Tuesday, March 25, 2014

1987 vs 2014

1987. Sebuah hari libur. Ketika itu saya ikut bapak ke pusat kota. Saya tidak tahu mau kemana. Yang ada dibenak saya ketika itu, hanya "jalan-jalan". Anak kecil mana yang tidak suka diajak jalan-jalan. Tapi kali ini tidak jalan-jalan biasa. Sebab kami menumpang sebuah truk yang sehari-hari dipakai untuk mengangkut tebu. Ternyata sudah ramai orang di dalam truk. Sebagian besar laki-laki dewasa. Yang sebagian juga membawa anaknya "jalan-jalan", sama seperti saya. Truk perlahan melaju. Jalan kampung perlahan ditinggalkan. Angin semilir menyerbu ketika truk berderu. Menembus udara segar. 

Truk berhenti di perbatasan desa, menanti warga lain untuk naik. Setelah menunggu beberapa saat, truk penuh muatan. Sawah, ladang tebu, pasar tradisional, juga perlintasan kereta pengangkut tebu terlewati. Meski naik truk, tapi suasananya sangat meriah. Hampir semua yang ada di dalam truk, memakai seragam "merah". Saya tak tahu kala itu, makna warna itu. Yang ada di pikiran sedari awal adalah "jalan-jalan". 

Hampir satu jam saya berdiri berhimpitan. Rasa kantuk mulai menyergap. Bapak terus memegang tangan saya. Berjaga kalau-kalau saya tertidur. Truk sudah mulai masuk kota. Berputar sedikit lalu parkir tak jauh dari sebuah lapangan sepak bola. Bergegas kami turun, begitu pintu belakang truk dibuka. Kami berlompatan. Terdengar dentuman sound system yang sangat keras, memekakkan telinga. Musik dangdut bersahutan, tanpa jelas vokalnya. Begitu masuk ke dalam lapangan suara itu makin keras. Di atas panggung, wanita berbibir menor berdandan seperti artis sedang menyanyi. Tak tahu lagu apa yang dilantunkan. Yang terlihat, warga dibawah panggung ikut bergoyang. Sementara saya hanya mengikuti kemana bapak melangkah. Kami mampir jajan kacang rebus dari tukang dagang keliling. Banyak orang berlalu lalang. Semuanya memakai baju merah. Bahkan dikepalanya ada juga yang plontos dengan menyisakan gambar banteng. Gak paham saya waktu itu. 

Hampir seharian saya ikut bapak "jalan-jalan". Menjelang magrib, sopir truk menyisir penumpangnya untuk diangkut pulang. Saya sengaja memilih tempat agak depan, supaya bisa selonjoran. Maklum seharian dihantam sound system yang keras, membuat tubuh letih. Intinya hari itu sangat lelah, meski juga senang. Senang karena bisa "jalan-jalan" sekaligus jajan. Saya tertidur sepanjang pulang ke desa. Saya juga tak paham acara apa yang diikuti bapak tadi. 

********

2014. TV layar datar dinyalakan. remote kecil itu memencet angka 7. Sebuah channel tv berita mengabarkan perkembangan hilangnya pesawat MAS MH730 yang sudah hampir dua minggu menghilang. Ikut sedih juga melihat berita yang belum jelas ini. 

Setelah berita soal pesawat hilang, tv berita ini menayangkan gegap gempita kampanye yang sebentar lagi kita songsong. Sejak awal minggu ini, semua acara tv memang didominasi berita kampanye. TV A banyak memberitakan partai A, karena dimiliki pengusaha A, demikian pula TV B, C, dan seterusnya. Ujung-ujungnya gak ada yang berimbang sama sekali. Saya lihat di tv, kampanye semua partai masih pakai model lama. Sama-sama bikin panggung, joget-joget, juga orang tua bawa anak-anak. Masih sama persis tahun 1987 silam. 

Lantas apa yang bisa diharap dari kampanye yang hanya mengandalkan jogat joget gak karuan seperti itu? Apa juga harus berkotbah berbusa-busa, sementara tak ada yang mendengar? Apakah tidak ada cara lain menggalang massa yang lebih santun dan produktif?

NB:
Saya mengapresiasi beberapa kawan yang akhirnya terpanggil terjun ke politik. Kenapa? Karena tanpa panggung besar, tanpa  modal besar, tanpa cover media yang besar juga tanpa apapun yang besar-besar, mereka tulus menyambangi masyarakat bawah untuk menyerap aspirasinya. 

www.wiedodo.blogspot.com

Tuesday, March 18, 2014

Idealis

Pagi itu saya mewawancara seorang calon karyawan. Sebut saja namanya Santi. Santi lulusan perguruan tinggi negeri dengan IPK 3 koma sekian. Cukup baik prestasi akademiknya dengan jurusan eksakta. 

Saya: "Apa motivasi terbesar kamu melamar kerja di sini"
Santi: "Saya ingin belajar Pak"
Saya: "Tapi ini tempat kerja, bukan sekolahan"
Santi: diam........

**********
Saya: "Baik jika kamu ingin belajar, apa yang ingin kamu pelajari disini"
Santi: "Saya ingin dapat ilmu, berkenalan dengan banyak orang, bla bla.........."
Saya: "Saat ini apa aktivitas kamu?"
Santi: "Saya sedang mengembangkan pendampingan untuk warga di sebuah kampung di Banten bersama teman-teman saya Pak".
Saya: "Lha kalau mau ketemu banyak orang, bukankah melalui program pendampingan itu kamu bisa juga melakukannya?"
Santi: "Tidak bisa Pak"
Saya: "Kenapa tidak bisa"
Santi: "Ya saya merasa tidak bisa Pak"
Saya: diam..........

**********
Saya: "Baik jika saya terima kamu, apa yang bisa kamu berikan?"
Santi: "Saya akan memberikan seluruh kemampuan saya Pak".
Saya: "Jika saya terima kamu dan saya tugaskan kamu pergi ke suatu tempat, sementara hari itu juga kamu harus berangkat melalukan pendampingan masyarakat, mana yang kamu pilih?"
Santi: "Saya memilih berangkat melakukan pendampingan Pak".
Saya: "Kenapa? 
Santi: "Karena menurut saya itu yang lebih penting".
Saya: "Terus bagaimana dengan pekerjaan utama kamu?"
Santi: @#?
Saya: "Kalau sekarang posisinya dibalik, kamu menugaskan saya untuk bekerja, sementara saya tidak mau mengerjakan, bagaimana reaksi kamu?"
Santi: *****+_
Saya: "Lalu buat apa kamu melamar pekerjaan, sementara kamu ingin memilih melakukan pendampingan masyarakat?"
Santi: diam................

******
Dari wawancara kemarin, saya banyak belajar. Dulu ketika baru saja selesai kuliah, saya juga termasuk yang sangat idealis dengan berbagai pilihan hidup. Dan pada akhirnya yang terpenting adalah kita sendiri maunya apa. Jangan-jangan idealisme kita hanya semata-mata karena pengaruh teman-teman kita? Jangan-jangan kita belum menemukan kita sendiri maunya apa. 




Kartu Kredit

Hari itu kami sekeluarga ke Medan melalui terminal 3. Selesai check in juga menyelesaikan urusan bagasi, kami segera menuju ruang tunggu. Tapi sebelumnya kami bermaksud makan malam dulu di bakmi GM. Maklum, sudah waktunya isi perut, karena perjalanan ke Medan selama 2 jam lebih. 

Begitu kaki ke arah bakmi GM, ternyata beberapa sales kartu kredit menyerbu. Menawari aplikasi yang "katanya" gratis. Kata-kata "gratis" terus diujarkan, sementara saya terus berlalu. Saya juga sudah sejak awal melambaikan tangan pertanda tidak membutuhkan. Sales kartu kredit memang saya akui sangat pantang menyerah. Saya terus dikejar sambil disodorkan berbagai hadiah langsung seandainya saya apply aplikasi kartu kreditnya. 

Selesai memilih menu, saya duduk menunggu pesanan bakmi GM tiba. Sales itu masih terus menunggu. Bahkan dia mulai bertanya, "apakah saya boleh duduk sekalian?". Saya mulai gusar. Saya jawab "saya mau makan". Saya dari awal menghargai cara kerjanya dengan menolak secara halus. Tapi jika terus mendesak seperti ini, mohon maaf saya harus agak kasar. Dan pada akhirnya jurus terakhir saya keluarkan untuk menghardiknya. "Sorry mas, saya kalau mau beli sesuatu lebih suka cash, gak ngutang". Dan sang sales pun akhirnya pergi.