Tuesday, September 27, 2011

Berpijak Membumi

Kita perlu melihat. Melihat untuk merasakan. Merasakan yang sebenarnya. Apa yang sesungguhnya terjadi. Menyelami apa yang sedang berlangsung. Melihat ke bawah, kita pasti akan merasakan, betapa kita harus mensyukuri hidup kita. Setidaknya kita cukup makan, cukup minum. Bandingkan dengan mereka yang harus hidup berdesakan di kolong tol atau di gubuk-gubuk semi permanen di pinggir rel kereta. Atau bandingkan kita dengan mereka yang hidup di petak 2 x 2, yang disesaki 12 orang? Dimana untuk tidur saja mereka harus bergantian karena tempatnya tidak muat? Bagaimana dengan mandi, cuci, buang hajat mereka? Melihat semuanya kita pasti bersyukur dengan semua yang kita miliki sekarang.

Tapi untuk lebih bersemangat dalam penghidupan, kita perlu juga untuk melihat ke atas. Menyerap semangat kesuksesan orang lain. Merasa tips & trik mereka bisa seperti sekarang ini. Juga belajar untuk seperti mereka, meski kita tak akan pernah bisa menjadi mereka. Tapi setidaknya kita bisa menyerap gelora semangat bagaimana perjuangan kesuksesan mereka. Tak dipungkiri, ada kalanya memang kita akan merasa serba tertinggal. Dari dulu sampai sekarang kok seperti ini saja?

Tapi bukankah untuk mencapai tingkat 100, kita harus menapak setingkat demi setingkat? Setahap demi setahap? Mereka bisa seperti sekarang tentu butuh proses. Memang kita terkadang tidak sabar untuk melalui proses. Kita maunya langsung dapat hasil. Terlihat dan nyata. Kita mungkin merasa stag, padahal mungkin saja memang prosesnya perlu waktu. Tak ada yang instan di dunia ini. Serangkaian proseslah yang menentukan, yang membentuk. Selama kita bersungguh-sungguh, apa yang kita harapkan tak lama lagi pasti tercapai. Semoga.

*) ditulis di Stasiun Senen.

Monday, August 8, 2011

Teror Sahur

Jakarta, 02.30

Dak dik. Dar Der Dor. Tang Tang. Ting Tung. Bkekk......
Bunyi-bunyian itu keras terdengar. Sepertinya dipukul persis di sebelah telinga. Sangat memekik. Entah apa yang merasuki orang-orang itu begitu kejam dengan tetabuhannya. Di luar sana gulita masih terbenam.

Bulan ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, umat Muslim dunia melakukan ibadah puasa. Saya lebih suka menyebut Muslim daripada Islam. Muslim dibenak saya, yang bukan pemeluknya, terdengar Indah, Teduh. Sementara Islam, karena beragam atribut, saya merasa Garang, Tukang Bikin Onar, Kerusuhan, juga Terorisme.

Dari kecil sampai hari ini, saya memiliki banyak kawan Muslim. Bukan Islam. Bahkan keluarga besar almarhum Ayah saya adalah pemeluk Muslim yang baik. Sampai detik ini. Juga Ketika saya kuliah dulu, hampir semua kawan saya adalah Muslim. Dan mereka memperlakukan saya sebagai seorang minoritas dengan baik.Intinya Muslim yang saya kenal benar-benar sangat baik dan menyejukkan.

Kembali ke puasa. Tahun ini adalah tahun kedua saya tinggal sendiri, di sebuah petak kecil. Seperti tahun lalu juga, puasa kali ini terasa lebih ramai di sekitar rumah. Gang sempit menuju rumah, hampir pasti selalu penuh kendaraan lalu lalang. Apalagi menjelang jam buka puasa. Hampir semua lapak makan & minuman diserbu warga. Baik yang puasa & tidak, sama-sama berburu. Terutama hidangan yang manis. Seperti bunyi iklan, "berbukalah dengan yang manis"....

Hampir tiap hari, saya tidur jam 12an ke atas. Jam bisa terlelap sejam kemudian. 1 hingga 2 jam kemudian, biasanya berbagai bebunyian di nyalakkan! Saya bilang menyalak karena suaranya memekakkan telinga. Apaun di tabuh, di pukul. Seolah semua harus bangun. Seolah semua tidak bisa bangun untuk sahur. Saya yakin seorang Muslim yang taat, sekalipun tidak dibangunkan dengan "keras" seperti itu, jika memang puasanya sudah diniati dengan tulus, pasti akan bangun dengan sendirinya. Kebetulan saya memiliki beberapa kawan yang melakukan puasa tidak hanya bulan puasa. Dan mereka bisa mengatur diri sedemikian rupa sehingga dia bisa bangun tepat pada waktunya, tanpa harus di "teror". Saya yakin, pemeluk Muslim yang baik sekalipun, jika dibangunkan seperti itu, pasti akan berkeluh. Bahkan bisa jadi akan mematik emosi. Ujung-ujungnya niat untuk melakukan ibadah puasa pun menjadi berkurang.

Dalam hati saya berpikir, apa memang tidak ada cara yang lebih sopan untuk membangunkan orang? Bukankah tujuan baik harus disertai tindakan yang baik, agar tujuannya tercapai dengan baik? Bukankah puasa adalah ibadah? Apakah yang namanya ibadah harus dijalankan dengan baik? Biar pahalanya juga baik?Apakah karena merasa mayoritas, jadi tak perlu kewajiban untuk menghormati yang minoritas?

Mungkin MUI perlu memberi fatwa untuk urusan "beginian". Jangan cuma kasih fatwa urusan "begituan".


Tabik,


Tuesday, May 3, 2011

Perjalanan nan Menenangkan.....

Minggu lalu, kami melakukan perjalanan ke sebuah desa di perbatasan Bogor dan Sukabumi. Dari awal, hanya sepotong gambaran yang tertangkap mengenai desa ini. "Pokoknya gak jauh dari SPN Lido Mas" beber Marina, reporter kami. Kami berangkat berlima, termasuk driver.

Sudah agak sore, kami berangkat dari Jakarta. Beberapa urusan masih harus diselesaikan. So far perjalanan lancar. Jalan tol arah Bogor tidak terlalu padat. Begitu keluar tol, kami sepakat untuk lewat Batu Tulis, lanjut ke arah Caringin, karena tiap weekend jalan Ciawi arah Sukabumi selalu macet parah. Di pengkolan jalan menanjak selepas Batu Tulis, kami sepakat isi perut. Pecel ayam kami pilih. Aku memilih tahu & tempe saja, karena lagi mau vege. Yang lain, ada yang pesen pecel ayam & pecel lele.

Selepas perut terisi, kami lanjutkan perjalanan. Jalan arah Caringin memang kecil dan berlika-liku. Beberapa motor menyalip kami dengan suara yang memekakkan telinga. "Namanya juga yang punya kampung" gerutu Robert, kawan kami. "Iya, mereka emang gak tahu aturan" sambung Kasirun, driver kami.

Tak terasa matahari ternyata sudah mulai hilang. Berganti nyala lampu disana-sini. Sudah hampir 3 jam kami masih belum juga sampai di Caringin. "Udah tanya orang aja" sergahku. Marina, segera membuka pintu mobil menghampiri ibu-ibu yang menggendong anaknya. Ibu-ibu ini masih muda. Mungkin seumuran dengan kami. "Wah mereka masih mudah gitu, tapi udah gendong anak"ujar Marina ketika mobil tak lama beranjak. "Katanya sih lurus aja, nanti kita tanya orang lagi deh" lanjut Marina. Lama kami berjalan. Tapi ujung jalan raya Ciawi - Sukabumi tak jua tampak. Sekali lagi mobil ditepikan untuk bertanya lagi. "Masih terus aja Neng, kalau ke Caringin malah harus balik tuh, udah kejauhan" ujar bapak yang kita tanya. "Wah kita mau lanjut, apa puter balik nih?" kata Kasirun gusar. "Udah lanjut aja, kalau balik bakal lama lagi" kataku kesal. Mobil dilajukan lagi. Hari benar-benar sudah gelap, ketika kami akhirnya menjumpai jalan raya Ciawi - Sukabumi.

Kami mampir indomaret untuk membeli beberapa perlengkapan. Sambil menunggu Robert dan Marina belanja, kita akhirnya bertanya sekali lagi kepada tukang ojek. "Bang apa tahu arah ke Pasir Buncir? ujarku. "Iya, itu dari SPN Lido, masuk aja" ujar tukang ojek. "Bang, mau gak anterin kita" timpal Marina. "Berapa kira-kira?". Tukang ojek ini bilang "teserah deh mau kasih berapa". "Ya udah 20 ribu ya" tawar Marina. Tukang ojek akhirnya kami buntuti. Benar saja, begitu sampai SPN Lido, kami lanjutkan ke jalan kecil. SPN Lido adalah Sekolah Polisi Negara. Sekolah buat polisi. Bangunannya terlihat luas, meski gelap. Jalan kecil kami terus telusuri mengikuti ojek didepan kami. "Duh ini kok belum sampai juga" batinku gusar. "Mar, ini beneran tempatnya?" tanyaku. "Aku juga gak tahu Mas, mbak Sita & Putri juga gak bisa dihubungi" jawab Marina. "Wah bisa kacau nih". Tak terhitung jalan berkelok sudah kami lalui, tapi tempat tujuan belum jua terlihat. Hingga akhirnya tukan ojek berhenti di sebelah mesjid desa. "Wah sudah sampai kita" ujarku girang. "Tapi dimana panitia?" tanyaku. "Kok sepi sekali". "Mau ke Ciwaluh ya Neng?" tanya seorang ibu penjaga warung. "Arahnya masih ke atas, tadi siang anak-anak banyak yang ke arah sana" sambungnya. "Hah, berarti kita masih harus jalan kaki ke atas?". "Bagaimana dengan barang-barang kita yang begitu banyak?". Kino flo, kamera, tas, souvenir, dll. Wah, tak terbayang sulitnya perjalanan kali ini. "Ya udah naik ojek aja Neng" saran tukang ojek yang sedari tadi menemani perjalanan kami. "Oh ya, cerdas juga idenya". Tapi kita butuh setidaknya 4 ojek. Itu artinya masih kurang 3 motor lagi. "Nanti saya panggil teman-teman saya" ujar tukang ojek menenangkan. Barang-barang segera kami turunkan dari mobil. Satu per satu, membawa barang ke motor. Aku sendiri kebagian membawa kino flo dan juga tiang besinya yang lumayan berat. Jalan berkelok dan sempit tersaji. Kino dan tiangnya, harus diangkat. Sekitar 20 menit kami terombang-ambing di atas kuda besi. Ditambah jalan tak mulus, membuat tempe dan tahu yang aku makan serasa ingin keluar. Sepanjang jalan gemericik air sungai terdengar. Sejuk sekali rasanya. Udara segar segera aku hirup dalam-dalam. Dan benar saja, ternyata desa yang kami tuju adalah desa terakhir. Namanya Ciwaluh. Mungkin dulu banyak Waluhnya.

Pagi-pagi, segera aku picingkan mata melihat sekitar. Hamparan sawah hijau terbentang tak jauh dari rumah yang kami tinggali. Di ujungnya terlihat sungai besar melintas. Katanya, ini adalah hulu sungai Cisadane. Airnya bening mengalir mengundang hati ini untuk segera berbasuh. Sebagian warganya bertani. Ada juga yang menjadi buruh di pabrik. "Kalau disini warganya banyak yang miskin, tapi bahagia" ujar salah seorang ibu berkerudung. Seketika aku melihat ke dalam diri. "Orang kota memang mungkin memiliki banyak uang, tapi apakah mereka semua bahagia" tanyaku dalam hati.

2,5 hari kami habiskan untuk bekerja sambil liburan. Kami juga sempat melihat curug Ciwangkeni, tak jauh dari desa ini. Hamparan sawah menguning juga terlihat disana-sini. Suasana desa yang sejuk mengingatkan diriku ketika kecil. Ketika di desa. 2,5 hari ini pula, kami larut belajar tentang pentingnya biomonitoring dan juga herpetofauna, yang dilakukan malam hari.

Frekuensi otak rasanya benar-benar tenang sekali. Melihat hamparan sawah menguning, melihat ayam berkokok, melihat kodok melompat. Tak harus bergegas, tak harus berburu waktu, tak harus dikejar deadline! Benar-benar tenang dan damai. Duh, rasanya tak mau kembali ke kota. Rasanya tak mau melepaskan segala ketenangan ini. Otak ini terasa tenang. Membentuk garis lurus seperti tanda kematian kardiografi. Berbeda sekali ketika sudah di kota. Otak ini pasti kembali lagi menjadi kardiografi yang menyerupai seismograf yang kejang-kejang mencatat gunung meletus. Lain hari, otak ini memang harus diistirahatkan ke desa lagi!

Thursday, April 28, 2011

Manusia Gila

Berikut sebuah catatan tentang mereka yang cinta dengan negerinya. Mereka yang jarang berkeluh. Mereka yang lebih memilih untuk melakukan sesuatu untuk berbagi. Mereka yang banyak disebut orang banyak sebagai orang-orang "gila":

1. Dosriana Bakkara












Hilir mudik kereta lewat persis didepan mata meraung-raung minta jalan. Rumah-rumah semi permanen juga berderet, berserak di tepi. Di ujung sana, seorang ibu menelan dalam-dalam asap rokok yang baru dipatiknya. Matahari terasa membakar. Wajahnya pucat pasi kecoklatan. Beberapa pemuda tanggung, bekerja membangun toilet. Di seberangnya seorang ibu, membalut tubuhnya dengan handuk. Rambutnya masih basah. Sebagian besar warga yang tinggal bekerja di sektor informal. Kaki lima hingga pengemis di jalan.

Di sudut lain, suara anak-anak bersautan. Riuh, mengikuti setiap kata yang keluar dari mulut Dosriana Bakkara. Sejak 2007, Mis Dos, begitu Dosriana biasa dipanggil, mendedikasikan penuh waktu dan tenaganya mendidik anak-anak di bantaran rel kereta api, Jl. Salak, Medan. Dua ruangan semi permanen ia sewa dengan kocek pribadi. Semua dilakukan atas nama panggilan. "Kalau ada niat, pasti ada jalan kok Mas" sambungnya ketika ditanya pendanaan. Lulusan FISIP USU ini, melihat bahwa anak-anak tidak akan bisa memutus kemiskinan orang tuanya jika terus menerus turun ke jalan dan tidak mengenyam pendidikan. "Anak-anak ini, sangat rentan Mas" ujarnya. "Ya karena mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk belajar, padahal secara akademik mereka juga tidak bodoh". "Mereka pintar, tapi kurang pembinaan". "Bayangkan kalau mereka tidak berpendidikan, pasti ujung-ujungnya akan turun ke jalan".

Dosri masih ingat betul, bagaimana pandangan orang pertama kali. Kecurigaan terpancar dari warga sekitar. "Mereka sebenarnya juga orang-orang yang rentan" katanya. "Rentan, karena memang tidak banyak yang memihak mereka, terlebih pemerintah". Berkat kegigihannya, perlahan warga sekitar mendukung usaha ini. Bahkan mereka merasa, anak-anaknya makin rajin ke sekolah karena Dosri. "Ini adalah sekolah alternatif".

Tak sekedar memberi pelajaran akademik, Dosri yang dibantu beberapa relawan dari mahasiswa juga membantu anak-anak rentan ini untuk belajar tata krama, sopan santun, kebersihan, dan juga karakter. "Memberi bahan ajar ini jauh lebih sulit daripada belajar akademik" ujarnya. Lanjutnya, mereka kan sudah terbiasa hidup tanpa aturan, di jalanan. Untuk mencegah anak-anak ini turun ke jalan menjadi pengemis, Dosri memperpanjang jam belajar di sekolah. "Ini semata-mata untuk melindungi mereka". "Jika mereka lama di sekolah kan berarti kesempatan mereka turun ke jalan berkurang, harapannya mereka nanti tidak lagi turun ke jalan" harapnya.

Bukan hanya warga sekitar yang awalnya menaruh curiga terhadap upaya Dosri ini. Cibiran dan keheranan juga tampak dirasakan Dosri dari orang-orang terdekat. Maklum saja, sudah menjadi sebuah kelaziman, begitu lulus kuliah untuk mencari kerja. Menersukan kehidupan. Tapi Dosri memilih jalan lain. Jalan yang tidak biasa. Jalan yang sebagian besar orang disebut "gila".

Jadi orang itu harus berguna. Itu yang menjadi pegangan Dosri. "Dan warisan ilmu, melebihi warisan apapun", "Warisan paling kekal adalah warisan ilmu" tandasnya.

2. Munawar
Sabtu pagi yang cerah. Ibu-ibu terlihat riang tertawa mengikuti setiap gerakan instruktur. Sesekali mereka mengelap keringat. Sesekali juga terbahak bila melirik kawannya yang salah mengikuti instruktur. Semua gaduh, tapi santai. Mereka terlihat sangat menikmati. Itulah sepotong kegiatan dalam posyandu lansia yang digagas Munawar dkk di yayasan amil zakat, Ulil Albab, jl. Gagak Hitam, Medan. Yayasan in merupakan bukti kebulatan tekad dari Munawar dkk. Beberapa program diusung, mulai dari pendidikan, kesehatan, dan layanan kemanusiaan.

Dari sekian program itu, Posyandu Lansia menjadi salah satu program unggulannya. Sebulan sekali di minggu ke-3, ia menggelar posyandu bagi lansia di Jl. Gagak Hitam, Medan. Halaman ruko yang digunakan sekaligus kantor lembaga ini menjadi pusat pelayanan. Posyandu selama ini identik dengan anak-anak, tapi Munawar melihat bahwa lansia juga memerlukan layanan terpadu layaknya anak-anak. "Puskesmas disini sudah ada, tapi kita melengkapi saja pelayanan yang memang belum ada selama ini" ungkapnya. "Prinsipnya, kita menangkap kebutuhan masyarakat". "Dan inilah yang dibutuhkan mereka". Semua layanan disini gratis. Tidak bayar sama sekali.

Dalam posyandu lansia, layaknya posyandu bagi anak-anak, juga dilakukan penyuluhan kesehatan, timbang badan, dan juga pemberian gizi tambahan.

Munawar dkk boleh jadi bermimpi bahwa posyandu lansia ini tidak ada lagi di masa yang akan datang. Itu artinya, pelayanan terpadu masyarakat kita sudah berjalan dengan baik. Tapi rasanya mimpi ini masih belum terwujud dalam waktu dekat!

Munawar dkk adalah manusia "gila" yang mau mengurusi hal-hal yang dianggap orang adalah remeh temeh. Tapi Munawar bergeming bahwa justru mengurusi hal remeh temeh ini ibarat menebar rahmat, menuai berkah.

3. Marandus Sirait


Pagi masih tersisa ketika kami menginjakkan kaki di sebuah kampung di desa Rang, Kec. Lumban Julu, Kab. Toba Samosir. 30 menit berkendara dari pinggir danau Toba. Pohon dan dedaunan, masih basah embun. Udara sejuk langsung kami hirup dalam-dalam. Tak berselang, sosoknya menghampiri kami. Ramah. Kulit wajahnya kecoklatan terbakar. Kumis dan jenggotnya menggelantung. Beberapa warna putih terhias. Bukti si empunya sudah berumur. Tapi melihat fisiknya, masih terlihat sangat liat. Dialah Marandus Sirait. Pengelola Taman Eden 100, sebuah lahan konservasi yang pernah menerima penghargaan Kalpataru untuk kategori perintis lingkungan tahun 2005 silam.

Dari guru musik beralih menjadi penggiat lingkungan. Itulah jalan yang diambil Marandus. Jika kebanyakan orang akan menggunakan tanah keluarga demi pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, hal ini tidak berlaku bagi Marandus. Tanah keluarga seluas 40ha, ia sulap menjadi lahan konservasi. Marandus menamakan Taman Eden ini sebagai tempat agrowisata rohani. "Siapa saja bebas masuk kesini untuk berkomtemplasi diri" ujarnya. Taman Eden diambil dari Nats Alkitab : Kejadian 2 ; 15 "Usahai dan Lestarikanlah Bumi".

Yang menarik dari taman ini adalah setiap batang pohon yang ditanam, ia sertakan nama penanamnya. Usaha inilah yang membuat taman eden hidup dan berkembang. Selain itu juga Marandus melakukan upaya pembibitan beberapa jenis tanaman, seperti durian, dll. "Biar orang lain juga bisa menanam dimana pun mereka mau" ujarnya.

Selain itu, dibantu seorang dokter, Marandus juga membudidayakan anggrek Toba yang sudah mulai langka. "Konservasi anggrek ini juga buat bahan penelitian" katanya.

"Kita sudah lelah berwacana tentang kerusakan alam dan lingkungan". "Sudah saatnya bertindak". Apalagi danau Toba juga sudah mengalami kerusakan yang parah. Makanya dibutuhkan usaha bersama untuk menyelamatkannya. Di sekitar sini saja, saya rasa, perlu 10 ribu orang yang melakukan seperti saya ini" sambungnya.

Marandus Sirait dan Taman Eden, memberi sepenggal kisah yang merefleksikan manusia dan bumi yang ikhlas dalam upaya pemulihan, pelestarian, dan perlindungan integritas ekosistem.

Negeri ini memang masih terus membutuhkan "orang-orang gila". Gila yang tak hanya pandai berdebat, gila yang tak hanya pandai mengeruti, tapi gila karena mau melakukan sesuatu yang berguna bagi orang banyak.

Wednesday, March 30, 2011

Parkir oh Parkir

April Mop. Mungkin itu gambaran yang tepat buat kita yang sehari-hari berkantor dan punya kendaraan yang parkir di ITC Mangga Dua. Mulai 1 April biaya parkir naik hampir 100 %. Jika motor sebelumnya 35,000 sebulan, sekarang naik 60,000/bulan. Mobil dari 90,000 menjadi 120,000/bulan. Alasannya semua komponen mengalami kenaikan. Seingatku, memang sejak 2005 tarif parkir belum pernah naik. Tapi apa juga benar menaikkan tarif hampir 100%? Apa juga sudah sebanding antara pelayanan dan harga yang harus ditanggung konsumen?

Saya masih ingat benar, betapa kejamnya parkir disini. Jangan harap motor kita akan mulus sekeluar dari mall yang selalu ramai ini. Baret sana-sini adalah sebuah pemandangan sehari-hari. Lecet sudah biasa. Sebab selain memang jumlah motor yang terus meningkat, parkiran di ITC Mangga Dua, memang kurang daya dukung. Geser kanan-kiri, jika mau keluar sudah menjadi rahasia umum. Terlebih sikap petugas parkir yang sepertinya melengos ketika kita minta bantuan.

Belum lama ini, seorang kawan motornya raib di parkiran. Ketika cek ke loket keluar, tercatat motor ini belum keluar. Pertanyaannya: mengapa motornya raib? Sampai hari, kasus ini belum ada penyelesaian yang berarti.

Belum lama juga, seorang kawan kaca mobilnya dipecah ketika parkir. Padahal petugas sering mondar-mandir. "Harga parkir naik, kok malah begini" gerutu kawan.

Konsumen adalah raja, rasanya belum berlaku disini. Saya bukan tidak mau harga parkir naik. Sepanjang itu dibarengi dengan pelayanan & fasilitas yang memadai, rasanya harga naik sebuah kewajaran. Tapi jika sebaliknya, mungkin memang sudah demikianlah laku hukum pelayanan di negeri kita.

Boleh naik, asal parkir kita manusiawi. Asal parkirnya dibeneri. Asal petugasnya juga melayani dengan hati!

Parkir oh parkir.

Friday, March 25, 2011

Siapa mereka?

Senin. Langit sudah gelap. Matahari juga sudah sejak tadi terbenam. Wajahnya memelas. Tangan kanan menjulurkan bekas minuman fastfood ke arah pengendara yang berhenti di lampu merah. Bajunya pun lusuh, pertanda belum tersentuh air mandi. Kakinya terpasung di atas trotoar pemisah jalan. Malas bangkit. Entah sakit, entah menahan lapar.

Selasa. Cepat sekali kakinya menuruni tangga eksalator. Tergopoh ia menggendong anak perempuannya yang terlihat beringus. Tergopoh pula ia karena menggendong bekas kardus di pundak lainnya. Beberapa detik langkahnya sudah tertelan waktu. Mungkin takut tertangkap petugas keamanaan yang rutin mengusir sambil bawa pentungan. Sorenya aku melihat dia lagi. Di dalam pagar pemisah jalan,di bawah jembatan penyebarangan mall, ia sibuk melipat kardus dan plastik yang dikumpulkan sedari siang. Deru lalu lalang kendaraan tak dihiraukan. Baginya makin cepat kardus dan plastik itu rapi, makin cepat pula ia bisa memberi makan anaknya.

Rabu. Jakarta masih sangat gelap. Tadi diujung sana, sebuah gerobak mulai bergerak. Mengais sisa sampah kota. Di dalam gerobak, tergolek istri dan anaknya pulas. Meski bercampur bekas sampah, mereka tak terganggu. Mungkin sudah biasa. Tak menjanjikannya lagi lahan pertanian di desa membuatnya angkat kaki ke kota. Ibukota adalah hamparan harapan baginya. Meski tak memiliki keahlian, tapi ibukota tetaplah tumpuan mencari makan. Gerobak ini pula menjadi rumahnya ketika malam tiba. Dengan atap rel kereta yang menjulur dari Kota hingga Manggarai, keluarga ini biasa tinggal. Bau anyir sampah sudah menjadi keseharian keluarga ini. Bau sampah adalah bau rupiah. Mungkin itu pemikirannya.

Kamis. Lalu lintas pagi itu macet. Orang berebut segera naik bis kota menuju tempat kerja. Penuh sesak bis kota biru itu melaju. Tak berselang naik 3 orang berpakaian sederhana.Meski sesak, mereka mendesak minta tempat. Tak berselang lama, mereka bersuara. "Pak, Bu, saya bukan mau nodong, saya cuma minta keikhlasan ibu, bapak sekalian. Seribu, duaribu, tidak akan membuat bapak, ibu menjadi miskin. Asal tahu aja, saya baru aja keluar dari Cipinang". Sontak, bis sesak itu makin sumpek karena keberadan mereka.

Jumat.Perempatan jalan. Sore itu ramai sekali. Maklum, orang mulai bergegas pulang. "Tahan, tahan. Ayo Pak, belok kiri pak, ya terus aja terus terus" ujar salah satu dari mereka. Sementara yang lain menahan mobil lain. Sambil mengacungkan ember bekas, mereka minta tinggalan recehan. Mereka biasanya berkelompok. Hasil yang didapat di ember, dibagi setelah operasi selesai. Kerja mereka terkadang membantu, tapi juga terkadang menyebabkan kemacetan makin panjang. Karena yang mereka kejar sebenarnya bukan membantu kemacetan, tapi sejumlah rupiah saja. Pak Ogah, itulah sebutannya.

Sabtu. Sore itu hujan menderu. Padahal pagi-siang, panas menyengat. Cuaca memang tak pernah bisa diprediksi, bahkan oleh BKMG sekalipun. Prakiraan mereka sering kali tak tepat. Ya namanya juga prakiraan. Kadang tepat, kadang pula sebaliknya. Anak-anak berlarian basah kuyup. Padahal tangan mereka menggenggam payung. Oh, ternyata payung itu tidak mereka pakai. Tapi mereka tawarkan untuk siapa saja yang membutuhkan. Tentu, ganjarannya, beberapa lembar ribuan berpindah ke kantong mereka. Menggigil kedinginan tak mereka hiraukan. Yang penting, sang pelanggan terlayani. Makin banyak yang memakai payungnya, makin banyak pula rupiah masuk.

Minggu. Hari ini aku belum melihat mereka-mereka lagi. Entah kemana mereka perginya. Atau aku saja yang tak cermat mengamati lagi. Aku justru melihat Pak BY di TV minta kenaikan gaji. Katanya sudah 7 tahun ini, dia gak naik gajinya. Padahal gaji Presiden itu 65 juta sebulan. Belum lagi dana taktis yang angkanya bikin bulukuduk berdiri. 2 M. Itu tentu bukan sedikit. Itu tentu jauh dari cukup. Itu tentu bisa mensejahterakan mereka-mereka yang ada di hari Senin-Sabtu. Agak lama aku termenung. Aku merasa makin gak kenal siapa sebenarnya mereka. Kepada siapa sebenarnya mereka bekerja?

Benar-benar makin tak kenal siapa mereka!

Suparman yang Super

Peluh terlihat didahinya. Jalannya cepat dan tangkas. Tak terlihat lelah. Tak berselang lama, ia sudah didalam kelas, mengajar. Suaranya lantang, meminta murid di ujung bangku membaca buku sesuai perintahnya. Tak jarang ia sedikit membentak. Tidak kasar, tapi tegas. Dialah Suparman. Biasa dipanggil Pak Parman. Guru seni sekolah Seraphine Bakti Utama, Cengkareng, Jakarta Barat.

Tubuhnya mengalami kelainan pertumbuhan sejak kecil. "Semua keluarga saya normal mas" ujarnya mulai bercerita. "Gak tahu kenapa, tapi ya sudahlah saya terima aja". "Memang awalnya sulit menerima, tapi ya lama-lama terbiasa juga". "Keluarga saya itu keluarga besar, 8 bersaudara". "Semuanya normal" tegasnya. Suparman kecil dihabiskan di Kutoarjo, pinggiran Jogja. Sekolah ia jalani selayaknya anak normal lainnya. Meski ejekan juga tak terhindarkan. "Dulu, kalau ada yang mengejek saya marah". "Tapi kalau sekarang, ya sudahlah, buat apa juga". Seni, menjadi daya tariknya. Dari situ pula, ia akhirnya mulai ikut bermain dalam berbagai pertunjukkan seni, terutama ketoprak, seni tradisional Jawa. "Dari setiap tampil, saya selalu jadi punokawan" imbuhnya. Hingga SMA, hal ini terus dilakukan sambil sesekali mengajar di SMA Seraphine di Jogja. Ketika kuliah ia bimbang. Ayah angkatnya ingin ia mandiri dengan menempuh pendidikan ekonomi. Tapi hati kecilnya ingin ke seni. Hingga semester 3 ia berhasil mengelabui keluarga, terutama ayah angkatnya. Ia mengaku kuliah ekonomi, padahal sehari-hari ia justru kuliah di Akademi Seni dan Drama. Ayah angkatnya marah besar ketika tahu. Sejak saat itu, sang ayah angkat tak mau lagi peduli dengan keseharian Suparman. Meski berusaha mandiri, Suparman, akhirnya tak kuat juga menanggung sendiri biaya hidupnya. Kehidupan pertunjukkan melalui ketroprak kembali dilakoni.

Lepas dari ketoprak, ia sempat mengadu keberuntungan di sebuah kafe di Cikarang. Dari menjadi komedian, hingga menjadi asisten manajer. Tapi hatinya selalu berontak. Suparman pun kembali lagi ke desanya. Sempat menganggur, Suparman akhirnya menemukan jalan. Jodoh bersambut ketika ia diminta untuk membantu SMA Seraphine Jogja membuat operet dalam menyambut Natal. Kepala sekolah puas dengan pertunjukkan itu. Suparman pun ditawari untuk menjadi guru seni di Sekolah Seraphine Bakti Utama, Cengkareng, Jakarta.

Meski bertubuh mungil, tak tampak dari murid-muridnya yang memandang ke bawah. Semua memandang ke atas. Mengikuti semua perintahnya. Pertanda hormat. "Kalau sudah mengajar seni, drama, atau teater, saya kadang merasa seperti orang normal mas", "Gak ada lagi tuh perasaan kalau tubuh saya ini kecil begini" ujarnya terbahak.

Melalui seni, Suparman ingin mendidik karakter anaknya dengan baik. Tanpa lelah ia selalu menyemangati anak didiknya. Salah satunya Selly, mantan anak muridnya yang hingga saat ini masih aktif mendampingi. Meski sudah lulus, Selly terus membantu Pak Suparman mengajar seni di sekolah. Selly sendiri merasa telat mengenal Pak Parman. "Saya sudah mau lulus, Pak Parman baru masuk" sesalnya sambil berkaca. Baginya, Pak Parman bukan sekedar guru, tapi juga teman yang baik untuk berbagi.

Meski bertubuh mungil, Seuparman memiliki semangat yang super luar biasa. Kegemarannya dalam berkesenian mengantarkan murid didiknya meraih banyak prestasi. Teater, drama, dan musik menjadi ladangnya dalam menempa diri dalam berbagi. Pak Suparman yang super memberi bukti kepada kita semua bahwa segala keterbatasan tak menghalangi tercapainya beragam harapan dan impian. Selama ada niat dan tekad yang kuat, niscaya semuanya akan terwujud.

Pak Suparman benar-benar manusia Super.

Treatment Bertani & Belajar Kehidupan

April ini, kita mengangkat tema Hari Bumi. Diskusi panjang lebar kita lakukan untuk menentukan apa-apa saja yang akan kita angkat. Kebetulan April 211 ini, hari Kamis ada 4, itu artinya ada 4 episode tentang Hari Bumi yang harus kita persiapkan. Diskusi akhirnya menetapkan beberapa kesepakatan. Salah satunya pertanian organik. Metode pertanian organik alias PO sangat bersahabat dengan alam. PO sama sekali tidak memakai bahan kimiawi yang biasanya berpotensi merusak lingkungan. Dari alam oleh alam, itulah prinsip PO. Dan ini tentu cocok dengan Hari Bumi. Setelah riset kecil, akhirnya kami menemukan sebuah komunitas yang melakukan PO ini. Namanya Karang Widya. Lokasinya agak jauh dari Jakarta. Tepatnya di Cisarua. Karang Widya termasuk unik. Kenapa? Karena anak-anak yang dilibatkan di PO ini adalah mereka yang "bermasalah". Dari Sabang - Merauke, ada semua. Dari mantan anggota GAM, anak jalanan, pecandu alkohol, korban konflik Timor Timur. Bukankah mereka ini adalah anak-anak "bermasalah"?. Disini mereka tidak hanya diajarkan cara bertani organik, tapi juga bagaimana menempa diri untuk menjadi manusia yang lebih bernilai. "Karang Widya itu ya tempat untuk memberikan kesempatan kedua bagi anak-anak ini" ujar Johan Purnama, Direktur Karang Widya.

Ini dia treatmentnya:

Treatment: “Bertani dan Belajar Kehidupan”
Narasumber: Johan Purnama (Direktur Karang Widya)

Opening
Salam jumpa. Pemirsa, alam telah memberi manfaat begitu banyak bagi manusia. Namun banyak manusia yang alpa untuk membalasnya. Salah satu cara berterima kasih kepada alam adalah melalui metode pertanian organik. Bagaimana cerita selengkapnya? Sebelum berbincang dengan narasumber saya hari ini, mari kita simak tayangan berikut ini:

VT1

Pemirsa, saat ini saya sudah bersama DirekturYayasan Karang Widya, Bapak Johan Purnama yang melakukan pendampingan terhadap budidaya pertanian organik. Terima kasih atas waktunya ya Pak.

Pertanyaan:
1. Pak Johan, pertanian organik meletakkan prinsip ekologi sebagai dasarnya yakni sebagai sistem ekologi kehidupan? Bisa dijelaskan lebih lanjut?
2. Apa urgensinya pertanian organik ini ditengah beragam masalah lingkungan Pak?
3. Apa benar bahwa pertanian organik ini adalah satu-satunya cara bertani yang ramah terhadap alam? (cerita tentang biaya produksi yang rendah dan juga tidak merusak lingkungan)
4. Apakah ini menjadi keuntungan terbesar dari sistem pertanian organik kaitannya dengan kondisi bumi sekarang ini?
5. Pak Johan, di Karang Widya kemudian juga memilih untuk melakukan budidaya pertanian organik ya? Apakah ada alasan tersendiri dengan pilihan pertanian organik ini? (cerita tentang respecting the future of humanity depends on us respecting nature. Organic farming is about respecting and working with nature, not against it).


Bumper 5”

6. Saya dengar sasaran program ini adalah anak jalanan dan pengangguran. Apakah benar demikian?
7. Bagaimana proses anak-anak ini bisa ke Karang Widya? Apakah mencari sendiri ke pelosok-pelosok?
8. Apakah ada persyaratan khusus dalam program di Karang Widya?
9. Pak Johan, saat ini berapa banyak yang bergabung Pak? Dan darimana saja mereka berasal?
10. Apa yang ingin dituju sebenarnya dalam program ini?


Jeda
Baik Pak Johan, menarik perbincangan kita ya. Tapi kita juga ingin tahu aktivitas sesungguhnya dalam komunitas Karang Widya. Bagaimana selengkapnya, mari kita simak liputan berikut ini:

VT2
Aktivitas di Karang Widya, bertani di ladang, belajar, dll

11. Pak Johan, pendidikan yang diterapkan disini ternyata tidak hanya bertani, namun juga lebih kepada terapi jiwa ya? Apa maksudnya? (Di sini mereka diajar disiplin, bekerja, dan dilatih untuk memiliki kesadaran alam. Kehidupan di jalanan bisa membuat mereka tidak sensitif lagi dengan alam. Mereka di sini dituntut mengembangkan kepekaan. Air dan tanah bisa menjadi terapi jiwa, bisa menyejukkan pikiran yang panas).
12. Apakah karena itu pertanian organik sengaja dipilih sebagai media untuk pendidikan karena pertanian organik membutuhkan ketekunan dan kecintaan terhadap tanah dan tanaman?
13. Pak Johan, yang bergabung disini kan lumayan banyak ya? Dan saya dengar dalam mengolah lahan pertanian organik mereka dibagi beberapa kelompok? Bisa cerita tentang hal ini lebih lanjut Pak?
14. Dan mengapa harus dikerjakan secara berkelompok seperti ini?

Bumper 5”

15. Pak Johan, pertanian organik ini kan bertumpu bahan dari alam. Termasuk dalam mengusir hama, dll. Apakah disini juga melakukan hal itu?
16. Bagaimana proses secara keseluruhan sistem pertanian organik disini? (cerita tentang pemanfaatan pupuk kandang, air seni kambing, air cuci beras, dll yang semuanya dilakukan sendiri oleh anak-anak di Karang Widya).
17. Bagaimana pula dengan pembuatan perencanaan tanam hingga pemasaran? Apakah mereka juga diajarkan Pak?
18. Selain berbagai hal tentang pertanian organik, apalagi yang diajarkan di komunitas ini?
19. Apakah setelah selesai pendidikan disini mereka harus juga menjadi petani organik?

Jeda
Baik Pak Johan, kita jeda lagi ya. Pemirsa, bagaimana tanggapan anak-anak yang terlibat dalam program pertanian organik di Karang Widya ini? Mari simak tayangan berikut:

VT3
Vox pop anak-anak Karang Widya

20. Pak Johan, banyak anak-anak yang mendapatkan begitu banyak manfaat dari pendidikan disini ya. Bagaimana pendapat Pak Johan sendiri?
21. Pak, tentu sudah banyak alumni dari pendidikan di Karang Widya ini dan sudah banyak pula yang meraih kesuksesan dalam kehidupannya. Tapi apa sesungguhnya yang menjadi tolor ukur keberhasilan pendidikan di Karang Widya secara keseluruhan Pak?
22. Pak Johan, apalagi yang akan dikembangkan untuk masa yang akan datang di Karang Widya ini?
23. Terkait dengan hari bumi, apa harapan Pak Johan hubungannya pertanian organik ini dengan kondisi bumi kita? (Pertanian organik membangun tanggung jawab pelakunya pada kelestarian lingkungan. Keberhasilan sistem pertanian organik akan memberikan sumbangan berarti bagi kelestarian lingkungan dan keselamatan dunia pada umumnya).

Closing
Pemirsa, tidak hanya mengajarkan kepada anak-anak mengolah tanah dan tanaman, tetapi komunitas ini juga membantu mengolah tubuh dan jiwa mereka untuk menyongsong kehidupan di masa depan yang lebih baik. Sampai jumpa.

Friday, February 25, 2011

Srikandi dari Lasem


Rambutnya mulai memutih. Tanda ketuaannya juga dipertegas guratan wajah. Tapi semuanya tak menghalangi langkah sandal jepit usangnya memeriksa pekerjaan ibu-ibu yang memiliki usia diatasnya. Sesekali dia berhenti. Membetulkan jika ada yang keliru, tanpa harus menggurui. “Sing niki warnane dibeneri njeh Bu” katanya kepada Ibu tua di sebelah sana. Itulah Ramini. Bu Ram, biasa dia disapa. Tidak lulus SD. Namun setiap hari memimpin sebuah kelompok usaha bersama pembatik yang diberi nama KUB Srikandi Jeruk.


Bengkel batik yang dibuatnya pun terbilang sederhana. Tepat di depan rumahnya, dia sulap sebidang lahan kosong menjadi tempatnya berkarya. Dibantu Maryati, yang jago membuat motif, KUB ini menghidupi 12 orang pengrajin.


Desa Jeruk, tak jauh dari Rembang, sebuah kota kecil di Pantura. Tanahnya kurang subur. Sawah pun hanya tadah hujan. Mayoritas penduduknya, terutama perempuan, memiliki keahlian membatik. Apalagi dulu ketika Batik Lasem sedang berjaya. Menjadi sopir adalah pekerjaan yang paling diidamkan bagi kaum laki-laki desa Jeruk.


Hampir semua kaum perempuannya dulu adalah pembatik. Mereka biasanya bekerja di kota Lasem. Biasa harus ditempuh 30 menit dengan sepeda setiap hari. Pengusaha batik Lasem kebanyakan orang keturunan Tionghoa. Namun, seiring hancurnya ekonomi nasional karena krisis ekonomi, hancur pula penghidupan perempuan desa Jeruk. Menganggur adalah pilihan yang paling sulit. Namun tak ada jalan lain. Termasuk Ramini.

Selama 4 tahun lebih ia berjuang mengatasi pengangguran yang dialaminya. Mau menghidupkan batik kembali terbentuk permodalan. Sementara hanya membatiklah satu-satunya keahlian yang dimiliki. Hingga datang tawaran dari Institut Pluralism Indonesia (IPI). “Tak mudah meyakinkan Ibu Ramini” beber William Kwan, direktur IPI. “Butuh waktu 4 bulan, saya meyakinkan”. “Padahal menemukan Ibu Ramini juga bukan perkara mudah, eh begitu sudah ketemu, belum mau juga” lanjutnya.

Setelah berpikir panjang, Ramini akhirnya menerima tawaran Pak Willy, begitu ia biasa menyebut William Kwan. Ia kumpulkan kembali teman-temannya. “Ini semua dari nol Mas” cerita Ramini. Meski sudah memiliki dasar membatik, namun IPI mengirim mereka ke sentra pembatikan seperti Pekalongan, Solo dan Jogja. Mereka tidak hanya diminta untuk belajar membatik, tetapi juga manajemen.


Bentuk kelompok usaha bersama mereka pilih atas keinginan mereka sendiri. Mereka sadar betapa sulitnya jika bergantung dengan pengusaha. Pengalaman krisis moneter yang mengakibatkan mereka menganggur menjadi pelajaran berharga. Karena berbentuk KUB, segala keputusan dirundingkan bersama. Mulai dari membeli bahan, motif, hingga harga jual. Mereka sendirilah yang memutuskan, mau dihargai berapa buah karya mereka. Mereka sendiri pula yang mencari target pemasaran. Prinsipnya semua dilakukan atas nama kebersamaan. Mereka pula yang menentukan upah mereka setiap hari, yakni 18,000. Lebih murah sedikit yang dulu mereka terima ketika masih menjadi buruh, yakni 20,000. Meski lebih sedikit lebih murah, namun melalui KUB mereka tidak lagi harus jauh menggenjot sepeda setiap hari. Sebab lokasi bengkel batik dengan rumah mereka terbilang dekat. Belum lagi, ketergantungan pengusaha tak lagi mereka rasakan. Sebab merekalah pengusaha atas diri mereka sendiri.


Keberhasilan Ramini dkk di KUB Srikandi Jeruk ini menepis anggapan bahwa buruh batik selamanya akan menjadi buruh. Padahal selama diberi kesempatan, mereka bisa menjadi lebih sejahtera. Mereka pula bisa menjadi srikandi bagi diri mereka sendiri.