Friday, June 27, 2008

Film Itali: Cinta Tak bisa Dibeli

Antonio, Lucia, Maria, dan Paolo adalah tokoh utama film semalam. Lucia bekerja di sebuah biro modeling. Maria dan Paolo tengah mengikat janji menjadi sepasang suami istri. Maria juga bekerja di sebuah biro model yang berbeda. Lucia, Maria, dan Paolo bersahabat sejak lama. Di tengah persiapan pernikahan Maria dan Paolo, diam-diam ternyata Lucia juga menaruh hati dengan Paolo. Sebaliknya Paolo juga demikian. Di tengah kesibukan, dan tentu tak diketahui Maria, mereka sering berkencan. Dengan tekad bulat, Lucia mencari berbagai cara untuk memisahkan Maria & Paolo. Dengan pekerjaan di biro model, Lucia dengan mudah mencari calon lelaki yang akan dijadikan "umpan" untuk menjebak dan memainkan perasaan Maria. Dari sekian pilihan, akhirnya ia memilih Antonio. Seorang pengangguran yang tinggal bersama mantan kakak iparnya di sebuah flat yang kumuh. Alasan keuangan menjadikan Antonio menerima tawaran gila Lucia. Karena latar belakang yang sangat berbeda, Lucia mengajarkan banyak hal kepada Antonio tentang Maria. Mulai dari makanan kesukaan, tontonan favorit, tempat nongkrong, termasuk karya sastra yang paling disukai Maria.

Tingkah polah Antonio menghafal, menghayati setiap detil perannya ini membuat kekonyolan makin menjadi. Sebagai langkah awal pendekatan, Lucia menugaskan Antonio menonton teater yang juga sedang di tonton Maria seorang diri. Dengan berbekal buku tentang pentas teater itu, ia mantap mengambil duduk sebelah gadis berkaca mata tak jauh dari duduk Maria. Hanya saja bukannya menyimak jalan cerita teater itu, justru ia tertidur pulas dengan buku lepas dari genggaman. Buku yang terjatuh inilah yang akhirnya menjadi titik awal perkenalan Antonio dan Maria. Hingga akhinya hubungan Maria-Antonio makin dekat. Maria bukannya tanpa beban menjalani affair ini. Beberapa kali ia merasa bersalah dengan apa yang dilakukan. Dan Lucia pun menjadi pemenang untuk sementara waktu. Dan beberapa lembar uang Lira pun berpindah ke tangan Antonio. Sementara Maria berselancar dengan hubungan barunya, demikian pula Paolo-Lucia. Masing-masing tenggelam dalam benang kusut yang dibuat sendiri ini. Celakanya mereka semua menikmatinya. Benang kusut ini akhirnya menjalar pula pada pekerjaan Lucia. Bahkan ia hampir dipecat, hingga akhirnya ia memberdayakan segenap rasa untuk membuktikan bahwa pemecatan itu bisa dibatalkan. Dan memang akhirnya ia berhasil. Di tengah keberhasilan menyakinkan atasannya, ia pun diliputi kecemasan yang dasyat hubungannya dengan Paolo. Dalam hati dia merasa bersalah. Apalagi ia pun tak mau merusak persahabatan dengan Paolo-Maria.

Di sudut lain, Maria-Antonio tengah di mabuk asmara. Maria pun sudah berbulat hati memutuskan tali tunangannya dengan Paolo. Niat itu sudah bulat. Hanya saja akhirnya tidak sanggup ia sampaikan. Sementara Antonio pun sudah jatuh hati "betulan". Mendengar niat Maria, Antonio menjadi marah dan gusar. Ia pun mengumpat dan mengecam Lucia. Kata yang aku ingat, Antonio mengatakan bahwa cinta itu tidak bisa dibeli dengan uang. Sebab cinta itu datang dari hati. Di tengah ketersambungan kembali tali kasih Maria-Paolo, Antonio memutuskan pergi keluar negeri. Sementara Lucia ternyata merasa kehilangan Antonio. Dengan berbagai cara ia mencari Antonio. Biar bagaimana pun ia berhutang banyak dengan Antonio. Berbekal penuturan mantan kakak ipar Antonio, didapat kabar bahwa memang Antonio sudah berangkat ke bandara. Dan segera Lucia meluncur menyusul. Lalu lalang orang yang padat, membuat ciut Lucia untuk mencari Antonio. Seperti kebanyakan film lainnya, akhirnya Lucia pun berhasil mempertemukan Antonio. Usut punya usut ternyata, pertemuan dibandara ini merupakan skenario Maria yang ingin menyatukan Lucia dan Antonio. Jadi mereka semua ternyata menjadi sutradara masing-masing bagi sahabat-sabahatnya. Lucu juga.

Cerita film ini mungkin sudah jamak di layar kaca kita. Hampir semua sinetron kita pun sudah sering mengangkat cerita ini. Bahwa cinta itu memang tidak bisa dipaksakan, apalagi ditukar dengan materi. Seperti lagu Padi: Cinta bukan sekedar kata, cinta pasti bukan hanya harta dunia semata................

Thursday, June 26, 2008

Bus Way, Bye Bye

Pagi tadi, aku bangun seperti biasa. Hanya saja hari ini ada perlu persiapan ekstra yang perlu dilakukan. Maklum, aku dkk jauh hari berencana naik gunung. Tepatnya gunung Lawu. Dan kami sepakat nanti malam kita berangkat ke Solo naik kereta api. Agak pagi, sengaja aku bangun untuk mempersiapkan semuanya. Harapannya bisa naik busway. Maklum hari ini aku tidak naik motor seperti biasa ke kantor. Tas besar sudah di punggungku. Agak berat ternyata. Tak apalah, naik gunung memang yang perlu dibawa banyak. Akhirnya dengan berusaha melangkah santai aku menuju halte busway tak jauh dari kostku.

Aku tak lihat pasti jam berapa aku berangkat. Tapi rasanya sih masih pagi. Lalu lalang orang dan kendaraan sudah mengeriyap di hadapanku. Tak biasa rasanya. Sebab tiap pagi, aku memang tidak melewati jalur umum ini. Tanpa pikir panjang, beli tiket busway, 3.500. Cukup murah sebenarnya. Di halte itu, tak banyak orang. Hanya beberapa antrian aja. Semenit dua menit menunggu. Ada busway meluncur kencang.Tapi kosong dan melintas saja di depan. Ruat muka kecewa hampir semua terlihat. Was-was akan terlambat datang ke kantor terjadi. Beberapa busway memang datang, tapi sudah sangat sarat penumpang. Tiap kali berhenti, yang bisa naik hanya satu orang. Gila.
Seorang perempuan muda terlihat beberapa kali mengangkat telpon selulernya. Pertanda mengabarkan ketidaksabaran menunggu. Sejurus kemudian ia memutuskan membubarkan diri dari antrian dan beranjak keluar halte. Tak lama menunggu ia sudah di atas bus Patas arah Blok M. Sementara aku dan beberapa orang masih menunggu dan menunggu.

Melirik ke arah sebelah, ternyata jam sudah hampir pukul 8. Wah bisa telat nih, batinku. Aku memutuskan untuk mengikuti jejak perempuan tadi meninggalkan halte busway. Ojek akhirnya menjadi pilihan. Dalam boncengan aku berpikir. Wah bisa sinting kali kalau tiap pagi selalu begini keadaannya. Busway selama ini memang menjadi angkutan alternatif. Sayang manajemennya masih amburadul. Ulah sopir yang masih jauh dari ideal, jadwal yang kacau balau, masih menggelayut. Busway ideal bagi mereka yang gak dikejar-kejar waktu. Sebab selain harus menyambung halte berikut jika tak searah, penyediaan jalur khusus pun tak mampu menjawab "kecepatan" busway. Jika memang mepet waktu tak ada gunanya menggunakan busway. Lebih baik cari angkutan yang lain.

Busway, bye bye aja deh. Mending naik "si hitam" aja pasti cepat sampai tak perlu menggerutu menanti busway yang selalu penuh sesak.

Tuesday, June 24, 2008

22 Juni

22 Juni bisa jadi hari istimewa buat aku. Hari jadi kota Jakarta juga menjadi peringatan hari kelahiranku beberapa tahun silam. Ning adalah orang pertama yang kasih ucapan. Tepat pergantian hari, dia telpon. Beberapa saat, Ibu OHL sms. Isinya sama. Mengucapkan selamat ulang tahun. Segera pun aku balas. Kebetulan hari itu Ibu OHL juga berulang tahun. Paginya aku sempat mengulangi ucapan ini tapi via telpon. Tak lama kemudian, Ibuku sendiri telpon. Mengucapkan ulang tahun. Tak sempat berbicara banyak karena dia harus berangkat menuju TPS. Maklum hari itu Jawa Tengah mengadakan pilkada. Di tengah asyik telpon, diam-diam, Isy, teman kostku mengguyur aku dengan air kendi. Aku sempat semprot dia. Beberapa teman kost akhirnya juga memberi selamat. Aku terima ucap salam mereka dengan suka hati. Abangku yang di Jogja juga sms mengucapkan selamat. Di sms itu ada kata-kata: "Mana kadonya"? Hah? Bukannya yang ulang tahun yang harusnya dikasih kado? Hari itu inbox HP-ku beberapa kali berdering. Teman-teman di Semarang, Surabaya, bahkan dari Balik Papan memberi pesan ucapan selamat. Banyak juga ternyata yang kasih ucapan.

Semangat baru pasti selalu ada ketika peringatan hari lahir tiba. Namanya peringatan, pasti kita diingatkan beberapa saat tentang diri kita. Siapa kita, keluarga kita, komunitas kita, dll. Hari itu aku mengawali hari dengan berbenah kamar kost. Maklum selama ini kamar itu aku agak bengkalaikan. Mungkin cuma numpang tidur saja tepatnya. Beberapa buku yang tercecer aku rapikan. Nyapu dan ngepel akhirnya aku lakukan. Hari itu pula, aku nitip belanja ke Mbak Gina, pembantu kost kami. Ada beras, ayam, bumbu, lalapan, dll untuk makan malam teman-teman. Aku memang sengaja mengundang mereka untuk merayakan hari lahir itu. Mungkin sudah lama aku tak melakukannya. Meski sederhana, yang penting mereka bisa merasakan kebahagiaan bersama.

Resolusi? Entahlah. Aku sama sekali tak mengenal istilah itu. Yang ada diotakku ya berusaha menjalani saja hidup ini sebaik mungkin. Kadang jika melihat teman-teman seusiaku, memang banyak yang berbeda. Tapi toh perbedaan itu memang pilihan yang kita ambil sendiri. Bukankan hidup itu cuma serangkaian pilihan-pilihan saja?

Bagiku, ulang tahun sebenarnya tak beda jauh dengan hari-hari yang lain. Yang berbeda cuma satu bahwa aku makin tua. Jatah hidup makin berkurang. Ibarat kita punya jatah hidup 50 tahun di bumi ini. Tiap tahun kita dikurangi jatah hidup itu. Jadi sebetulnya yang tepat menurutku bukan selamat ulang tahun, tapi selamat memperingati hari lahir. Supaya kita selalu ingat bahwa hidup kita makin singkat dan berkurang. Selamat memperingati hari lahir untuk diriku sendiri.

Friday, June 20, 2008

Bubur Istana

Hari itu, seperti hari-hari lain aku menunaikan tugas seperti biasa. Pagi-pagi benar sudah harus sampai kantor karena ada acara Bike to Work bersama SBY jam 7 pagi. Sebenarnya sangat berat harus bangun pagi. Tapi karena tugas apa mau dikata. Bukankah pekerjaan ini memang aku yang mau sendiri. Suruh siapa mau bekerja yang tidak mengenal waktu?

Informasi yang kita dapat, peserta akan dibagi beberapa titik temu. Salah satu titik bundaran HI. Tempat ini memang titik paling strategis seantero Jakarta. Siapa sih yang gak kenal? Saban demo pasti tempat ini menjadi titik favorit. Begitu kami datang, sudah ada beberapa orang yang memarkirkan sepedanya. Wajah ceria tampak diiringi gelak celoteh diantara mereka. Mereka masih menunggu beberapa kawan yang akan bergabung. Satu per satu peserta datang, termasuk ketua Bike to Work, Mas Toto Sugito. Ternyata kedatangan Mas Toto membawa keramaian. Di tangan dan kakinya terdapat beberapa luka. Usut punya usut Mas Toto mengalami kecelakaan. Katanya sih nabrak pohon. Nah lho. Mas Toto lain kali, ati-ati ya. He........:) Ketika di bundaran HI ini, aku berpikir, acara besar seperti ini kok gak ada yang liput ya? Apa karena kepagian?

Rombongan akhirnya berangkat juga. Dengan santai namun semangat, mereka menggenjot sepeda masing-masing menuju Monas. Dan ternyata di pelataran Monas, Jl. Merdeka Selatan, SBY sudah menanti. Tentu disini, sudah bejibun wartawan yang nongkrong. "Ternyata aku salah tempat nih" batinku sesal. Bertandem dengan Ibu Ani, SBY tampak bersiap menggenjot sepedanya. Acara hari itu juga diikuti beberapa menteri. Tampak Marie E. Pangestu, Rachmat Witoelar, Purnomo Yusgiantoro, Menpora Adhyaksa Dault, dll. Tak ketinggalan bang kumis, jubir Presiden, Andi Malarangeng. Tak lama setelah berkumpul, SBY pun memimpin rombongan ini menuju istana. Yang pasti jaraknya tak jauhlah. Lha wong sekelabatan mata saja, istana sudah nampak kok dari lokasi rombongan ini. Tapi yang penting suasana dan kampanye untuk irit energi patut diapresiasi. Para pemburu berita, sibuk dengan kamera masing-masing. Tak ketinggalan aku juga. Namun segera setelah SBY mengayuhkan sepedanya, semua bubar berebut naik ke mobil pick up yang sudah dipersiapkan. Dan celakanya aku kurang gesit diantara mereka. Akhirnya tertinggallah diriku. Kecewa pasti, tapi apa mau dikata. Sementara rombongan sudah bergerak, akhirnya aku langkahkah kaki menuju istana bersama beberapa orang yang tertinggal. Yah ternyata ada temannya juga. Gak malu-malui bangetlah kalau gitu. He......

Begitu sampai dipintu masuk istana, ternyata kami tak tertinggal jauh dengan peserta bike to work. Banyak peserta juga yang baru sampai. Kami pun langsung berbaur dengan mereka bersama masuk ke dalam istana. Beberapa pemeriksaan tetap dilakukan walau agak santai. Hingga tiba di pintu pemeriksaan terakhir, seorang penjaga menanyakan identitas istana bagi wartawan. Lalu aku jawab gak ada karena memang sehari-hari, saya tidak bertugas disana. Namun kali ini kami diperbolehkan untuk masuk istana. Uh..........:)

Di dalam istana suasana sangat santai. Beberapa orang tampak berfoto ria. SBY sendiri pun berbaur dengan mereka. Sangat berbeda dengan keseharian yang penuh protokoler. Setelah lepas lelah, Mas Toto memberi sambutan yang diteruskan SBY. "Saya kira banyak yang bisa kita dapatkan karena itu saya telah sampaikan kepada saudara Toto, mari kita buat kegiatan ini lebih reguler dan rutenya lebih panjang, terutama untuk kami. Lebih pagi sedikit supaya tidak mengganggu lalu lintas" ujarnya disambut tepuk tangan komunitas bike to work.

Acara pagi itu dilanjutkan dengan penyerahan satu bingkai foto bergambar SPBU dengan tangki berbentuk galon air. Segera setelahnya, peserta bike to work menyerbu beberapa gerobak makan yang sudah disediakan SBY. Ada lontong sayur, ada pula bubur ayam. Dan akhirnya aku memutuskan memilih bubur ayam untuk mengurangi kesemrawutan pagi itu. Untung ada bubur istana. Jalan kaki monas-istana terbayar sudah. Hah!

Thursday, June 19, 2008

RENCANA BESAR

by Padi (Tak Hanya Diam)

Bisakah ku singgah dihatimu
Berharap sebentuk tempat yang tulus
Sesuatu yang kupercaya
Ada tersimpan disana

Terlalu lama aku harus terdiam
Atau mungkin ku tak percaya sungguh
Akan kesempatan dan kemungkinan
Yang terjadi nanti

Karna ku yakin ada pintu yang terbuka
Diantara hatiku dan hatimu

Its been years since we've met
And days had gone by
Now its time to make up my mind
And I hope that we can make it to the end

Bila firasat ini memang benar
Memilikimu adalah maksud
Dari sebuah rencana besar
Merubah hidupku

Jikalau aku harus berhitung benar
Akan kemungkinan yang bisa ada
Bilaku bisa memilikimu
Bahagialah aku

Karena ku yakin ada pintu yang terbuka
Diantara hatiku dan hatimu

Its been years since we've met
And days had gone by
Now its time to make up my mind
And I hope that we can make it to the end

Its been years since we ve met
And days had gone by
Now its the time to make up my mind
Oh...May be I could nev er have you in my life

(Perkenankanlah aku singgah dihatimu
Berharap sebentuk tempat yang tulus
Sesuatu yang kupercaya
Ada tersimpan disana)


Note: Lagu ini menurutku mantap banget. Minimal bisa bikin goyang kaki & kepala. Kalau gak percaya cari aja deh mp3-nya. Dijamin gak cukup dengar sekali.
Time to make up my mind. Rasanya itu yang perlu aku lakukan sekarang ini.!!

Monday, June 16, 2008

Kungfu Panda: Panda yang bikin Terpingkal!

"Mau nonton Kungfu Panda gak" begitu seru seorang teman diujung sana. Tanpa pikir panjang aku pun mengiyakan saja. Padahal aku gak tahu sebelumnya tentang film ini. Aku bukan maniak nonton film. Sesaat, seorang teman diujung telpon bilang, "elu gila ya masak nonton film kartun, untung gua hari ini ke Solo, jadi gak bisa ikut". Entah betulan mempertanyakan film kartun yang aku akan tonton atau perasaan iri saja karena tidak bisa nonton bareng. Ha.....:)
Bioskop malam itu ternyata sudah penuh sesak. Tak ada bangku tersisa. Semua umur lumer jadi satu. Ada anak kecil juga orang tua. Yah artinya aku bukan termasuk barisan orang yang nonton tak sesuai umur.

Po (Jack Black) si Panda adalah anak seorang penjual mie. Melihat Po yang seorang Panda dan ayahnya yang seperti bebek rasanya aneh. Tapi itulah kehebatan film kartun. Suatu hari, ketika tidur Po bermimpi menjadi jagoan Kung Fu. Namun ia takut merealisasikan mimpi ini karena tak mau mengecewakan ayahnya. Sang ayah berharap Po menjadi generasi penerus penjual mie tulen. Kesempatan tak datang dua kali. Mungkin itu yang ada di benak Po, ketika sebuah perguruan Kungfu ternama mencari pendekar naga. Ia ingin mengikuti audisi itu. Namun untuk mengelabui sang ayah, ia turut serta membawa gerobak mie ayahnya dengan alasan akan berjualan di dekat tempat audisi itu. Namun karena perguruan kungfu terletak di atas gunung, Po pun kesulitan mengangkut gerobak ayahnya. Ke pucuk gunung dengan membawa diri yang super besar saja ia kerepotan. Akhirnya gerobak ditinggal. Dengan berbagai cara dan usaha ia akhirnya sampai di tempat audisi. Sayang, ketika ia akan masuk ke dalam perguruan, ternyata pintu persis baru saja ditutup. Kecewalah si Po. Dengan seribu akal, Po berusaha masuk ke dalam, salah satunya dengan menaiki pohon dan menaiki balon udara sederhana. Cara kedua inilah yang akhirnya menuntun dia ke dalam perguruan kungfu meski itu pun secara kebetulan, khas film kartun. Ketika seorang Shifu (kepala perguruan) akan mengumumkan siapa yang akan menjadi pendekar naga, tiba-tiba tubuh tambun Po terhempas di singgasana bagi pendekar naga. Dan akhirnya Po dinobatkan sebagai pendekar naga. Dia pun masih belum menyadari hal ini. Sementara proses penobatan ini tentu membuat berang Furious Five, yang selama ini digadang-gadang sebagai calon pendekar naga. Mereka adalah Tigress, Monkey, Mantis, Viper, dan Crane. Pertemuan dan pertemanan mereka pun tak pernah akur. Po dianggap tak layak menjadi pendekar naga untuk mengalahkan Tai Lung, mantan murid perguruan itu yang tamak hingga akhirnya dijebloskan ke penjara.

Di dalam penjara, ternyata Tai Lung berhasil kabur dan menuntut balas dendam ke perguruan. Disisi lain, tubuh gendut, jalan yang lamban, dan seabreg kekurangan Po membuat dirinya tak percaya diri belajar kungfu. Bahkan Master Shifu sempat meragukannya. Namun ketika Master Oogway meninggal, Master Shifu tak punya pilihan lain untuk terus melatih Po. Ia melatih Po dengan makanan, mengingat Po memang suka sekali makan. Dan seiring berjalan waktu, cara ini berhasil. Tubuh gendutnya tak lagi halangan untuk bergerak membuat jurus kungfu.

Hingga akhirnya Tai Lung datang balas dendam.
Furious Five tak berhasil membendung Tai Lung. Termasuk Master Shifu. Melihat hal ini, Po tak tinggal diam. Awalnya Tai Lung menganggap remeh Po. Namun dengan hasil kerja keras latihannya selama ini akhirnya mampu mengalahkan Tai Lung. Po pun akhirnya dinobatkan sebagai pendekar naga sejati oleh rakyat sekitar perguruan. Ayahnya yang semula tak suka Po berlatih kungfu pun akhirnya menerima dan tentunya bangga dengan anak tambunnya.

Kungfu Panda mengingatkan aku dengan The Cars. Film kartun serupa yang tak kalah seru. Efek grafis yang membahana membuat decak kagum plus tertawa terbahak sepanjang film diputar. Film ini juga sarat makna. Bahwa tubuh tambun tak harus menjadi halangan untuk maju.

Sunday, June 15, 2008

Lagi Lagi Perempuan

Naiknya harga BBM membuat pusing banyak pihak. Dan pihak yang paling pening kepalanya sapa lagi kalau bukan ibu-ibu rumah tangga. Mereka harus berjibaku mengatur keuangan keluarga. Sebenarnya jauh hari sebelum BBM naik, mereka pasti sudah "ahli" bagaimana memilah kebutuhan yang harus dipenuhi dengan uang yang selalu mepet. Itu pula yang dilakukan Ibu Eni dan Ibu Rohmani. Mereka tinggal berhimpitan di pemukiman padat tak jauh dari terminal Pulo Gadung. Ibu Eni tinggal bersama 2 orang anak yang masih bersekolah, namun suaminya tak bekerja hingga kini karena PHK beberapa tahun silam. Keluarga yang berasal dari Sukoharjo, Solo ini mengontrak sepetak rumah seharga 400.000 per bulan. Sehari-hari Ibu Eni berdagang apa saja. "Yang penting halal Mas" ujarnya suatu ketika. Awalnya Ibu Eni menjadi Yakult Lady, penjual minuman Yakult keliling. Maksud hati ingin menambah pemasukan dengan menambah barang yang di jual, namun pihak Yakult tidak mengijinkan. Akibatnya pemberhentian pun dilakukan. Sebab memang aturannya tidak boleh menjual barang lain selain Yakult. Terpaksa, Ibu Eni mencari akal lain. Bagian konsumsi hajatan kelurahan selalu diembannya. Harapan tentu ada sedikit pemasukan dari sini. Seperti hari itu kami mengikuti Ibu Eni memesan sejumlah kue untuk acara di kelurahan. "Kalau tidak begini, anak-anak tidak bisa sekolah Mas" ungkap Ibu yang juga aktif di Komisi Perempuan Indonesia ini.

Hal serupa juga dilakukan Ibu Rohmani. Wanita asli Betawi ini telah menjanda dengan anak-anak yang sudah besar. Ndut, demikian biasa wanita berbadan besar ini di sapa. Meski memiliki rumah sendiri peninggalan orang tuanya, dengan beberapa kamar kontrakan, namun ia tak berpangku tangan. Setidaknya sudah tahunan ia menjalani sebagai seorang Yakult Lady. Pembawaan yang ceplas ceplos memudahkan ia menjaring beberapa konsumen. Seperti hari itu, ketika kami mengikutinya. Dalam sekejap beberapa botol kecil Yakult telah berpindah tangan. Bahkan ada seorang ibu yang gigit jari karena tidak kebagian. "Nanti saya datang lagi kok Bu" demikian hiburnya.

Apa yang dilakukan Ibu-ibu ini mengingatkan saya dengan Ibu di rumah. Sejak Bapak meninggal, Ibulah yang membanting tulang membesarkan kami berlima. Prinsip Ibu waktu itu cuma satu: kerja, kerja, dan kerja. Anak-anaknya tak satupun yang tidak diperbolehkan nganggur, apalagi bermain. Harap maklum, jika kami kurang banyak teman bermain. Sebab masa kecil kami, hanya diisi dengan bekerja. Mainanku cuma satu kala itu: sepak bola.

Di keluarga kami semua sudah ada jatah kerjanya. Ada yang ambil kayu, memasak, menggembala kambing, dan tentu juga membantu membuat tape singkong. Dari jenis tapioka inilah Ibu mempertahankan ekonomi keluarga, juga berhasil mengentaskan pendidikan kami. Urusan pendidikan memang tak pernah ditinggalkan Ibu. Setiap kali ada kartu pembayaran SPP datang, setiap itu pula, SPP segera dilunasi. Bahkan sampai satu tahun ajaran. Selain itu juga, jika ada buku pelajaran yang harus dibeli, Ibu segera meminta kami untuk memberi catatan untuk diberikan kepada penjual buku pelajaran tak jauh dari tempat berdagangnya di emperan pasar. Dan hari itu pula biasanya kami sudah memegang buku pelajaran yang diminta ibu guru. Meski berpeluh, tapi itu semua patut kami syukuri kini. Sebab hingga sekarang keluarga kami baik-baik saja. Ibu sudah kami minta untuk "pensiun". Biarlah kami yang menggantikannya.

Ibu Eni, Ibu Rohmani mungkin contoh umum masyarakat pinggiran dalam menyiasati melambungnya harga-harga. Walau tak jarang banyak pula yang akhirnya tergilas dalam perubahan ini dan menyerah terhadap keadaan. Namun rasa optimis harus terus ditumbuhkan. Rasa bahwa masih ada harapan tersisa dari situasi yang sulit inilah yang menjadi semangat untuk terus bertahan dan berjuang.


Thursday, June 12, 2008

May

May. Singkat. Itulah judul film yang terpampang. Diliputi rasa penasaran, aku cari infonya di internet. Info singkat yang aku dapat bahwa May merupakan kisah cinta dengan latar belakang kesaksian atas peristiwa yang merupakan catatan kelam bangsa Indonesia yaitu Peristiwa Mei 98. May menggambarkan bagaimana cinta antara tokoh Antares yang pribumi dan May yang warga keturunan harus berpisah dan hancur lebur karena peristiwa sosial yang terjadi, termasuk memisahkan orang-orang sekitar mereka. Namun demikian May juga menampilkan upaya penyembuhan luka dan pemaafan melalui cinta.

Sayang karena agak terlambat, aku tidak mengikuti pemutaran film ini dari awal. Alur maju mundur terlihat jelas di film ini. Angle dokumenter terasa sekali dalam proses pengambilan gambar film ini. Sangat memanjakan indra penglihatan kita. Maklum DOP film ini adalah seorang dokumentaris, Ical Tanjung yang memang sudah malang melintang di jagad dokumenter.

Melihat film ini awalnya saya berharap dapat melihat "rekonstruksi" utuh tentang kejadian 10 tahun silam. Maklum, saya termasuk yang melihat langsung sejarah kelam itu. Namun harapan tinggal harapan karena ini hanyalah sebuah film semata. Adegan kerusuhan, penjarahan, kebringasan 10 tahun silam tak terekam jelas. Hanya simbol-simbol saja yang berbicara. Itu pun tak tuntas sekali. Yang ada hanya samar-samar saja. Padahal dalam benak saya, justru bagian ini yang harusnya menjadi titik perhatian dalam film ini. Namun lepas dari itu semua, dramaturgi cerita film ini patut diacungi jempol. Akting Jenny Chang yang memerankan May menurut saya sangat baik. Dia mampu memerankan dua tokoh di beda jaman dengan baik, meski tidak bisa dikatakan terlalu baik. Kecentilan vs kedewasaan inilah yang menjadi kontradiksi peran May. Dia yang selalu manja dengan Antares sepuluh tahun silam berbanding terbalik dengan kondisi dia kini yang harus tumbuh sendiri tercerai berai dengan masa lalu, anak yang tak dikehendaki, juga terpisah dengan Cik Bing (ibunya) sendiri. Sayangnya, bagi saya kisah cinta May & Antares terasa sangat datar. Kisah manusia yang berbeda mungkin akan menarik jika disertai pertentangan orang tua yang memang biasa terjadi. Bagaimana perjuangan mereka dalam mewujudkan cinta itu akan menarik kalau dieksplor lebih lanjut. Mungkin karena urusan durasi, sehingga point ini kurang tergarap. Sementara itu, akting yang kurang maksimal justru datang dari Yama Carlos (Antares), pacar May. Kurang maksimal. Selebihnya akting aktris pendukung seperti Ria Irawan, Lukman Sardi, Niniek L Karim mampu menutupi kekurangan-kekurangan sebagai mana terjadi pada sebuah produksi film. Namun dari sekian banyak peran, menurut saya, justru peran Lukman Sardi yang harus diapresiasi. Dia mampu berperan sebagai orang Jawa yang patuh dan memiliki prinsip, juga memiliki hati nurani. Meski sukses, tapi karena diliputi perasaan bersalah karena telah menggadaikan sertifikat rumah Cing Bing (ketika Cing Bing mau meloloskan diri ke luar negeri), ia mati-matian berjuang, termasuk menanggung malu keluarganya sendiri demi mengobati perasaan bersalahnya kepada keluarga Cik Bing. Baginya, hidup sederhana tak memiliki beban nurani jauh lebih bermartabat daripada hidup kaya raya namun di atas derita orang. Point ini yang menurut saya kejelian penulis cerita film ini. Sebuah nilai yang patut dilihat dan diteladani punggawa negara kita yang masih jauh dari "nurani" ini.

Meski ending film ini terasa kurang menggigit, namun tontonan malam itu benar-benar sarat makna. Meski pula yang melihat malam itu bisa dihitung dengan jari, namun saya yakin mereka yang pulang ke rumah pasti membawa sesuatu. Seonggok sejarah kelam bangsa yang jangan sampai terjadi lagi!


Monday, June 9, 2008

Pancasila Sakti vs Pancasila Sakit

Silang sengkarut sosial kemasyarakatan akhir-akhir ini merajalela. Aksi kekerasan di balas kekerasan. Aksi saling menantang mengemuka di bumi pertiwi. Dengan menggandang ayat-ayat agama, orang dengan lantang memberi pentungan kepada sesama, hanya karena perbedaan sikap. Seolah negeri ini tanpa komando, tanpa pemimpin. Barbar. Yang ada cuma hukum rimba saja.

Padahal jauh hari, negeri ini dibangun atas dasar kebhinekkaan. Berbeda-beda tapi satu jua katanya. Ideologi adi luhung itu terasa hambar kini. Asam. Semua tak dipakai lagi. Semua bertindak atas kehendak sendiri. Tak ada lagi beda yang satu itu. Tak ada lagi aneka yang satu itu. Bahkan dalam sebuah peringatan hari lahir Pancasila beberapa waktu lalu, sebuah spanduk menggambarkan gambar burung Garuda sedang tertusuk tombak dan berlumuran darah. Ini pertanda bahwa Pancasila memang sedang sakit. Pancasila tak lagi dipandang sebagai ideologi bersama, namun kini masing-masing kelompok memiliki ideologi sendiri-sendiri. Ideologi yang terkadang dibenturkan dan dipaksakan kepada kelompok lain yang bersebrangan. Ideologi yang berbeda tak lagi dimaknai sebagai sebuah kekayaan, bukan lagi sebagai aset bangsa, namun dilihat sebagai musuh meski itu bangsa kita sendiri. Bahkan seorang teman beberapa kali mengatakan, sekarang ini sebenarnya kita masih terjajah. Bukan saja terjajah dengan bangsa asing, lewat liberalisasi dan globalisasi, namun juga kita terjajah oleh bangsa kita sendiri.

Entah dengan siapa lagi kita berharap negara hukum ini ditegakkan. Sementara pemerintah terkesan lamban dalam bersikap. Terlalu hati-hati. Hingga akhirnya bukannya menyelesaikan masalah, justru malah menambahi masalah. Persoalan kekerasan misalnya, tindak tanduk polisi sebagai petugas keamanan terdepan pun masih jauh dari mottonya. Pelindung dan pengayom masyarakat. Beberapa memang ada tindakan tegas, namun itu masih belum mencerminkan aparat "formal" negeri ini. Yang digaji dan difasilitasi rakyat. Namun yang cepat tanggap justru aparat "informal" yang justru hanya berkelakuan sesuai pesanan saja. Aparat "informal" inilah yang terkadang makin memperkeruh suasana. Bukankah aparat "formal" harusnya menindak aparat "informal" ini? Karena secara hukum mereka ilegal karena membawa pentungan dan kelewang kemana-mana? Bukankah UU mengatakan siapapun yang membawa senjata tajam dan membahayakan harus ditangkap?

Atas desakan semua pihak, akhirnya Pak BY pun bersuara. Ia mengatakan bahwa negara tidak boleh kalah dengan kekerasan. Ini perlu diacungi jempol. Tinggal kita lihat dan tunggu aksi nyata dari pernyataan kepala negara ini. Negara hukum yang digadang-gadang Pancasila kini sudah ditinggalkan penganutnya. Jangan-jangan Pancasila sekarang memang sudah sakit sehingga kehilangan kesaktiannya, seperti yang dikemukakan alm. Harry Rusli:
Garuda Pancasila, aku lelah mendukungmu
Patriot sudah habis
Tidak bersedia berkorban untukmu
Pancasila dasarnya apa?
Rakyat adil makmurnya kapan?
Pribadi bangsaku tidak maju maju, tidak maju maju, tidak maju maju

Thursday, June 5, 2008

Demokrasi, Demonstrasi, Democrazy

Sekian lama dibumpat, akhirnya era itu datang juga. Sejak kran kebebasan dibuka Habibie, masyarakat bebas menumpahkan segala unek, aspirasi, dan kehendak. Hanya saja kata Buya Syafiie Maafif, kran itu terlalu lebar dibuka. Sehingga yang ada ya seperti sekarang ini terjadi. Dimana orang dengan bebas sesuka hati memotong hak orang lain tanpa beradab. Menghantam pihak yang berseberangan dengan pentungan seperti tragedi Monas minggu silam. Itu dilakukan kelompok yang mengatasnamakan pembela agama. Padahal agama mana sih yang menghalalkan kekerasan atas alasan apapun? "Boleh saja berbeda pendapat dan argumen, tapi yang dewasa dong"begitu kelakar teman suatu sore. Benar juga. Jika melihat yang terjadi sekarang, otak tak lagi dipakai sebagian orang untuk menyampaikan aspirasinya. Yang digunakan cuma otot dan okol. Yang penting apa yang diinginkan terpenuhi. Persetan dengan hak orang lain yang tercarut. Ini kan alam demokrasi, jadi bebas sesuka hati. Boleh bebas, tapi apa boleh bebas juga menginjak-injak orang yang berseberangan pikiran dan pendapat?

Alam bebas itu kini dimaknai dengan demonstrasi. Unjuk rasa biasanya identik dengan demontrasi. Demo itulah yang belakangan kerap terjadi. Bahkan intensitasnya ada tiap hari. Lihat saja TV kita. Tiap hari pasti selalu disuguhi berita demontrasi dengan berbagai sebab. Gaji yang tak dibayar, hak yang terampas, dan seabreg ketidakadilan disana.
Prinsipnya demo atau unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau menentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak yang merugikan. Namun tak jarang unjuk rasa dan demonstrasi dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu dengan tujuan tertentu pula. Ringkasnya sesuai pesananlah. Jadi kelompok ini berunjuk rasa tergantung siapa yang bayar, walau tak paham betul apa yang diunjukrasakan. Maklum jaman sekarang cari pekerjaan susah. Bahkan Pram dalam salah satu tulisan mengatakan "orang Melayu itu kalau berjuang cuma sampai perut." Artinya, kalau perut sudah terisi, maka kekritisan hilang dengan sendirinya. Itu pula yang menghiasi wajah-wajah demontran kita. Meski tak semua begitu. Tapi begitulah yang terjadi.

Bang kumis, Andi Malarangeng mengatakan bahwa demonstrasi adalah bunga-bunga demokrasi. "Silahkan berdialog, berargumen, tapi jangan anarkis"pintanya.
Memang benar adanya bahwa demonstrasi merupakan hal lumrah dalam alam demokrasi. Terlebih ketika parlemen tak memiliki daya dan tenaga dalam mengatasi aspirasi yang berkembang. Sehingga, demonstrasi biasa disebut sebagai "parlemen jalanan". Tapi justru dari parlemen jalanan inilah, biasanya kekuatan massa terbentuk untuk membuat perubahan yang lebih besar. Jika melihat peristiwa 98 justru disinilah titik pijak perubahan bangsa ini dimulai, bukan dari dalam parlemen yang kala itu menjadi "hamba" penguasa saja.

Disisi lain, tak bisa dipungkiri, peran media begitu besar dalam mendorong terjadinya demokrasi ini. Sayangnya, media hanya men-cover hal yang bombastis dan sensasional saja dari proses demokrasi ini. Ini terbukti dari ucapan seorang wartawan 9 tahun silam ketika saya masih menyandang status mahasiswa. Ia mengatakan kalian percuma saja teriak-teriak. Akan seru kalau ada bentrokan. Itu baru berita. Ini kan kacau balau. Justru yang memprovokasi terkadang wartawan itu sendiri. Bahkan grup media besar, membuat dua koran yang saling bertentangan di Ambon. Ini bukti kecil dari sekian ribu andil media dalam memprovokasi proses demokrasi yang akhirnya sering berujung anarki. Padahal jauh hari jurnalisme damai digembar-gemborkan. Ide ini muncul ditengah berkecamuknya media yang selalu berdarah-darah (kekerasaan). Hingga kini idealime jurnalisme yang santun masih terus diperjuangkan. Sebab idealisme ini kurang mendapat porsi yang lebih dalam media ditengah persaingan media yang makin bebas. Memang tak ada hukum yang melarang media untuk mengekpos tindak kekerasan. Bad news is good news. Itulah pedoman dasar yang dipakai pemilik media. Atas nama oplah dan rating, mereka memburu berita apapun tanpa pernah mau berpikir terhadap eksesnya. Yang penting oplah dan rating naik. Habis perkara. Tak peduli berita itu berdarah-darah dan menitikkan air mata kesedihan, yang penting oplah dan rating berlipat-lipat. Jika sudah begitu, kuncinya cuma satu: diperlukan kecerdasan masyarakat dalam memaknai berita media dalam arus deras demokrasi sekarang ini. Jangan hanya melihat permukaannya saja. Jika tidak maka demonstrasi akan menjadi democrazy yang disertai anarki.

Monday, June 2, 2008

BLT vs BKM

Sempat menuai protes dari segara penjuru, pemerintah tetap berkeras menaikkan harga BBM. Alasannya sederhana; harga minyak dunia makin melejit, APBN menipis. Pertanyaannya kemudian, jika harga minyak tak terkendali begini, apakah pemerintah akan terus menaikkan BBM? Pemerintah berdalih subsidi BBM selama ini hanya dinikmati oleh kaum mampu. Padahal efek domino dari kenaikan BBM ini otomatis akan berlangsung. Barang-barang pasti akan melejit. Untuk "membantu" warga miskin, pemerintah menurunkan BLT, bantuan langsung tunai, sebesar 100rb untuk sebulan. BLT pun nasibnya sama dengan BBM. Sama-sama diprotes oleh banyak kalangan, termasuk perangkat desa yang tergabung dalam Parade Nusantara. Mereka menilai bahwa selain tidak dilibatkan dalam pembagian BLT ini, padahal merekalah yang paling mengetahui data siapa-siapa saja kelompok yang paling membutuhkan. Jika demikian, pemerintah dapat data itu darimana? BLT memang membantu bagi rakyat miskin. Tapi itu tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Sebab BLT akan habis masa berlakunya. Sementara beban rakyat akibat kenaikan BBM tak akan ada batas berlakunya.

Kelompok terbesar yang menentang keras kenaikan BBM adalah kaum mahasiswa. Jatuh korban pun tak terelakkan ketika aksi mahasiswa ditanggapi dengan pentungan aparat seperti yang terjadi di Unas beberapa waktu lalu. Aksi ini menyulut api besar demonstrasi anti kenaikan BBM di beberapa wilayah lainnya. Hari-hari mahasiswa dipenuhi dengan aksi ini. Mahasiswa sebagai agen perubahan sosial tentu paham betul dengan penderitaan rakyat. Untuk itu aksi ini diambil semata-mata beban rakyat yang pasti makin berat jika harga BBM naik.

Dari dalam istana, SBY mencanangkan ada perlunya mahasiswa juga diberikan bantuan. Dan program bantuan khusus mahasiswa (BKM) pun dilakukan. Semangat untuk membantu/mensejahterakan rakyat, dalam hal ini mahasiswa sih patut diberi apresiasi. Sayangnya BKM dilakukan ditengah berkecamuknya demonstrasi mahasiswa menentang kenaikan BBM pemerintah. BKM pun tak luput dari sasaran protes. Walau ada yang mendukung, tapi lebih banyak yang melihat sebagai mudaratnya. Alih-alih membantu mahasiswa, bantuan ini diindikasikan sebagai upaya pemerintah saja dalam menekan daya kritis mahasiswa belakangan ini.

Fajroel Rachman dalam Kompas bahkan dengan lantang mengatakan bahwa BKM adalah suap terhadap daya kritis mahasiswa. Pertanyaannya apakah daya kritis mahasiswa akan mandul karena BKM ini? Kita memang tidak perlu skeptis dengan program ini, tapi jika tidak mengapa program ini diterbitkan ketika mahasiswa ramai turun ke jalan? Jangan-jangan sinyalemen bahwa
BKM ini sebagai "suap" kepada mahasiswa benar adanya?! Silahkan "nurani" mahasiswa bersuara.

FPI = Front Preman Indonesia?

Minggu sore yang tenang berubah menjadi gelisah kacau begitu melihat berita di salah satu TV swasta. FPI lagi-lagi membawa berita. Sudah seperti biasa, bukan aksi simpatik, tapi aksi antipatik. Aksi penyerangan lagi-lagi menjadi "berita" setiap kali FPI naik menjadi bintang. Kali ini yang menjadi ketika beberapa orang dari aliansi kebangsaan untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan (AKK-BB) terluka diserang massa yang memakai atribut FPI. Hari itu rencananya aksi damai ini akan berjalan dari Monas menuju Bunderan HI. Namun aksi ini batal karena penyerangan itu. Banyak korban luka akibat aksi preman jalanan ini.

Jubir FPI mengatakan bahwa aksi penyerangan ini dilakukan karena massa dari berbagai ormas pluralisme ini ingin mendukung eksistensi Ahmadiyah. Padahal Ahmadiyah jelas-jelas sudah dibubarkan melalui Bakor Pakem. Namun disisi lain, SKB Ahmadiyah dari pemerintah melalui tiga menteri hingga kini tak kunjung ada. Baginya tak ada lagi negosiasi dengan eksistensi Ahmadiyah. Ahmadiyah katanya adalah organisasi kriminal. Jadi apapun yang dilakukan harus ditumpas. Yang disebut kriminal itu apa sih? Bukankah kriminal itu adalah sebutan bagi mereka yang melakukan perusakan, penghancuran, bertindak kriminil. Ini kata bung wikipedia:seorang kriminal adalah seseorang yang melakukan sesuatu yang melanggar hukum atau sebuah tindak kejahatan. Perbuatannya disebut kriminalitas atau tindak kriminal. Biasanya yang dianggap kriminal adalah seorang maling atau pencuri, pembunuh, perampok. Dari terjemahan bebas arti kriminal ini saja, FPI sudah salah mengartikan. Sementara Ahmadiyah tak pernah kedengaran melakukan perusakan dan kekerasan terhadap orang lain, juga tidak pernah merusak fasilitas umum dan mengganggu milik pribadi dengan dalih memberantas judi dan maksiat. Ahmadiyah yang terdengar adalah kelompok yang cinta akan kedamaian. Bahkan ketika terjadi penyerangan dan pembakaran mesjid Ahmadiyah di beberapa wilayah di tanah air, massa Ahmadiyah tak pernah sekalipun terdengar membalasnya. Terakhir malah terdengar untuk memperingati hari kebangkitan nasional mereka menggelar berbagai donor darah dan pengobatan bagi rakyat miskin. Jadi siapa lebih yang kriminil?

Walau desakan dari banyak tokoh dan organisasi mengemuka untuk membubarkan FPI dan ormas sejenis, namun hingga kini pemerintah tak bergeming. Entah apa alasannya. Padahal jelas-jelas, tak ada gunanya keberadaan mereka, kecuali kekacauan dan ketidaknyamanan di berbagai penjuru negeri ini. ketika negara tidak mampu melindungi rakyatnya dari kekerasan akibat perbedaan sikap dan pendapat, artinya negara sudah gagal menjalankan fungsinya. Mengutip seorang kawan: ketika kekacauan sudah merebak itu artinya pertanda demokrasi telah mati. Belajar dari kasus kemarin, (tidak adanya aparat keamanan yang memadai) ketika aksi itu berlangsung, makin memperkuat kegagalan pemerintah melindungi rakyatnya. Lantas apa yang bisa diharap dari pemerintah kalau begitu?

Yang membuat sesak dada adalah kekerasan ini selalu dan selalu dilabeli dengan nama agama. Agama dipakai sebagai legalisasi kekerasan untuk menindas kelompok lain yang tidak seirama. Padahal kelompok ini juga berasal dari agama tersebut. Lha jika dalam satu agama saja tidak bersahabat bagaimana akan bersahabat dengan kelompok agama lain?
Artinya kebebasan beragama yang digadang-gadang Pancasila butir 1 menyisakan bopengan noda. Noda yang dibuat sendiri oleh mereka yang katanya paling "beragama". Selamat memperingati hari lahir Pancasila yang ternoda.