Monday, March 7, 2016

Sugeng tindak Pak Krish...

Kabar duka pagi itu tertera di salah satu grup wa yang saya ikuti. Pak Krishnanda Wijaya Mukti berpulang, setelah beberapa tahun terakhir bergulat dengan kanker hati. Sosoknya tak asing bagi umat Buddha, terlebih saya. Setidaknya 6thn umur saya secara formal berada di bawah bimbingannya, karena sejak SMP-SMA saya menjadi penerima beasiswa Lembaga Yayasan Dharma Pembangunan, salah satu dari sekian banyak organisasi sosial yang beliau dirikan. Perkenalan saya dengan dokter yang akrab disapa Pak Krish ini bermula ketika liburan ke Jakarta setelah lulus SD di kampung. Ketika itu bersama kakak saya yang pertama, Pak Krish menanyakan apakah saya mau sekolah di Jakarta? Seketika saya menjawab "tidak" sambil sesunggukan. Karena saya memang tidak ada rencana sekolah di Jakarta. Saya cuma mau liburan saja barang beberapa hari. 

Singkat cerita, pada akhirnya saya bersekolah di SMP-SMA Triratna, sekolah dimana Pak Krish menjadi ketua yayasannya hingga akhir hayat beliau. Di sela-sela mengurus sekolah, Pak Krish juga membuka praktek dokter di jl Kerajinan Dalam, Tamansari, Jakarta Barat. Di rumah inilah sebagian besar anak-anak asuhnya yang berasal dari daerah tinggal. Ada satu cerita yang saya masih ingat ketika masih menjadi anak asuhnya. Tiba-tiba, sabtu malam selepas praktek, saya diajak untuk menginap dirumahnya di kawasan percetakan negara. Begitu tiba di rumah, saya diajak makan bersama sekeluarga dalam satu meja. Dengan kikuk saya lahap pelan-pelan makanan di piring. Selesai makan, kami nonton film bersama. Film silat. Setelah itu, saya disuruh tidur dengan putra bungsunya, Brian. Minggu pagi, saya diajak membantu bersih-bersih rumahnya yang agak besar. Dari menyapu, menyabut rumput, dll. Siangnya, kami berdua menuju Bogor. Disana Pak Krish diminta untuk mengisi kegiatan mahasiswa. Sempat salah masuk pintu tol, kami akhirnya tiba di daerah yang sejuk, yang belakangan saya baru ketahui bernama Puncak. Saya tidak ingat apa materi yang disampaikan. Tapi yang saya ingat, banyak mahasiswa yang terkesima dengan materi dari Pak Krish. Pengalaman yang luar biasa untuk seorang anak desa. Pengalaman yang baru bisa saya pahami ketika aktif di HIKMAHBUDHI. 

Lepas SMA, saya sempat kuliah di Semarang, sebelum akhirnya kembali lagi ke Jakarta. Dan lagi-lagi saya bersinggungan dengan Pak Krish karena indekost di rumahnya. Di rumah inilah sering menjadi titik diskusi warna-warni. Meski sederhana dan kebanjiran, hampir semua penghuninya betah. Bahkan ada kelakar diantara kami, "jika bukan karena married, gak akan pindah". Entah kondisinya sekarang.  

Sesekali saya masih bertemu Pak Krish. Perhatiannya terhadap dunia pendidikan tak usah diragukan lagi. Juga kepedulian sosial lainnya. Banyak orang yang kehilangan. Banyak juga yang merasa terbantu karena keberadaannya. 

Semoga jasa-jasa kebajikan beliau, mengkondisikan terlahir di alam yang lebih bahagia hingga menuju pembebasan abadi. 

Sugeng tindak Pak Krish. Terima kasih sudah menjadi guru dan orang tua bagi kami semua.