1987. Sebuah hari libur. Ketika itu saya ikut bapak ke pusat kota. Saya tidak tahu mau kemana. Yang ada dibenak saya ketika itu, hanya "jalan-jalan". Anak kecil mana yang tidak suka diajak jalan-jalan. Tapi kali ini tidak jalan-jalan biasa. Sebab kami menumpang sebuah truk yang sehari-hari dipakai untuk mengangkut tebu. Ternyata sudah ramai orang di dalam truk. Sebagian besar laki-laki dewasa. Yang sebagian juga membawa anaknya "jalan-jalan", sama seperti saya. Truk perlahan melaju. Jalan kampung perlahan ditinggalkan. Angin semilir menyerbu ketika truk berderu. Menembus udara segar.
Truk berhenti di perbatasan desa, menanti warga lain untuk naik. Setelah menunggu beberapa saat, truk penuh muatan. Sawah, ladang tebu, pasar tradisional, juga perlintasan kereta pengangkut tebu terlewati. Meski naik truk, tapi suasananya sangat meriah. Hampir semua yang ada di dalam truk, memakai seragam "merah". Saya tak tahu kala itu, makna warna itu. Yang ada di pikiran sedari awal adalah "jalan-jalan".
Hampir satu jam saya berdiri berhimpitan. Rasa kantuk mulai menyergap. Bapak terus memegang tangan saya. Berjaga kalau-kalau saya tertidur. Truk sudah mulai masuk kota. Berputar sedikit lalu parkir tak jauh dari sebuah lapangan sepak bola. Bergegas kami turun, begitu pintu belakang truk dibuka. Kami berlompatan. Terdengar dentuman sound system yang sangat keras, memekakkan telinga. Musik dangdut bersahutan, tanpa jelas vokalnya. Begitu masuk ke dalam lapangan suara itu makin keras. Di atas panggung, wanita berbibir menor berdandan seperti artis sedang menyanyi. Tak tahu lagu apa yang dilantunkan. Yang terlihat, warga dibawah panggung ikut bergoyang. Sementara saya hanya mengikuti kemana bapak melangkah. Kami mampir jajan kacang rebus dari tukang dagang keliling. Banyak orang berlalu lalang. Semuanya memakai baju merah. Bahkan dikepalanya ada juga yang plontos dengan menyisakan gambar banteng. Gak paham saya waktu itu.
Hampir seharian saya ikut bapak "jalan-jalan". Menjelang magrib, sopir truk menyisir penumpangnya untuk diangkut pulang. Saya sengaja memilih tempat agak depan, supaya bisa selonjoran. Maklum seharian dihantam sound system yang keras, membuat tubuh letih. Intinya hari itu sangat lelah, meski juga senang. Senang karena bisa "jalan-jalan" sekaligus jajan. Saya tertidur sepanjang pulang ke desa. Saya juga tak paham acara apa yang diikuti bapak tadi.
********
2014. TV layar datar dinyalakan. remote kecil itu memencet angka 7. Sebuah channel tv berita mengabarkan perkembangan hilangnya pesawat MAS MH730 yang sudah hampir dua minggu menghilang. Ikut sedih juga melihat berita yang belum jelas ini.
Setelah berita soal pesawat hilang, tv berita ini menayangkan gegap gempita kampanye yang sebentar lagi kita songsong. Sejak awal minggu ini, semua acara tv memang didominasi berita kampanye. TV A banyak memberitakan partai A, karena dimiliki pengusaha A, demikian pula TV B, C, dan seterusnya. Ujung-ujungnya gak ada yang berimbang sama sekali. Saya lihat di tv, kampanye semua partai masih pakai model lama. Sama-sama bikin panggung, joget-joget, juga orang tua bawa anak-anak. Masih sama persis tahun 1987 silam.
Lantas apa yang bisa diharap dari kampanye yang hanya mengandalkan jogat joget gak karuan seperti itu? Apa juga harus berkotbah berbusa-busa, sementara tak ada yang mendengar? Apakah tidak ada cara lain menggalang massa yang lebih santun dan produktif?
NB:
Saya mengapresiasi beberapa kawan yang akhirnya terpanggil terjun ke politik. Kenapa? Karena tanpa panggung besar, tanpa modal besar, tanpa cover media yang besar juga tanpa apapun yang besar-besar, mereka tulus menyambangi masyarakat bawah untuk menyerap aspirasinya.
www.wiedodo.blogspot.com
No comments:
Post a Comment