Friday, May 1, 2009

Siapapun Pemenangnya, Rakyatlah Pemenang Sejati

Pemilu legislatif untuk memilih wakil kita di DPR baru saja usai. Setelah mata kita disuguhi berbagai pose caleg menjajakan diri, entah itu di pohon, di perempatan jalan, juga di tembok kusam ibu kota. Mereka kini harap-harap cemas menanti. Harap dan cemas karena apakah seluruh usaha dan biaya sebanding dengan hasil yang diinginkan. Belum usai perhitungan selesai dilakukan, ternyata banyak caleg yang tumbang. Dari mulai stress ringan, migren, pening, bahkan ada pula yang depresi yang berujung pada bunuh diri. Entah apa akhirnya itu yang menjadi pilihan mereka. Belum lagi beberapa caleg malah mengambil kembali bantuan yang diberikan ketika melihat peluang mendulang angkanya kian tipis. TV, karpet yang pernah diberikan di pangkalan ojek pun di tarik kembali. Jelas ini bukti ketidakdewasaan dan kesiapan mereka. Harusnya dari awal sudah bisa mengkalkulasi diri. Apakah memang pantas dan layak menjadi wakil rakyat atau bukan. Layak dari segi intelegensia, kapasitas, kapabilitas, juga akuntabilitas. Belum lagi soal dana yang memang harus dipersiapkan. Tak ada modal, jangan coba-coba mimpi menjadi wakil rakyat. Apalagi belum apa-apa, masyarakat sudah minta jatah ini itu. Ini celaka. Bagaimana wakil rakyat kita benar-benar tidak akan korupsi jika dari sedari awal masyarakat memang mengajarkan mereka untuk segera mengembalikan modal yang dikeluarkan untuk ini itu tadi. Memang sulit. Tapi itulah adanya wajah bopeng potret demokrasi kita. Jika lantas ketika kampanye mereka berduyun mendatangi mimbar kampanye, bukan semata mereka mau mendengarkan visi dan misi partai. Mereka cuma mencari hiburan, selebihnya ya apalagi kalau bukan cari amplop. Demokrasi kita bukan demokrasi sejati. Tapi demokrasi pancingan. Artinya rakyat akan bergerak kalau ada iming-imingnya, bukan karena ideologi apalagi kata hati. Jangan harap.

Hajatan demokrasi kali ini benar-benar amburadul. Bahkan menjadi terburuk sepanjang sejarah pemilu kita, termasuk pemilu orde baru. KPU sebagai lembaga paling berwenang, kedodoran. Banyaknya rakyat yang tak terdaftar sebagai pemilih menjadi bukti budjet 14an triliun yang digelontorkan tak sebanding. Kinerja KPU bener-bener payah. Belum lagi soal distribusi logistik yang tak kalah kacaunya. Mana ada logistik bisa nyasar. Belum lagi yang sudah dicontrengi oleh petugas nakal. Juga angka golput yang mencapai 40 persen lebih, ini menjadi tanda bahwa pemilu kali ini bikin miris hati. Bagaimana tidak angka golput tinggi, rakyat mau menggunakan haknya saja malah di pasung. Antar anggota KPU juga saling berseberangan pendapat. Jelang hari pencontrengan, ada yang mengatakan bagi rakyat yang tidak kebagian surat undangan bisa menggunakan KTP, namun anggota lain mengatakan hal itu tidak diperkenankan. Lantas rakyat harus mengikuti yang mana. Persoalan DPT (daftar pemilih tetap) menjadi persoalan yang paling krusial . Bayangkan seorang mantan panitia KPPS, kali ini tak bisa menggunakan hak pilihnya. Belum lagi seorang caleg yang namanya tak ada di daftar kartu suara. Jika boleh diberi rapor, mungkin angka 5 menjadi hak KPU kali ini. Artinya mereka tidak naik kelas alias gagal total. Mengapa DPT bisa bermasalah? Bukankah harusnya mereka sudah dipersiapkan jauh-jauh hari? Bukankah mereka sudah lewat fit and propertest ketat di gedung dewan? Bukankah mereka itu para ahli di bidangnya? Entahlah.

Walau secara resmi belum diumumkan karena menunggu perhitungan manual, namun dari quickcount, sudah bisa ditebak siapa yang akan menguasai jagat senayan lima tahun mendatang. Elit politik pun berakrobat, bermanuver sana sini menaikkan harga jual diri. Yang ada di benak mereka cuma kursi dan kepentingan sendiri. Lupa sudah dengan janji mereka ketika kampanye kemarin. Benar mungkin kata teman: caleg itu memang tidak bisa memberi janji apa pun. Karena mereka hanya bisa memberi janji tanpa pernah mampu merealisasi.

Lepas dari carut marut pemilu kali ini, setidaknya kita bisa menjadi penonton yang baik. Meminjam kata dari Bang Komaruddin Hidayat, kita harus mengucapkan terima kasih kepada semua yang terlibat, baik yang menang maupun yang kalah. Ibarat permainan sepak bola, kalah menang itu biasa. Kalau tidak ada yang menang dan yang kalah, tentu pertandingan tak seru dilihat. Tapi tetap haruslah, ujung-ujungnya, siapapun pemenangnya, pemenang sejati haruslah rakyat.

The Shadow of the Flag: referendum tak berkesudahan

Mengambil seting bumi Timor Leste pasca referendum. Film dokumenter ini dibuka dengan dentuman gerak baris sipil bersenjata. Sejurus golok ada di komandan regu. Sesekali ia membentangkan goloknya pertanda barisan belum rapi. Wajah tua tak menyurutkan langkah tegap bak tentara sungguhan. Semua siap seolah perang segera dimulai. Maklum saja, euforia gempita kemenangan atas kemerdekaan baru saja mereka raih. Referendum menjadi jalan bagi kebebasan baru itu. Sesekali jejak konflik pasca referendum kental terlihat di film yang disutradarai Tony Trimarsanto ini. Semua penduduk Timor berharap referendum menjadi pintu bagi kemaslahatan. Maria, salah seorang warga mengatakan bahwa baginya referendum bisa mengubah garis hidup. Baginya menjadi warga Negara Indonesia tak ubahnya menjadi diri yang terjajah. “Terjajah di negeri sendiri” itulah kami waktu dulu, ujarnya. Mereka menganggap Indonesia adalah penjajah. “Dulu kami kemana-mana selalu takut, karena banyak tentara”. Bisa dimaklumi, ketika mereka menang referendum, mereka bersorak ada seberkas harapan disana.

Semua terekam dengan baik. Walau agak bertele, terutama bagian awal. Pembagian jatah beras dari WFP terlalu lama. Beberapa potong adegan kamp pengungsian dan seutas tampah berisi beras sisa saja mestinya sudah bisa menggambarkan kegetiran hidup mereka. Beberapa gambar juga terlalu over pencahayaannya. Selain itu, audio terkadang memekakkan telinga.

Harapan Maria tinggal harapan. Pasca referendum ternyata kehidupan mereka tak lagi berubah. “Maju tidak, mundur juga tidak. Ibaratnya kami terjebak diantara lautan air luas, tidak bisa kemana-mana” ujarnya. Mencari pekerjaan saja sulit. Bersekolah juga sama. Kalau mau kerja harus ada ketrampilan bahasa Inggris, komputer, dll. Mana bisa kami berbahasa Inggris. Selama 24 tahun kami selalu memakai bahasa Indonesia, tapi sekarang jika memakai bahasa ini dianggap sebagai bahasa penjajah. Jadi semuanya serba repot.

Soal pendidikan pun tak kalah payahnya. Guru yang mengajar tidak banyak yang memenuhi kualifikasi. Seorang lulusan SMP mengajar SMA? Bagaimana kami bisa maju. Pemimpin yang ada pun sangat sulit dicari pengharapan. Mereka sibuk dengan urusan sendiri. Jadi ujung-ujungnya kami hanya bisa berharap dengan diri kami sendiri. Pasca transisi pun tak banyak perubahan. Justru disinyalir ini mainan baru antara Portugal dan Australia. Jadi, lagi-lagi korbannya rakyat kecil.

Walau getir, namun film ini juga menampilkan lempengan pantai dan laut yang memang terkenal eksotis. Film ini berhasil memotret sisi lain bumi Timor Leste. Kemerdekaan memang mahal harganya. Konflik untuk merdeka. Merdeka untuk mencari pengharapan yang tak berkesudahan.