Tuesday, February 13, 2018

Belajar pelayanan

Toko Yun tak jauh dari rumah kami di kampung. Toko ini menyediakan barang sehari-hari. Mulai dari sabun, kosmetik, mie instan, juga perlengkapan rumahan lainnya. Toko ini sekilas seperti swalayan kecil yang banyak bercecer di tempat lain. Bedanya, toko ini tidak ada pendingin udara saja. Juga penataan barang yang agak semprawut. Kebersihan juga kurang terjaga. Di depan kita diminta lepas alas kaki, tapi di dalam kaki terasa berjalan di atas tanah. Belum lagi, pemilik atau pelayan juga kurang paham letak barangnya. Terbukti ketika kita tanya sebuah barang, kita diminta untuk cari sendiri. Ketika membayar pun, tak pernah ada interaksi. Bahkan sekedar basa-basi. 

*****

Di lain waktu, saya makan soto kudus di terminal Kudus. Seorang ibu tergopoh menghampiri warung soto ini. Ia berniat membungkus soto untuk anaknya. Namun sayang, pemilik warung soto tidak menyediakan wadah yang pas. Sementara pemilik warung keukeh meminta untuk makan di tempat. Akhirnya sang ibu tidak jadi membeli soto. Saya yang menyaksikan percakapan itu cuma bisa melonggo. 

*****
Dari Toko Yun dan toko soto ini, saya jadi teringat ketika membantu seorang kawan membuat video pendek tugas kuliah S2 yang membahas soal "service excellent". Di video yang diperankan anak didik di sekolahnya ini, pelayanan yang prima menjadi kunci. Terlebih persaingan untuk mendapatkan pelanggan juga tidak mudah. Lebih tidak mudah lagi membuat pelanggan loyal dengan produk yang kita jual. 

Sering kali saya melihat, sebuah bisnis (entah warung, toko, dll) yang sebetulnya bagus, cuma sayang kadang pelayanan belum digarap dengan baik. Pelayanan disini bukan sekedar soal tawaran diskon, tapi juga untuk hal-hal simpel yang kadang luput, seperti senyuman, dll. Guru saya pernah mengatakan "your problem is my business", artinya ketika kita bisa mengatasi masalah orang lain, maka orang lain itu pasti akan mencari kita. Terlebih 80% orang membeli produk kita karena mereka menyukai penjualnya. 

Mana senyummu?

Minggu lalu, saya mengantar mertua perpanjang paspor di kantor imigrasi di Kota. Sengaja datang lebih pagi. Sekilas tak ada yang banyak berubah. Tapi begitu masuk ke kantor pelayanan, ternyata bangunan sudah jauh lebih tertata. Musola, tempat foto kopi, juga kantin nyempil tertata. Lebih kinclong. 

Seorang satpam kurus tampak melayani warga. Meski sudah banyak terpampang alur sistem pengurusan paspor, tak sedikit warga yang bertanya memastikan. Seketika beberapa orang yang baru datang juga mengerubungi. Salah satu orang menanyakan, apakah bisa daftar manual? Karena sudah beberapa hari daftar online tidak bisa. Saat ini, semua harus online. Jadi tidak ada manual lagi. Untung jauh hari adik ipar sudah mendaftarkan perpanjangan paspor mertua via online. Di sana juga tertera jam berapa kita harus datang, jadi tidak perlu takut untuk tidak dilayani. Dan khusus untuk lansia, di atas 60 tahun, ada jalur khusus untuk mendapat nomor urut. 

Setelah data diisi, kita lalu ke gedung A untuk menunggu panggilan. Pegawai belum banyak yang datang. Maklum belum jam 08.30. 15 menit kemudian nama mertua di panggil. Di loket 1, mertua hanya diminta foto dan cap jari saja. Setelah itu keluar. Kami menunggu untuk mendapat lembar kuitansi pembayaran. Jika dulu ketika saya memperpanjang paspor harus membayar di BNI (yang jaraknya lumayan dari kantor imigrasi), tapi kali ini kami membayar di mobil pos yang berjaga di pelataran parkir kantor imigrasi (helpfull banget nih). Setelah bayar, kami tak perlu melapor lagi. Tinggal mengambil paspor baru minggu depan. 

Dari semua pelayanan hari itu, semuanya sudah sangat baik. Catatan kecil saja, petugas loket perlu dibekali cara tersenyum. Karena ketika melayani kami, tak ada sedikitpun senyum dari petugas yang melayani. Apa susahnya tersenyum?