Pemilu legislatif untuk memilih wakil kita di DPR baru saja usai. Setelah mata kita disuguhi berbagai pose caleg menjajakan diri, entah itu di pohon, di perempatan jalan, juga di tembok kusam ibu
Hajatan demokrasi kali ini benar-benar amburadul. Bahkan menjadi terburuk sepanjang sejarah pemilu kita, termasuk pemilu orde baru. KPU sebagai lembaga paling berwenang, kedodoran. Banyaknya rakyat yang tak terdaftar sebagai pemilih menjadi bukti budjet 14an triliun yang digelontorkan tak sebanding. Kinerja KPU bener-bener payah. Belum lagi soal distribusi logistik yang tak kalah kacaunya. Mana ada logistik bisa nyasar. Belum lagi yang sudah dicontrengi oleh petugas nakal. Juga angka golput yang mencapai 40 persen lebih, ini menjadi tanda bahwa pemilu kali ini bikin miris hati. Bagaimana tidak angka golput tinggi, rakyat mau menggunakan haknya saja malah di pasung. Antar anggota KPU juga saling berseberangan pendapat. Jelang hari pencontrengan, ada yang mengatakan bagi rakyat yang tidak kebagian surat undangan bisa menggunakan KTP, namun anggota lain mengatakan hal itu tidak diperkenankan. Lantas rakyat harus mengikuti yang mana. Persoalan DPT (daftar pemilih tetap) menjadi persoalan yang paling krusial . Bayangkan seorang mantan panitia KPPS, kali ini tak bisa menggunakan hak pilihnya. Belum lagi seorang caleg yang namanya tak ada di daftar kartu suara. Jika boleh diberi rapor, mungkin angka 5 menjadi hak KPU kali ini. Artinya mereka tidak naik kelas alias gagal total. Mengapa DPT bisa bermasalah? Bukankah harusnya mereka sudah dipersiapkan jauh-jauh hari? Bukankah mereka sudah lewat fit and propertest ketat di gedung dewan? Bukankah mereka itu para ahli di bidangnya? Entahlah.
Walau secara resmi belum diumumkan karena menunggu perhitungan manual, namun dari quickcount, sudah bisa ditebak siapa yang akan menguasai jagat senayan lima tahun mendatang. Elit politik pun berakrobat, bermanuver sana sini menaikkan harga jual diri. Yang ada di benak mereka cuma kursi dan kepentingan sendiri. Lupa sudah dengan janji mereka ketika kampanye kemarin. Benar mungkin kata teman: caleg itu memang tidak bisa memberi janji apa pun. Karena mereka hanya bisa memberi janji tanpa pernah mampu merealisasi.
Lepas dari carut marut pemilu kali ini, setidaknya kita bisa menjadi penonton yang baik. Meminjam kata dari Bang Komaruddin Hidayat, kita harus mengucapkan terima kasih kepada semua yang terlibat, baik yang menang maupun yang kalah. Ibarat permainan sepak bola, kalah menang itu biasa. Kalau tidak ada yang menang dan yang kalah, tentu pertandingan tak seru dilihat. Tapi tetap haruslah, ujung-ujungnya, siapapun pemenangnya, pemenang sejati haruslah rakyat.
No comments:
Post a Comment