Tuesday, December 30, 2008
Candi Jiwa
Penat kota mengantar kami serombongan ke pinggiran Karawang. Perjalanan panjang pun dimulai. Begitu keluar tol Karawang, suguhan sawah terhampar di sepanjang jalan. Candi Jiwa adalah tujuan kami. Candi Buddhis ini terletak di Batujaya, Karawang.
Thursday, December 25, 2008
Wednesday, December 24, 2008
Selamat Hari Ibu
Agak terlambat aku melihat tayangan siang itu. Di kotak ajaib terpampang seorang ibu, menggendong setengah menyeret anaknya. Rambutnya hampir semua berganti uban. Sepotong adegan itu lalu diikuti sebuah cuplikan judul, Tukirah. Rentetan wawancara dalam bahasa Jawa menyusul, tentu diiringi teks warna kuning. Dokumenter cerita itu terus mengalir. Ya Tukirah, dengan penuh kesabaran mengasuh ketiga anaknya yang mengalami kecacatan sejak lahir. Tanpa kenal lelah tentu. Mulai dari memandikan, menyuapi, hingga membantu anaknya ketika buang hajat. Jika dilihat, ketiga anaknya sudah dewasa dengan kumis menggelatung.
Selamat hari Ibu.
Thursday, December 11, 2008
Buta Baca, Baca Buta
Alat detektor (entah berfungsi atau enggak) mencegat di pintu masuk. Beberapa orang berjaga-jaga waspada. Begitu masuk ternyata sudah ramai. Terlihat seorang polisi berpakaian resmi memakai selendang bertuliskan "Pemandu". Terlihat ada perubahan memang. Langsung saja mampir ke satu loket mengambil formulir pendaftaran. Sejurus aku sudah ditengah-tengah kerumunan orang mengisi lembaran kosong itu. Disana disediakan alat tulis, juga contoh lembar isian yang harus diisi. Aku bertemu lagi dengan ibu muda tadi. Lagi-lagi ia bertanya. "Ini gimana ngisinya Mas" ujarnya cemas. Hampir semua orang menjadi korban ketidaktahuannya. Padahal jelas-jelas disana tertulis jelas contoh pengisian formulir itu. Ternyata tidak hanya ibu muda ini saja yang bertanya. Seorang bapak tua juga bertanya hal yang sama. Belum lagi seorang anak muda berikutnya. Padahal disana semua sudah terpampang jelas. "Apa mereka tidak membaca ya?" pikirku. "Atau jangan-jangan mereka memang tidak bisa membaca?". "Masak hari gini masih ada orang gak bisa membaca sih?".
Ingatanku menerawang pada tulisan seorang teman di Bali. Karena sedang menggelar hajatan, tokonya tutup sementara waktu. Di depan toko jauh hari terpampang pengumuman kalau hari itu toko tidak buka. Namun apa lacur. Masih banyak saja orang datang menanyakan tokonya buka atau tidak hari itu. Sekali dua kali ia masih sabar memberi penjelasan. Tapi lama-lama ia jengkel juga. Dengan dongkol ia menyuruh membaca tulisan di depan toko setiap kali orang bertanya.
Di tengah berpacu menghindari jalan keriting sepanjang jl. Daan Mogot, aku termenung atas semua kejadian tadi. Ternyata banyak dari kita memang tidak pernah benar-benar melihat bacaan dengan baik. Lebih senang mendengar dan melihat daripada membaca. Lihat saja di bawah tanda dilarang parkir ternyata banyak pula mobil berjajar seenak hati. Tak heran banyak rumah di pintu tertulis: "SELAIN ANJING, DILARANG PARKIR DISINI". Aku jadi teringat ketika masih SD, di setiap genteng rumah terpampang B3B, bebas tiga buta. Sebuah program mulia pemerintah kala itu. Salah satunya bebas buta aksara. So, jangan-jangan kita memang belum sepenuhnya B3B! Jadi kita masih saja mengalami buta baca.
Wednesday, December 3, 2008
Siti Sumiyati: Bidan Apung Pulau Seribu
Ibu Sum demikian bidan ini biasa disapa. Nama lengkapnya Siti Sumiati. Ia sudah bertugas sebagai petugas kesehatan di pulau sejak 1971. Itu artinya sudah 38 ia sudah berkeliling pulau seribu memberi pelayanan kesehatan. "Kalau bukan karena panggilan, sudah saya tinggalkan pulau ini jauh-jauh hari Mas" ujarnya membuka cerita. "Kalau dulu Ibu mah kemana-mana masih serba terbatas". "Kapal motor buntut deh pokoknya". "Kalau sekarang sudah banyak kemajuan". "Ojek kapal juga sudah semakin banyak". "Jadi banyak banget perbedaannya". "Selain itu tenaga kesehatan sekarang juga sudah banyak". Hampir semua pulau yang ada di pulau seribu sudah ia singgahi. Termasuk Pulau Sebira yang harus ditempuh 7 jam kala itu. Namun sekarang cukup 2 jam dengan fasilitas speedboat puskesmas keliling. Seorang ibu membenarkan kiprah Ibu Sum. Ia yang kami temui di dermaga pulau pramuka bahkan mengatakan kelima anaknya yang lahir semua ditangani Ibu Sum. "Ibu Sum itu jasanya banyak banget untuk warga sini" ujarnya sambil menawarkan bungkusan ikan teri. "Hampir semua anak pulau sini, semua lewat tangan Ibu Sum" tegasnya.
Meski sudah memasuki masa pensiun, namun jasa Ibu Sum masih dibutuhkan warga. Untuk itu pemerintah memperpanjang masa pensiunnya. "Ibu sebenarnya sudah mau istirahat, tapi gimana lagi?" "Ya sudah dinikmati saja" ujarnya. Dalam setiap memeriksa pasiennya, ia selalu mewanti-wanti untuk menjaga pola makan. Maklum sebagian besar pasiennya memang ibu hamil. "Mereka itu kan riskan, jadi mesti benar-benar menjaga pola makan".
Ibu Sum sebenarnya ditugaskan sebagai bidan di kecamatan. Namun karena kecamatan yang ditunjuk tidak memiliki kantor, ia akhirnya "membantu" di puskesmas pulau Panggang. Tenaganya di pulau terpadat ini justru dirasa banyak warga. "Ibu Sum itu cekatan kalau periksa"ujar Susanti seorang warga. "Memang orangnya bawel, tapi ya memang begitulah orangnya".
Tiap hari Ibu Sum menyebrang ke Pulau Panggang dari rumahnya di Pulau Pramuka. Semua itu ia lakukan atas nama kemanusiaan. "Sehari saja saya tidak masuk, wah besokannya bakalan antri tuh warga" ujarnya terkekeh. "Maklum kadang saya harus pergi untuk banyak urusan. Hampir semua pelatihan saya ingin selalu terlibat". "Sebab pendidikan saya memang tidak tinggi". "Biar begitu saya harus terus mengasah diri biar tidak tertinggal". Atas semua jerih payahnya itu ia di ganjar penghargaan dari WHO sebagai penyelamat ibu melahirkan. Ini karena angka kematian ibu melahirkan di pulau Panggang dan sekitarnya nol persen. Artinya tidak terjadi kematian ibu ketika melahirkan. Ia diundang untuk datang di Glasgow, Skotlandia untuk menerima penghargaan itu Juni lalu. "Dari Indonesia cuma saya lho" ujarnya bangga. "Selain saya, yang dapat penghargaan dari Kuba". "Seumur-umur ini pengalaman paling berharga". "Selain bisa ke luar negeri, banyak juga ilmu yang bisa ditimba".
Beberapa kali Ibu Sum juga diundang untuk berbagi pengalaman dengan bidan-bidan muda. Ia selalu menekankan bahwa menjadi tenaga kesehatan itu adalah panggilan kemanusiaan, bukan untuk mencari material semata.