Wednesday, March 30, 2011

Parkir oh Parkir

April Mop. Mungkin itu gambaran yang tepat buat kita yang sehari-hari berkantor dan punya kendaraan yang parkir di ITC Mangga Dua. Mulai 1 April biaya parkir naik hampir 100 %. Jika motor sebelumnya 35,000 sebulan, sekarang naik 60,000/bulan. Mobil dari 90,000 menjadi 120,000/bulan. Alasannya semua komponen mengalami kenaikan. Seingatku, memang sejak 2005 tarif parkir belum pernah naik. Tapi apa juga benar menaikkan tarif hampir 100%? Apa juga sudah sebanding antara pelayanan dan harga yang harus ditanggung konsumen?

Saya masih ingat benar, betapa kejamnya parkir disini. Jangan harap motor kita akan mulus sekeluar dari mall yang selalu ramai ini. Baret sana-sini adalah sebuah pemandangan sehari-hari. Lecet sudah biasa. Sebab selain memang jumlah motor yang terus meningkat, parkiran di ITC Mangga Dua, memang kurang daya dukung. Geser kanan-kiri, jika mau keluar sudah menjadi rahasia umum. Terlebih sikap petugas parkir yang sepertinya melengos ketika kita minta bantuan.

Belum lama ini, seorang kawan motornya raib di parkiran. Ketika cek ke loket keluar, tercatat motor ini belum keluar. Pertanyaannya: mengapa motornya raib? Sampai hari, kasus ini belum ada penyelesaian yang berarti.

Belum lama juga, seorang kawan kaca mobilnya dipecah ketika parkir. Padahal petugas sering mondar-mandir. "Harga parkir naik, kok malah begini" gerutu kawan.

Konsumen adalah raja, rasanya belum berlaku disini. Saya bukan tidak mau harga parkir naik. Sepanjang itu dibarengi dengan pelayanan & fasilitas yang memadai, rasanya harga naik sebuah kewajaran. Tapi jika sebaliknya, mungkin memang sudah demikianlah laku hukum pelayanan di negeri kita.

Boleh naik, asal parkir kita manusiawi. Asal parkirnya dibeneri. Asal petugasnya juga melayani dengan hati!

Parkir oh parkir.

Friday, March 25, 2011

Siapa mereka?

Senin. Langit sudah gelap. Matahari juga sudah sejak tadi terbenam. Wajahnya memelas. Tangan kanan menjulurkan bekas minuman fastfood ke arah pengendara yang berhenti di lampu merah. Bajunya pun lusuh, pertanda belum tersentuh air mandi. Kakinya terpasung di atas trotoar pemisah jalan. Malas bangkit. Entah sakit, entah menahan lapar.

Selasa. Cepat sekali kakinya menuruni tangga eksalator. Tergopoh ia menggendong anak perempuannya yang terlihat beringus. Tergopoh pula ia karena menggendong bekas kardus di pundak lainnya. Beberapa detik langkahnya sudah tertelan waktu. Mungkin takut tertangkap petugas keamanaan yang rutin mengusir sambil bawa pentungan. Sorenya aku melihat dia lagi. Di dalam pagar pemisah jalan,di bawah jembatan penyebarangan mall, ia sibuk melipat kardus dan plastik yang dikumpulkan sedari siang. Deru lalu lalang kendaraan tak dihiraukan. Baginya makin cepat kardus dan plastik itu rapi, makin cepat pula ia bisa memberi makan anaknya.

Rabu. Jakarta masih sangat gelap. Tadi diujung sana, sebuah gerobak mulai bergerak. Mengais sisa sampah kota. Di dalam gerobak, tergolek istri dan anaknya pulas. Meski bercampur bekas sampah, mereka tak terganggu. Mungkin sudah biasa. Tak menjanjikannya lagi lahan pertanian di desa membuatnya angkat kaki ke kota. Ibukota adalah hamparan harapan baginya. Meski tak memiliki keahlian, tapi ibukota tetaplah tumpuan mencari makan. Gerobak ini pula menjadi rumahnya ketika malam tiba. Dengan atap rel kereta yang menjulur dari Kota hingga Manggarai, keluarga ini biasa tinggal. Bau anyir sampah sudah menjadi keseharian keluarga ini. Bau sampah adalah bau rupiah. Mungkin itu pemikirannya.

Kamis. Lalu lintas pagi itu macet. Orang berebut segera naik bis kota menuju tempat kerja. Penuh sesak bis kota biru itu melaju. Tak berselang naik 3 orang berpakaian sederhana.Meski sesak, mereka mendesak minta tempat. Tak berselang lama, mereka bersuara. "Pak, Bu, saya bukan mau nodong, saya cuma minta keikhlasan ibu, bapak sekalian. Seribu, duaribu, tidak akan membuat bapak, ibu menjadi miskin. Asal tahu aja, saya baru aja keluar dari Cipinang". Sontak, bis sesak itu makin sumpek karena keberadan mereka.

Jumat.Perempatan jalan. Sore itu ramai sekali. Maklum, orang mulai bergegas pulang. "Tahan, tahan. Ayo Pak, belok kiri pak, ya terus aja terus terus" ujar salah satu dari mereka. Sementara yang lain menahan mobil lain. Sambil mengacungkan ember bekas, mereka minta tinggalan recehan. Mereka biasanya berkelompok. Hasil yang didapat di ember, dibagi setelah operasi selesai. Kerja mereka terkadang membantu, tapi juga terkadang menyebabkan kemacetan makin panjang. Karena yang mereka kejar sebenarnya bukan membantu kemacetan, tapi sejumlah rupiah saja. Pak Ogah, itulah sebutannya.

Sabtu. Sore itu hujan menderu. Padahal pagi-siang, panas menyengat. Cuaca memang tak pernah bisa diprediksi, bahkan oleh BKMG sekalipun. Prakiraan mereka sering kali tak tepat. Ya namanya juga prakiraan. Kadang tepat, kadang pula sebaliknya. Anak-anak berlarian basah kuyup. Padahal tangan mereka menggenggam payung. Oh, ternyata payung itu tidak mereka pakai. Tapi mereka tawarkan untuk siapa saja yang membutuhkan. Tentu, ganjarannya, beberapa lembar ribuan berpindah ke kantong mereka. Menggigil kedinginan tak mereka hiraukan. Yang penting, sang pelanggan terlayani. Makin banyak yang memakai payungnya, makin banyak pula rupiah masuk.

Minggu. Hari ini aku belum melihat mereka-mereka lagi. Entah kemana mereka perginya. Atau aku saja yang tak cermat mengamati lagi. Aku justru melihat Pak BY di TV minta kenaikan gaji. Katanya sudah 7 tahun ini, dia gak naik gajinya. Padahal gaji Presiden itu 65 juta sebulan. Belum lagi dana taktis yang angkanya bikin bulukuduk berdiri. 2 M. Itu tentu bukan sedikit. Itu tentu jauh dari cukup. Itu tentu bisa mensejahterakan mereka-mereka yang ada di hari Senin-Sabtu. Agak lama aku termenung. Aku merasa makin gak kenal siapa sebenarnya mereka. Kepada siapa sebenarnya mereka bekerja?

Benar-benar makin tak kenal siapa mereka!

Suparman yang Super

Peluh terlihat didahinya. Jalannya cepat dan tangkas. Tak terlihat lelah. Tak berselang lama, ia sudah didalam kelas, mengajar. Suaranya lantang, meminta murid di ujung bangku membaca buku sesuai perintahnya. Tak jarang ia sedikit membentak. Tidak kasar, tapi tegas. Dialah Suparman. Biasa dipanggil Pak Parman. Guru seni sekolah Seraphine Bakti Utama, Cengkareng, Jakarta Barat.

Tubuhnya mengalami kelainan pertumbuhan sejak kecil. "Semua keluarga saya normal mas" ujarnya mulai bercerita. "Gak tahu kenapa, tapi ya sudahlah saya terima aja". "Memang awalnya sulit menerima, tapi ya lama-lama terbiasa juga". "Keluarga saya itu keluarga besar, 8 bersaudara". "Semuanya normal" tegasnya. Suparman kecil dihabiskan di Kutoarjo, pinggiran Jogja. Sekolah ia jalani selayaknya anak normal lainnya. Meski ejekan juga tak terhindarkan. "Dulu, kalau ada yang mengejek saya marah". "Tapi kalau sekarang, ya sudahlah, buat apa juga". Seni, menjadi daya tariknya. Dari situ pula, ia akhirnya mulai ikut bermain dalam berbagai pertunjukkan seni, terutama ketoprak, seni tradisional Jawa. "Dari setiap tampil, saya selalu jadi punokawan" imbuhnya. Hingga SMA, hal ini terus dilakukan sambil sesekali mengajar di SMA Seraphine di Jogja. Ketika kuliah ia bimbang. Ayah angkatnya ingin ia mandiri dengan menempuh pendidikan ekonomi. Tapi hati kecilnya ingin ke seni. Hingga semester 3 ia berhasil mengelabui keluarga, terutama ayah angkatnya. Ia mengaku kuliah ekonomi, padahal sehari-hari ia justru kuliah di Akademi Seni dan Drama. Ayah angkatnya marah besar ketika tahu. Sejak saat itu, sang ayah angkat tak mau lagi peduli dengan keseharian Suparman. Meski berusaha mandiri, Suparman, akhirnya tak kuat juga menanggung sendiri biaya hidupnya. Kehidupan pertunjukkan melalui ketroprak kembali dilakoni.

Lepas dari ketoprak, ia sempat mengadu keberuntungan di sebuah kafe di Cikarang. Dari menjadi komedian, hingga menjadi asisten manajer. Tapi hatinya selalu berontak. Suparman pun kembali lagi ke desanya. Sempat menganggur, Suparman akhirnya menemukan jalan. Jodoh bersambut ketika ia diminta untuk membantu SMA Seraphine Jogja membuat operet dalam menyambut Natal. Kepala sekolah puas dengan pertunjukkan itu. Suparman pun ditawari untuk menjadi guru seni di Sekolah Seraphine Bakti Utama, Cengkareng, Jakarta.

Meski bertubuh mungil, tak tampak dari murid-muridnya yang memandang ke bawah. Semua memandang ke atas. Mengikuti semua perintahnya. Pertanda hormat. "Kalau sudah mengajar seni, drama, atau teater, saya kadang merasa seperti orang normal mas", "Gak ada lagi tuh perasaan kalau tubuh saya ini kecil begini" ujarnya terbahak.

Melalui seni, Suparman ingin mendidik karakter anaknya dengan baik. Tanpa lelah ia selalu menyemangati anak didiknya. Salah satunya Selly, mantan anak muridnya yang hingga saat ini masih aktif mendampingi. Meski sudah lulus, Selly terus membantu Pak Suparman mengajar seni di sekolah. Selly sendiri merasa telat mengenal Pak Parman. "Saya sudah mau lulus, Pak Parman baru masuk" sesalnya sambil berkaca. Baginya, Pak Parman bukan sekedar guru, tapi juga teman yang baik untuk berbagi.

Meski bertubuh mungil, Seuparman memiliki semangat yang super luar biasa. Kegemarannya dalam berkesenian mengantarkan murid didiknya meraih banyak prestasi. Teater, drama, dan musik menjadi ladangnya dalam menempa diri dalam berbagi. Pak Suparman yang super memberi bukti kepada kita semua bahwa segala keterbatasan tak menghalangi tercapainya beragam harapan dan impian. Selama ada niat dan tekad yang kuat, niscaya semuanya akan terwujud.

Pak Suparman benar-benar manusia Super.

Treatment Bertani & Belajar Kehidupan

April ini, kita mengangkat tema Hari Bumi. Diskusi panjang lebar kita lakukan untuk menentukan apa-apa saja yang akan kita angkat. Kebetulan April 211 ini, hari Kamis ada 4, itu artinya ada 4 episode tentang Hari Bumi yang harus kita persiapkan. Diskusi akhirnya menetapkan beberapa kesepakatan. Salah satunya pertanian organik. Metode pertanian organik alias PO sangat bersahabat dengan alam. PO sama sekali tidak memakai bahan kimiawi yang biasanya berpotensi merusak lingkungan. Dari alam oleh alam, itulah prinsip PO. Dan ini tentu cocok dengan Hari Bumi. Setelah riset kecil, akhirnya kami menemukan sebuah komunitas yang melakukan PO ini. Namanya Karang Widya. Lokasinya agak jauh dari Jakarta. Tepatnya di Cisarua. Karang Widya termasuk unik. Kenapa? Karena anak-anak yang dilibatkan di PO ini adalah mereka yang "bermasalah". Dari Sabang - Merauke, ada semua. Dari mantan anggota GAM, anak jalanan, pecandu alkohol, korban konflik Timor Timur. Bukankah mereka ini adalah anak-anak "bermasalah"?. Disini mereka tidak hanya diajarkan cara bertani organik, tapi juga bagaimana menempa diri untuk menjadi manusia yang lebih bernilai. "Karang Widya itu ya tempat untuk memberikan kesempatan kedua bagi anak-anak ini" ujar Johan Purnama, Direktur Karang Widya.

Ini dia treatmentnya:

Treatment: “Bertani dan Belajar Kehidupan”
Narasumber: Johan Purnama (Direktur Karang Widya)

Opening
Salam jumpa. Pemirsa, alam telah memberi manfaat begitu banyak bagi manusia. Namun banyak manusia yang alpa untuk membalasnya. Salah satu cara berterima kasih kepada alam adalah melalui metode pertanian organik. Bagaimana cerita selengkapnya? Sebelum berbincang dengan narasumber saya hari ini, mari kita simak tayangan berikut ini:

VT1

Pemirsa, saat ini saya sudah bersama DirekturYayasan Karang Widya, Bapak Johan Purnama yang melakukan pendampingan terhadap budidaya pertanian organik. Terima kasih atas waktunya ya Pak.

Pertanyaan:
1. Pak Johan, pertanian organik meletakkan prinsip ekologi sebagai dasarnya yakni sebagai sistem ekologi kehidupan? Bisa dijelaskan lebih lanjut?
2. Apa urgensinya pertanian organik ini ditengah beragam masalah lingkungan Pak?
3. Apa benar bahwa pertanian organik ini adalah satu-satunya cara bertani yang ramah terhadap alam? (cerita tentang biaya produksi yang rendah dan juga tidak merusak lingkungan)
4. Apakah ini menjadi keuntungan terbesar dari sistem pertanian organik kaitannya dengan kondisi bumi sekarang ini?
5. Pak Johan, di Karang Widya kemudian juga memilih untuk melakukan budidaya pertanian organik ya? Apakah ada alasan tersendiri dengan pilihan pertanian organik ini? (cerita tentang respecting the future of humanity depends on us respecting nature. Organic farming is about respecting and working with nature, not against it).


Bumper 5”

6. Saya dengar sasaran program ini adalah anak jalanan dan pengangguran. Apakah benar demikian?
7. Bagaimana proses anak-anak ini bisa ke Karang Widya? Apakah mencari sendiri ke pelosok-pelosok?
8. Apakah ada persyaratan khusus dalam program di Karang Widya?
9. Pak Johan, saat ini berapa banyak yang bergabung Pak? Dan darimana saja mereka berasal?
10. Apa yang ingin dituju sebenarnya dalam program ini?


Jeda
Baik Pak Johan, menarik perbincangan kita ya. Tapi kita juga ingin tahu aktivitas sesungguhnya dalam komunitas Karang Widya. Bagaimana selengkapnya, mari kita simak liputan berikut ini:

VT2
Aktivitas di Karang Widya, bertani di ladang, belajar, dll

11. Pak Johan, pendidikan yang diterapkan disini ternyata tidak hanya bertani, namun juga lebih kepada terapi jiwa ya? Apa maksudnya? (Di sini mereka diajar disiplin, bekerja, dan dilatih untuk memiliki kesadaran alam. Kehidupan di jalanan bisa membuat mereka tidak sensitif lagi dengan alam. Mereka di sini dituntut mengembangkan kepekaan. Air dan tanah bisa menjadi terapi jiwa, bisa menyejukkan pikiran yang panas).
12. Apakah karena itu pertanian organik sengaja dipilih sebagai media untuk pendidikan karena pertanian organik membutuhkan ketekunan dan kecintaan terhadap tanah dan tanaman?
13. Pak Johan, yang bergabung disini kan lumayan banyak ya? Dan saya dengar dalam mengolah lahan pertanian organik mereka dibagi beberapa kelompok? Bisa cerita tentang hal ini lebih lanjut Pak?
14. Dan mengapa harus dikerjakan secara berkelompok seperti ini?

Bumper 5”

15. Pak Johan, pertanian organik ini kan bertumpu bahan dari alam. Termasuk dalam mengusir hama, dll. Apakah disini juga melakukan hal itu?
16. Bagaimana proses secara keseluruhan sistem pertanian organik disini? (cerita tentang pemanfaatan pupuk kandang, air seni kambing, air cuci beras, dll yang semuanya dilakukan sendiri oleh anak-anak di Karang Widya).
17. Bagaimana pula dengan pembuatan perencanaan tanam hingga pemasaran? Apakah mereka juga diajarkan Pak?
18. Selain berbagai hal tentang pertanian organik, apalagi yang diajarkan di komunitas ini?
19. Apakah setelah selesai pendidikan disini mereka harus juga menjadi petani organik?

Jeda
Baik Pak Johan, kita jeda lagi ya. Pemirsa, bagaimana tanggapan anak-anak yang terlibat dalam program pertanian organik di Karang Widya ini? Mari simak tayangan berikut:

VT3
Vox pop anak-anak Karang Widya

20. Pak Johan, banyak anak-anak yang mendapatkan begitu banyak manfaat dari pendidikan disini ya. Bagaimana pendapat Pak Johan sendiri?
21. Pak, tentu sudah banyak alumni dari pendidikan di Karang Widya ini dan sudah banyak pula yang meraih kesuksesan dalam kehidupannya. Tapi apa sesungguhnya yang menjadi tolor ukur keberhasilan pendidikan di Karang Widya secara keseluruhan Pak?
22. Pak Johan, apalagi yang akan dikembangkan untuk masa yang akan datang di Karang Widya ini?
23. Terkait dengan hari bumi, apa harapan Pak Johan hubungannya pertanian organik ini dengan kondisi bumi kita? (Pertanian organik membangun tanggung jawab pelakunya pada kelestarian lingkungan. Keberhasilan sistem pertanian organik akan memberikan sumbangan berarti bagi kelestarian lingkungan dan keselamatan dunia pada umumnya).

Closing
Pemirsa, tidak hanya mengajarkan kepada anak-anak mengolah tanah dan tanaman, tetapi komunitas ini juga membantu mengolah tubuh dan jiwa mereka untuk menyongsong kehidupan di masa depan yang lebih baik. Sampai jumpa.