbuh. Di birokrasi terjadi peremajaan, sosial politik terjadi, yang lain terjadi, itu alami saja. Ibarat satu taman ya sesungguhnya itu kan alami saja. Ketika yang atas itu tidak nutupin. Nah kalau di alam malah alami sekali itu tumbuh. Sedangkan di Indonesia proses regenerasi agak terhenti kemarin itu ya.

Apa penyebabnya menurut Bapak?

Sesungguhnya jaman Pak Harto banyak anak-anak muda yang diakomodir. Di sektor-sektor industri, birokrasi itu kan banyak anak-anak muda. Banyak sekali. Hanya kemarin itu karena regenerasi kepemimpinan nasional saja yang terhambat sehingga mengganggu yang lain. Jadi karena kepemimpinan nasional itu terganggu, maka kemudian seakan-akan tua melulu. Padahal yang muda juga tumbuh. Sekarang ini misalnya Pak Harto itu kan lama sementara kemudian sekarang juga masih pemain lama walau yang maju ini muda, seakan-akan yang muda gak dapat kesempatan. Karena kita hanya ngomong dimensi itu. Tapi di kampus, regenerasi berjalan. Di sektor ekonomi, anak-anak muda tumbuh semuanya. Saya dimana-mana ketemu anak muda. Banyak. Cuma kalau kita ngomong muda kita itu kaitannya kan vertikal politik saja. Gubernur banyak yang muda-muda. Bupati muda-muda. Problem kita kan bukan muda atau tua., problem kita kan bagaimana manajemen aset bangsa, pemberdayaan aset bangsa.

Jadi begitu penting kaum muda Pak?

Bagi saya tidak dikotomi kok. Itu alami. Persoalan kita kan bagaimana pemimpin nasional me-manage aset bangsa. Gak peduli tua muda, karena tua muda itu alami kok. Mau dilarang-larang pun tidak bisa. Kaum muda itu alami dimana pun gak bisa dibendung. Wong orang tua juga akan mati kok. Jadi makanya saya gak begitu hanyut tertarik untuk membuat dikotomi tua muda karena itu alami. Yang diperlukan itu adalah manajemen aset bangsa, misalnya manajemen sumber daya alam, manajemen penduduk, manajemen apa, sehingga kemudian potensi bangsa ini optimal. Dimana pun banyak anak muda. Kecuali di beberapa tempat ada yang tua. Tapi mereka akan berapa lama sih orang tua itu bertahan? Ya kalau sekarang yang tua, ya yang muda konsolidasilah nanti 2014 sudah siap. Ngapain ribut-ribut.

Tapi kalau menurut bapak sampai sekarang kita masih kesulitan me-manage aset bangsa itu?

Bukan kesulitan ya. Problemnya itu adalah bahwa kemarin itu ada satu kader-kader negarawan yang bagus-bagus, yang ketika Pak Harto kuasa itu tidak diberi peran distribusi, tidak ada pemerataan peran karena sentralisasi. Ini kan ekses dari sentralisasi. Kalau di dunia bisnis sudah terjadi. Don’t put your egg in the same basket. Jangan menaruh telur di keranjang yang satu. Sebab kalau ini pecah akan pecah semuanya. Bussinessman sekarang kan dipecah-pecah kan. Kalau ini jatuh ini ada gantinya, karena ini semua ter-inter connected work. Nah dulu ketika Pak Harto itu harusnya sudah banyak. Sehingga ketika Pak Harto turun tidak terjadi keributan dimana-mana. Kan itu saja problemnya. Jadi dia tidak meng-grooming negarawan yang bagus-bagus, yang pinter-pinter. Jadi ada satu missing generasi yang bagus-bagus yang dianggap saingan Pak Harto kemudian disingkirkan. Akibatnya kemudian kita krisis manajemen aset. Kalau sumber daya manusia kita banyak banget.

Kalau sekarang masih terjadi krisis manajemen aset itu?

Ya kita masih kedodoran sampai saat ini. Karena pemerintah sekarang kan masih belum efektif. Gak efektif. Karena sistemnya yang ditinggalkan itu begitu berantakan, tidak sistemik. Ini bedanya negara-negara yang dulu pernah ada transfer skill management british. British itu kan ketika dia meninggalkan negaranya itu ada transfer manajemen. Manajemen skill, knowledge. Jadi bangunannya itu pilar-pilarnya terpelihara kan. Tapi ketika Belanda itu kan dihancurkan, tidak boleh pinter, dua-duanya. Yang menguasai itu kan VOC kan. Bukan pemerintah Belanda. Kamar dagangnya kan. Kita kan dibuat bodoh lalu kita melawan. Begitu merdeka itu juga terjadi satu fragmented of power, di Sumatera ada, di Jawa ada, disini ada, ini kan butuh waktu. Jadi fragmentasi politik itu disamping karena lingkungan sosial budaya yang begitu pluralistik juga tradisi yang berontak dan itu butuh waktu lama. Lalu kemudian Bung Karno itu tidak tuntas menyelesaikan, dia sendiri merupakan skenario, awalnya Pak Harto juga melupakan, jadi seakan-akan kita ini bangsa yang belajar-belajar terus. Itu hemat saya terpengaruh. Kita itu mendapat warisan sistem yang belum mapan. Ini yang kemudian tidak efektif dalam me-manage sampai sekarang. Nah kita harapkan kalau toh SBY ini turun ini kan presiden pertama yang mengikuti sistem kan. Yang lain kan enggak. Yang lain gak sesuai dengan sistem. Karena kita belum mapan sistemnya.

Kalau menurut bapak kapan sistem kita settle?

Ya sekarang sudah benar. On the right track. Asal kita bersabar dengan demokrasi saja sudah benar.. Demokrasi butuh kesabaran.

Tapi banyak yang gak sabar nih Pak?

Ya itu resikonya. India sabar sekali. Ongkosnya mahal. Tapi kan akhirnya ada stabilitas kan. Berapa tahun India demokrasi? Berapa puluh tahun? Lama kan. Tapi dia terus…..jadi kalau seandainya kita bisa sabar dengan demokrasi ini, yang tua yang muda harus diingatkan terus. Jangan berpikir sesaat. Saya pikir kita pasti belajar dari proses ini. Misalnya memilih pemimpin. Partai nanti yang tidak baik pasti akan berguguran kan, sehingga lama-lama akan mati.

Sabar itu bukannya ada batasnya pak?

Sabar itu kan kita jangan lupa dengan tujuan. Walaupun ada problem seperti apa kita commited menjaga martabat demokrasi, nilai-nilai kejujuran. Apapun tantangannya kita commited dan sabar. Jadi kalau kita commited….yang diperlukan kan bangsa yang memiliki komitmen cita-cita kemerdekaan. Jadi siapapun pemimpinnya kalau punya komitmen itu saya optimis. Bahwa sekarang kelihatannya amburadul itu bagian dari ongkos perjalanan. Seperti ongkos sekolahlah. Tapi selama sabar pasti ada hasilnya. Dan rakyat lama-lama kan juga belajar. Kalau terjadi demitologisasi simbol-simbol primordial, entah itu agama, figur kharismatik atau apa itu kan terjadi proses demitologisasi kan. Artinya apa? Rakyat itu sekarang semakin kritis dan rakyat semakin terbuka partisipasinya. Ini sehat. Ini demokrasi. Walau kalau pemilu banyak yang golput, nanti lama-lama partai kan juga belajar dari golput ini. Itu kalau tidak memilih itu ya salahmu sendiri kalau nanti ada pemimpin yang gak bagus. Kalau anda mau mencari pemimpin yang nilainya 10 ya mimpi dong. Gak ada dong. Kalau memang ada 6 atau 5,5, daripada gak memilih. Tapi ini kan proses demokrasi.

Perubahan besar di negeri ini seperti Boedi Oetomo hingga Reformasi 1998 juga digerakkan kaum muda. Namun ketika kaum muda terlibat bahkan duduk di tampuk kekuasaan, mereka seolah tak terdengar lagi suara lantangnya. Apa ada yang salah?

Peran pemuda itu menguat ketika institusi belum mapan dan pendidikan belum maju. Dulu jaman kemerdekaan ya yang paling pinter ya mahasiswa. Tahun 65 juga mahasiswa, pemuda, tapi ketika institusi mapan, sistem mapan maka kekuatannya bukan lagi sama pemuda. Tapi pada gagasan dan institusi. Di Jepang yang mapan kan tua-tua kan bukan yang muda-muda. Di Amerika sistem sudah mapan, jadi siapapun yang punya pikiran dan gagasan misalnya Obama bisa saja. Tapi McCain bisa juga meski tua. Kekuatannya bukan tua atau muda kan, kekuatannya tetap pada satu tawaran-tawaran pikiran.

Iya, tapi jika melihat kaum muda ketika di luar parlemen suaranya sangat lantang, Namur ketika di dalam parlemen tidak terdengar lagi?

Artinya yang membuat sistemnya kan. Ketika sistemnya bagus mau tua atau muda dia akan terbawa. Misalnya namanya pemuda, mahasiswa, nah sekarang kan ada s3, namanya mahasiswa…..lha mahasiswa umur berapa? Kalau dulu mahasiswa s1 boleh dong, nah kalau sekarang kan gak cukup. Muda atau tua itu yang penting gagasan dan kedewasaan sebuah sistem. Makanya kalau ingin memperbaiki sistem di perbanyak orang yang baik-baik yang bisa merubah. Kalau sendiri berat. Sendiri bisa saja menjadi tukang peluit kebakaran. Dan itu sudah terjadi kan. Ada beberapa anggota DPR ketika dia teman-temannya terima uang dia terima uang, sebab kalau tidak terima akan dikucilkan. Tapi diserahkan ke KPK. Dari situ kemudian terbongkar yang lain. Ada beberapa anggota DPR yang saya tahu. Jadi walau sedikit pun ternyata ada peran kalau memang ada komitmen. Jadi dia terima kemudian dari situ dia pulangkan. Memang belum banyak, syukur-syukur bisa banyak. Jadi kalau sedikit itu agak beratlah tapi itu pun sudah mulai. Jadi DPR yang punya komitmen ternyata diam-diam entah formal maupun informal sudah memulai. Sekarang sudah agak lumayan. Saya tahu ada beberapa orang, karena komitmen bisa berubah.

Tahun ini kita memperingati 100 tahun kebangkitan nasional. Apa bangsa kita sudah benar-benar bangkit?

Ya sebenarnya bangkit itu ukurannya apa sih? Kebangkitan sadar dari penjajahan, ya kita sudah bangkit, karena itu menyangkut harga diri ya. Ya dulu ketika melawan Belanda itu kan sebuah kesadaran untuk berubah dan itu harus dihargai dong. Luar biasa. Nyawa taruhannya lho. Nah kalau sekarang ada penjajahan baru sadar atau tidak itu lain persoalan. Tapi pada jamannya kan luar biasa. Nyawa taruhannya. Diponegoro, Imam Bonjol, yang lain-lain, jangan dianggap ringan itu. Itu mata rantai dari pengorbanan batu bata dari bangsa ini. Berkah kesadaran perlawanan pengorbanan. Jaman Kartini mungkin hanya dalam bentuk tulisan. Itu juga sudah suatu kebangkitan untuk tulisan. Lalu menyatakan merdeka itu suatu kebangkitan. Itu hanya berapa orang saja di Pegangsaan. Sementara yang lain mungkin lagi minum-minum dengan Belanda, itu hanya sekelompok orang. Dan saya kagum sekali. Jadi kebangkitan itu jelas. Hanya saja kemudian dalam konteks global tantangan diluar tenyata berkembang. Ada globalisasi, kapitalisme, free market dan sebagainya. Ada bangsa yang sudah lebih siap menghadapi ada yang terkaget-kaget. Kita juga macem-macem, pluralistik. Ada sekelompok yang belum siap. Kalau kita bilang kita itu kita yang mana? Kita Papua, kita Jakarta, Jakarta sendiri Jakarta yang mana? Jadi sebenarnya kalau kita bilang kita itu kita yang mana? Tapi kalau secara general kita ya masih tertinggal. Sebenarnya sudah bangkit, hanya yang lain bangkitnya lebih maju lebih lari. Betapa pun bangsa ini sudah bangkit. Hanya saja kemudian kalau dulu tantangan intervensi global itu tidak seterbuka sekarang. Pelabuhan saja kita punya 400 pelabuhan. Jadi bayangkan kalau ekpor China ditolak AS karena krisis, sementara mereka harus bergulir terus industrinya, apa gak lari ke sini? 400 pelabuhan bisa jebol kan. Industri dalam negeri kan bisa hancur itu. Itu baru dari pelabuhan. Kemudian jebolnya lewat perbankan, belum lagi lewat udara, Internet, saham, informasi, tambang, sumber daya alam, jadi kita sesungguhnya satu sisi itu peluang kita masuk dalam suatu pergaulan global, tapi di sisi lain kalau kita gak siap ibarat pemain kelas kabupaten kita ketemu pemain sepakbola kelas eropa, ….

Tapi kan ada beberapa aset yang harus tetap di protect Pak?

Dalam beberapa hal harus. Dalam beberapa hal. Ya misalnya Korea Selatan, di sana itu gak ada mobil Jepang, mobil asing itu jarang-jarang, yang ada buatan dalam negeri dan kalau mereka menggunakan produk asing itu di sindir gitu, jadi malu gitu. Di India juga begitu kan.

Sektor apa yang harus di protect?

Ya misalnya sumber daya alam, mestinya itu di protect untuk semakin meningkatkan putra-putra dalam negeri, kemandirian teknologi. Hanya saja mungkin kalau kita ingin maju, negara lain juga banyak yang gak seneng karena berarti menutup pintu ekspor mereka kan. Coba kalau kita membuat industri kereta api misalnya, itu sama saja menutup ekspor Jepang kan. Jadi artinya apa? Artinya tidak semua negara tetangga itu senang kalau kita maju. Karena kalau kita maju mereka akan terganggu ekonominya. Nah itu perlu disadari. Ada beberapa hal kita bisa bekerja sama sebab kalau dijauhkan juga tidak mungkin. Tapi untuk aset-aset penting memang harus ditutup dari asing.

Ya memang sekarang berantakan. Itu kan warisan masa lalu yang terjadi kan atas nama negara. Maka perlu DPR itu mengawasi. Tapi DPR juga harus yang benar, sebab sekali kita membuat transaksi dengan negara asing siapa pun presidennya yang bayar negara kan. Kalau gak kita kan bisa jatuh di mata dunia. Kita tidak bisa membatalkan sepihak karena investor juga tidak bisa masuk, Indonesia tidak bisa di pegang omongannya. Tapi memang sebetulnya bisa kok, hanya perlu keberanian. Iran berani, Bolivia berani. Tapi hemat saya Indonesia itu pluralistik sekali. Kecuali kita punya pemimpin yang agak diktator. Yang diperlukan itu pemimpin yang strong, clean, and clever yang membangkitkan Indonesia. Jakarta ini misalnya sudah tidak sanggup menyangga bebannya. Jakarta harus bisa bangun kota baru. Tapi siapa? Selain Pak Harto gak ada lagi. Kita sendiri memang paradoks. Salahnya kita selalu menyalahkan pemimpin tapi rakyat tidak partisipatif, mau gak prihatin begitu? Kita menuntut demokrasi tapi kita gak mau tunduk sama hukum. Kita terlambat banyak hal ternyata.

Jika begitu apakah sekarang kita masih mengalami crisis multidimensi?

Krisis itu sebenarnya kan tantangan juga. Kalau di respon dengan cerdas, kita bisa keluar dari krisis kok. Paling krisis sebenarnya kan Yahudi tuh, tapi mereka tetap tegar dan bekerja cerdas. Tapi dimana-mana sekarang banyak orang Yahudi. Palestina juga krisis. Tapi dimana-mana pemudanya gigih dan pintar. Kita itu masih enak dibandingkan dengan negara lain. Saking enaknya akhirnya menjadi manja dan cuma bisa menuntut. Di India itu 200 juta itu mungkin absolut miskin, ….Indonesia itu masih jauh lebih baiklah.

Harapan Bapak terhadap kaum muda?

Apapun situasinya kalau pemuda itu pendidikannya bagus ya dan punya integritas dan dia punya mimpi-mimpi untuk harapan bangsa ini. Tapi kalau pemuda itu sudah tidak mau belajar, akan sulit. Belajar itu sudah lebih dari sekolah ya. Kedua kalau dia sudah tidak punya integritas dan dedikasi terhadap bangsa dan kerjanya hanya teriak-teriak, hanya menuntut tapi tidak pernah menuntut pada dirinya. Pernahkah orang yang menuntut itu balik menuntut kepada dirinya? Aku harus belajar keras, kerja keras, untuk menolong diriku sendiri sebelum menolong orang lain. Tapi kalau kerjanya itu hanya membuat proposal mencari sumbangan resana kemari dan laporannya tidak bagus kalau toh dia jadi pejabat saya gak yakin dia akan bener. Dia menuntut mengkritik orang lain, tapi dia tidak pernah mengkritik dirinya.

Bagaimana dengan gaya hedon kaum muda saat ini?

Tidak hanya kaum muda, bangsa ini sudah dimanjakan, jadi sulit untuk kembali hidup prihatin lagi, tidak tua dan muda. Karena waktu orde baru kita dimanjakan oleh sistem dan itu fatal. Sekarang ini untuk kembali hidup lagi untuk ukuran orang tua jaman dulu, orang tuanya kasihan sama anaknya, anaknya gak punya pengalaman tenderita, jadi mentalitasnya sudah mentalitas konsumtif. Mentalitas memanjakan diri. Ini sulit diubah, sebab perubahan generasi itu butuh 20 tahun.

Bagi saya apapun itu, selama pendidikan itu dibuat maju , pemimpin itu baik & jujur, saya masih ada harapan untuk bangsa ini. Tetap optimis. Asal pendidikan diperhatikan dan pemimpin punya komitmen terhadap bangsanya, dan jujur. Kita bisa maklumi kok kalau bodoh dan salah. Asal seseorang itu jujur aja dan mau belajar. Orang itu jujur dan mau belajar tidak malas itu pasti masih ada harapan. Semua itu perlu dukungan keluarga dan sekolah. Ketika saya di pesantren diajarkan, jangan mencari pekerjaan, ciptakanlah pekerjaan. Tangan diatas lebih baik daripada dibawah. Kalau kamu tidak bisa menolong orang lain, minimal kamu tidak menyakiti orang lain, minimal jangan bikini susah orang lain. Itu pendidikan yang saya terima di pesantren. Lebih baik menghargai karya orang daripada membenci, terlalu banyak yang bisa dikritik, tapi kamu sendiri apa yang sudah dilakukan?

Asal pendidikan bagus, prestasi kita bagus, pasti nasionalisme baru akan muncul. Orang-orang India dimana-mana, tetap cinta India, ternyata mereka itu jembatan bagi kemajuan India. Orang China yang di Amerika ternyata pintu gerbang. Selama dalam negeri bagus, orang-orang kita pasti kembali. Orang kita itu terrenal cinta negaranya. Yang diperlukan beresi pendidikan, keadilan, kemakmuran, nasionalisme itu pasti akan ada.

(dimuat di Majalah Hikmahbudhi edisi 314).