Wednesday, July 15, 2015

Mbah Patmo

Rambutnya sebagian besar sudah memutih. Guratan keriput juga menutupi wajahnya. Topi lusuh menggantung di kepalanya yang kecil. Baju lengan panjangnya tampak kebesaran daripada tubuhnya. Demikian pula dengan celana pendeknya. Sandal jepit menyangga kakinya yang mulai rapuh. Sesekali ia duduk. Sesekali memandang sekeliling. Tanpa suara. Dia memajang mainan wayang-wayangan yang terbuat dari kertas, tepat di depan sebuah minimarket di pinggiran kota kecil, paling ujung Jepara. Ada punokawan, ada juga Arjuna dan yang lain. Di tengah menjamurnya mainan modern, Mbah Patmo masih setia dengan mainan tradisional syarat makna ini. 

Sebut saja namanya Mbah Patmo. Usianya mungkin sudah menginjak kepala 8. Tapi pendengarannya masih sangat baik. Mbah Patmo, tanpa suara menjual dagangannya. Di usia yang seharusnya dinikmati memomong cucu, Mbah Patmo masih gesit berjualan. Hasilnya memang tidak seberapa, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Selain untuk menambah pemasukan, kegiatan ini juga mengusir kejenuhannya di rumah.

Saya memutuskan membeli 2 mainan wayangnya Mbah Patmo. "Gangsal welas mas" jawabnya ketika saya tanya harga mainannya. Saya memberinya lebih sedikit dari yang seharusnya. Tiba-tiba tangan saya diraih sembari Mbah Patmo komat-kamit dalam bahasa Jawa halus yang saya tangkap sayup-sayup. Kurang lebih Mbah Patmo mendoakan yang baik-baik untuk saya dan keluarga. "Semoga Mbah Patmo banyak diberi kesehatan" ujar saya sembari pamit. 

Di jalan pulang, saya banyak memikirkan Mbah Patmo. Semangat mandirinya benar-benar menyentuh saya. Semangatnya untuk berdikari, tidak menggantungkan hidupnya kepada orang lain betul-betul menjadi pembelajaran tersendiri. Selamat menjelang lebaran Mbah Patmo. Semoga makin banyak rejeki dan makin sehat. Sungkem. 

Kelet, Jepara, 30 Juni