Tuesday, March 9, 2010

Tikus dalam Kopi

Sore menjelang malam kemarin, langit Jakarta tak terlalu bersahabat. Entah mungkin karena sudah musimnya, atau yang lain, sebagian besar wilayah Jakarta kemarin tertumpah air dari langit. Padahal di parkir motor dekat kantor hanya mendung saja, tapi begitu sampai di Juanda, aspal basah ada dimana-mana. Ini pasti pertanda barusan air langit tertumpah. Tapi masih mendingan daripada hujan. Meski mengotori kuda besi hitamku, tapi tak apalah daripada hujan beneran. Hujan bagi penunggang kuda besi adalah waktu dimana segala kerepotan menghampiri. Mulai dari jas pelindung, sungai di jalan karena drainase kota tak pernah diurus dengan serius, hingga ancaman kecelakaan mengintai.

Sore menjelang malam kemarin, karena suatu keperluan kuda besiku harus diarahkan ke daerah Cikini. Sisa-sisa bentrok massa HMI dan polisi satu hari sebelumnya tak terlihat. Mungkin sudah dibersihkan. Suasana agak lengang meski tak terlalu sepi juga. Agak cepat ternyata aku mendahului sampai. Harus menunggu beberapa saat. Akhirnya setelah bertemu dan disepakati kami masuk ke sebuah warung kopi. Begitu masuk, aroma kopi menyambut kami. Seorang penjaga memakai baju putih tersenyum. "Mau yang di luar apa di dalam? Mau yang smoking area atau tidak?" tanyanya ramah. Akhirnya meja bulat dan dua bangku kami pilih tak jauh dari pintu masuk. Obrolan sana-sini akhirnya menemani kami. Segelas ice cappucino besar juga tak lama datang setelah tertunda beberapa menit. Segala keperluan yang memang harus kami diskusikan tak terasa sudah hampir dua jam. Lamat-lamat, kopi di gelas tinggal beberapa teguk. Sementara kawan di depan, entah sudah berapa batang rokok tersulut.

Tiba waktu undur diri. Obrolan masih saja keluar dari mulut seorang kawan dibarengi semburan asapnya. Sesekali ku lihat caranya berbicara. Namun, kali ini sesuatu berjalan di seberang sana melintasi bongkahan batu bata yang tersusun rapi. Sembari terus terdengar celotehan kawanku, ku perhatikan yang melintas. Ternyata yang melintas itu adalah tikus. Ukurannya tak besar, seperti yang biasa aku lihat di got dekat gang kostku dulu. Seketika rasanya ingin berteriak. Tapi di jajaran meja agak ramai orang bersosialita. Rasanya tak tepat jika mengganggu keasyikan mereka bercengkerama. "Warung kopi mahal & terkenal seperti ini kok ada tikusnya" batinku. Samar terdengar ocehan kawanku diseberang. Sudah ingin rasanya mencabut pantat ini dari kursi. Hilang sudah keinginan menyeruput kopi terakhirku. Ku lihat gelas kawanku sudah tandas sedari tadi.