Wednesday, March 19, 2008

Antara Si Belang, Poni, & Bandit

Hari ini aku cuma mau nulis aja. Gak ada yang special sih kali ini. Cuma mau sharing sedikit saja tentang si Belang. Sebut saja namanya begitu karena dia memang tidak memiliki nama.
Mata bulatnya tajam ke sana kemari. Ekor putihnya berkibas. Telinga panjangnya menjulang ke udara. Dengan jalan pelan ia menghampiri kami.
Langkahnya mantap walau tak terlalu cepat karena badan yang gemuk. Tak tampak rasa ketakutan di wajahnya. Padahal kami baru bertemu pertama kali. Bulunya merona putih bercampur hitam. Entah siapa namanya. Aku sebut saja si belang. Sebab bulunya cuma 2 warna hitam & putih. Dia menghampiri kami. Satu per satu berusaha di dekati. Tak lama ia pun mendekatiku.

Cerita seorang kawan, Idris, dari Yayasan Terangi, si Belang ini dibawa dari Bogor. Dulunya sekawan tiga ekor, namun yang berhasil beradaptasi tinggal si Belang. Entah sampai kapan si Belang masih bisa bertahan.

Si Belang di pulau Panggang ini menyeruakkan pikiranku ke masa lalu. Masa dimana aku masih pakai baju merah putih. Masa itu kami sekeluarga memelihara si Belang hampir 40an ekor. Sekandang besar. Tiap hari kami harus mencari rumput & beraneka pakan lain. Pemeliharaannya tak bisa main-main. Pergantian pakan, cukup sirkulasi udara, persediaan air, dll adalah sebagian kecil dari ritual pemeliharaan si Belang dkk. Salah urus sedikit saja, si Belang satu per satu meninggalkan kita. Dan itu juga yang terjadi dengan si Belang kami. Entah karena kesibukan kami yang harus ikut membantu orang tua, satu per satu si Belang meninggalkan kami. Saat-saat yang paling mendebarkan adalah ketika si Belang betina beranak. Sekali beranak bisa mencapai 5-6 ekor sekaligus. Hampir sama dengan anjing.

Flash back sebentar, keluarga kami pada dasarnya penyuka binatang. Setidaknya ada kambing hingga 8 atau malah 10 ekor ya. Ayam, belum lagi 2 anjing kami. Poni dan Bandit. Poni anjing betina dengan corak belang juga. Hitam dan putih. Poni sudah beranak pinak entah sampai berapa. Tiap kali kami ke sawah, Poni selalu membuntuti dan menjaga kami dari belakang. Bahkan suatu kali, tanpa kami sadari dia berhasil menangkap "garangan". Garangan dalam bahasa kami adalah sejenis hewan liar yang merusak tanaman. Hari itu Poni membawa lauk untuk kami hari itu. Sebagai balasannya, kami berikan Poni porsi besar. Poni seperti anjing kampung lainnya, selalu menjaga kami di malam hari. Dia tidak pernah tidur di dalam rumah. Jarang sekali dia seliweran di dalam rumah. Satu dua kali dia di dalam rumah karena urusan makan. Kami biasanya makan bareng. Poni sangat penurut. Tiap kali makan kami selalu memintanya duduk. Dan dia menuruti. Mungkin itu karena kami latih semenjak dia kecil. Sayang sekali, Poni harus meninggalkan kami dengan tragis. Sebuah motor mencabut nyawanya. Kami pun sangat kehilangan.

Selang beberapa lama, kami menemukan penggantinya. Masih kecil. Kira-kira baru berusia beberapa bulan. Kami namai Bandit. Bandit artinya bandel, karena kali ini anjing kami jantan. Bulunya berwarna coklat. Tiap kali pulang sekolah, rasanya kurang afdol kalau tidak menggendongnya atau memberi tajin kesukaannya. Sayang, Bandit juga meninggalkan kami dengan tragis. Kali ini sebuah bis mini. Poni & Bandit meninggalkan kami selamanya. Itu kejadian sudah lama sekali. Rasanya masa-masa itu, sekarang ini sedang aku sangat rindukan. Entah sampai kapan aku akan kembali dikelilingi Si Belang, Poni, ataupun Bandit lagi. Poni, Bandit dimana kamu sekarang??

Monday, March 17, 2008

Anarchy

Anarchy itu artinya tanpa pemerintahan. Bebas merdeka tanpa aturan. Itulah yang menjadi paham bagi anak-anak punk. Kita sendirilah yang berhak mengatur diri kita sendiri. Tak ada aturan apalagi pemerintahan. Dari luar dandanan mereka “menyeramkan”. Rambut gimbal, kadang juga model Mohawk, kusam, jarang mandi, dekat minuman keras, dan seabreg emblem negatif ditujukan kepada mereka. Punk memang identik dengan kebebasan. Ekspresi kebebasan itulah jalan hidup mereka. Bebas mengatur diri sendiri tanpa tergantung orang lain apalagi pemerintah. Paham ini aku dapatkan dari anak punk sendiri. Anarchy inilah yang menjadi jiwa punk. Memang tak dipungkiri banyak juga diantara mereka yang hanya sekedar ikut-ikutan kawan. Prinsipnya anak punk ingin mengatur dirinya sendiri.

Jika direnungkan sejenak, paham ini rasanya kok hampir sama dengan yang sekarang bangsa ini alami. Rakyat harus berjuang sendirian di medan pertempuran. Harga terus melambung tinggi, susu terigu dan serangkaian bahan pokok lainnya. Pemerintah seraya tak berdaya menghadang harga-harga. Ketika harga minyak dunia terus merangkak, pemerintah pun tak kuasa mencari terobosan. Malah mereka berencana menaikkan BBM. Bisa diduga, naiknya BBM berarti pula naiknya kebutuhan lainnya. Ujung-ujungnya makin berat saja beban rakyat ini. Kalau pemerintah hanya bisa menaikkan harga, itu sama artinya pemerintah membunuh rakyatnya sendiri pelan-pelan. Pemerintah cuma mikirin perutnya sendiri bukan perutnya rakyat. Bukankah pemerintahan itu sebagai manifestasi dari pelayanan publik alias public servant?

Ketika banjir menerjang Jakarta beberapa waktu lalu, pemerintah mengkambinghitamkan curah hujan yang tinggi. Ketika sekarang banyak jalanan ibukota yang berlubang, pemerintah juga menyalahkan pemotongan anggaran perbaikan oleh DPR. Selalu saja mencari alasan. Berbagai alasan selalu dicari pemerintah tanpa pernah mau mencari solusinya. Jika pemerintah hanya bisa mencari kambing hitam, untuk apa mereka menjadi pejabat publik? Mereka seolah lupa bahwa yang menggaji mereka itu duit rakyat. Mobil yang dinaikinya itu bensinnya hasil patungan 200an juta rakyat. Ringkasnya pemerintah gagal melindungi rakyatnya. Lantas apa gunanya ada pemerintah? Bukankah pemerintah berkewajiban menyejahterakan rakyatnya? Memberi rasa aman rakyatnya? Tapi mengapa masih saja ada anak & gelandangan di pinggir jalan, kasus busung lapar, dll. Kemana saja mereka yang ketika berkampanye menjanjikan “perubahan”. Jangan-jangan mereka sekarang sudah berubah. Berubah menjadi lupa?!

Monday, March 10, 2008

Memandang Mentari

















Mentari sebuah anugrah bumi
Memburu siang menjadi malam
Tak terganti tak tercurah
Meski hari selalu berganti

Wednesday, March 5, 2008

P A U S E

Berhenti sejenak. Mungkin itu kata yang tepat mengartikan pause. Pause may refer to a rest, hesitation, or temporary stop. Itu kata mbak Wikipedia. Jika kita sering memutar tape radio, DVD, dll kita juga sering memencet tombol yang satu ini untuk menghentikan lagu atau video yang tidak kita sukai. Kita juga bisa menekan tombol ini jika kita tidak ingin melewatkan film yang tengah berputar sementara kebutuhan alamiah ke toilet tak tertahan.

Rutinitas kita terutama di kota besar yang didominasi semua yang serba cepat, membuat kita tak pernah “berhenti sejenak“. Kita selalu berputar dari satu tempat ke tempat lain yang tak pernah kunjung selesai. Semua lini kehidupan kita, dipacu untuk selalu berlari dan berlari. Tanpa pernah “berhenti sejenak“. Karena tergesanya kita, apapun yang kita lakukan rasanya tak pernah ternikmati dengan baik. Tuntutan hidup membuat kita selalu tergesa. Berangkat kerja selalu terburu-buru. Mau bukti? Setiap hari berapa ribu bunyi klakson kita hamburkan di jalanan, pertanda kita tak mau bersahabat dengan pengguna jalan yang lain.

Padahal “berhenti sejenak“itu ada perlunya. Jika kita tak mau terburu-buru berangkat ya bisa bangun pagi dan berangkat pagi. Kita pasti bisa menikmati perjalanan. Siapa tahu di tengah perjalanan itu kita malah menemukan hal-hal yang selama ini terlewatkan begitu saja. Misalnya, tempat makan enak, tempat nongkrong baru, yang semuanya itu sebenarnya sudah lama ada tapi kita tak pernah melihatnya karena selalu diburu dan terburu-buru.

“Berhenti sejenak“ penting kita lakukan demi menjaga keseimbangan raga. Bagi saya “berhenti sejenak“ itu sama dengan kontemplasi. Tak perlu tempat yang sunyi senyap. Yang penting kita bisa konsentrasi. Sebenarnya “berhenti sejenak“ itu ya menyadari sesadar-sadarnya apapun yang kita lakukan. Guru SMA saya pernah mengatakan bahwa pikiran itu ibarat kuda liar. Dia akan terus liar dan meronta. Sebentar ingin ini sebentar ingin itu. Begitu satu keinginan dituruti, dia pasti akan menagih keinginan yang lainnya. Demikian seterusnya hingga tak terbatas lagi keinginannya. Apalagi pikiran selalu lari ke masa lalu dan masa yang akan datang. Bukti konkretnya adalah kita tidak pernah bisa menyadari apa yang sedang kita lakukan. Misalnya saat ini kita sedang memotong sayur di dapur, tapi pikiran kita sudah shopping di mall. Akibatnya tak sengaja tangan kita teriris pisau.

Pola konsumerisme yang membabi buta juga perlu kita hentikan barang sejenak. Kita tak selalu harus melihat lemari pakaian di etalase-etalase pusat perbelanjaan. Saatnya kita melongok ke lemari pakaian kita sendiri di rumah. Berapa banyak pakaian yang cuma sekali pakai. Berapa banyak yang masih bagus, dll. Belanja boleh saja. Tidak ada yang melarang. Tapi tidak perlu jor-joran. Sebab jika tidak, seperti seorang teman saya, lemari kita sudah tak cukup menampung pakaian lagi!

Sudah saatnya kita mengistirahatkan semua indera untuk “berhenti sejenak“. Kita nikmati sesadar-sadarnya nafas yang tak pernah kita sadari sebelumnya. Apalagi tanpa nafas kehidupan pasti terpenggal! Kita hentikan sejenak kaki yang terus berlari. Nikmati dan sadari apa yang ada di sekitar kita sekarang juga. Sudah saatnya kita pause dari hingar bingar jalanan kehidupan.

Tuesday, March 4, 2008

Sepak Bola Gajah

Sepak bola gajah adalah olah raga sepak bola yang dimainkan oleh gajah. Biasanya untuk menghibur para pengunjung kebun binatang atau untuk atraksi meriah lainnya. Intinya untuk memeriahkan suasana. Sentra Gajah Waykambas, Lampung adalah salah satunya. Gajah-gajah disana memang dilatih olah raga apa saja. Tapi yang paling menarik tentunya sepak bola. Apalagi bola adalah olah raga paling merakyat.
Atraksi sepak bola gajah memang selalu seru & menarik, tapi kalau sepak bola gajah ini diperagakan manusia jelas-jelas tidak ada menariknya bahkan cenderung menjijikkan. Apa sebabnya? Karena dalam sepak bola gajah tidak ada sportivitas, kolektivitas apalagi fair play. Yang ada cuma total defensif football. Kita tentu masih ingat, tragedi Piala Tiger II di Vietnam beberapa tahun silam. Untuk menghindari tuan rumah Vietnam, Mursyid Effendy memasukkan bola ke dalam jala sendiri dengan sengaja. Walau tetap lolos ke babak selanjutnya, Indonesia kalah 3-2 dengan Thailand. Tindakan Mursyid mengundang cemoohan dari seantero tanah air. Karena desakan massa, PSSI pun menjatuhkan sanksi berat.
Sebenarnya, PSSI pun saat ini sedang dan masih melakukan sepak bola gajah ini. Kengototan Nurdin Halid mempertahankan kursinya walau sedang mendekam di penjara adalah realitasnya. Bahkan seorang Slepp Blatter ketua FIFA (badan sepakbola dunia) pun tak digubris. FIFA mengancam akan membekukan PSSI dan mencoret Indonesia dari percaturan sepakbola dunia jika tetap dipimpin oleh seorang narapidana. Bahkan dari situs FIFA, nama ketua PSSI ini sudah di-delete. Kebandelan sebagian besar pengurus teras PSSI yang mempertahankan Nurdin Halid juga mengundang seribu tanya. Tak jelas apa alasan mereka. Nugraha Besoes, Sekjen PSSI sepanjang masa, mengatakan bahwa tidak diatur dalam AD ART PSSI tentang status ketua umum. Entah narapidana, tersangka, apalagi terdakwa, selama dia mau ya silahkan. Lantas pertanyaannya adalah apakah pantas jika sebuah organisasi nasional dipimpin seorang tersangka korupsi? Contoh baik apa yang bisa dipetik dari seorang koruptor? Oklah jika memang dari item putih gak bisa diotak atik (padahal sering kali AD ART itu sih dibikin menyesuaikan saja). Artinya jika desakan mundur Nurdin sekarang begitu menggebu di masyarakat, pengda-pengda PSSI bisa mengadakan yang namanya munaslub untuk melengserkan Nurdin. Tapi sayang, action nyata belum kunjung datang meski dukungan menuntut Nurdin mundur terus berkumandang.
Kebobrokan PSSI tak cuma berhenti sampai disitu. Belum lama PSSI membuat dunia tercengang dengan meniadakan promosi degradasi dalam kompetisinya. Aneh bin ajaib. Di negara manapun yang ada baik dan benar kompetisi sepak bolanya, semua mengenal promosi & degradasi. Inggris negara asal sepak bola mengenal premiere league, championship, dst. Italia, negara juara dunia 06, mengenal Serie A, B, C, dst. Nah kalau di Indonesia itu semua tak ada. Padahal yang membuat sebuah kompetisi itu menarik adalah perjuangan untuk merebut posisi pertama, bertahan atau bahkan degradasi ke level yang lebih rendah. Hanya tim terbaiklah yang berhak menyandang gelar juara. Nah jika tidak ada yang diperjuangkan dalam sebuah kompetisi, buat apa kompetisi itu diadakan? Jawabannya cuma satu: Hanya pemborosan saja. Apalagi hampir semua klub bola di Indonesia cuma mengandalkan dana APBD yang asalnya dari rakyat. Jadi mereka memakai uang rakyat hanya untuk sebuah kompetisi yang tak bermutu. Dana yang digelontorkan pun tak sedikit. Untuk mengontrak pemain asing saja kisarannya 1 - 2 M per orang per musim. Sebagai ganti dari promosi degradasi, PSSI menggelar apa yang mereka sebut Liga Super. Terminologi super secara awam itu adalah TERBAIK. Apanya terbaik jika begitu kondisinya?
Nah bisa diterka ujungnya, dengan carut marutnya kompetisi seperti itu, prestasi sepak bola Indonesia pun tak beranjak dari tawuran suporter, pembakaran stadion, pemukulan wasit, dll. Mungkin memang lebih baik nonton sepak bola gajah daripada kompetisinya PSSI!