Monday, May 13, 2013

Orang Mana?

Hari itu tukang datang memeriksa rumah. Sayang jelang magrib datangnya. Jadi gak bisa memeriksa tuntas. Sejak hujan kemarin, bagian gudang kerap bocor. Sudah ganti 3 tukang tapi belum juga beres. Akhirnya kami hanya bisa memeriksa dari jalan depan rumah. Dari kejauhan dia meraba kerusakan atap. Juga berhitung perkiraan biaya. 

"Biayanya sejutaan nih mas" ujarnya. 
"Mahal juga ya mas" timpalku. Dari logatnya aku bisa menebak darimana tukang ini berasal. Logatnya yang medok tak bisa menutupi badannya yang bongsor. 
"Mas tiyang Jawi to? Jawine pundi mas" tanyaku yakin. 
"Semarang mas" balasnya. 
Karena lumayan lama di Semarang, aku lantas membalas. "Semarange pundi mas?"
"MRANGGEN mas" ujar si tukang. 

Hah? Mranggen itu nDemak mas, bukan Semarang, sergahku. "Lha Mranggen kan Semarang maju dikit mas" ujarnya mencairkan suasana. 

Kepala lalu berputar mencari peta Indonesia, lalu di zoom in ke Jawa Tengah, zoom ini lagi ke Semarang, geser dikit ke nDemak, lalu baru ketemu Mranggen. Puta buta sekalipun, gak ada tuh daerah Mranggen di Semarang. 

........

Pintu besi hitam tinggi menjulang. Beberapa satpam berjaga di depan, membuka dan menutup pintu pagar perumahan elit. Prosedural pertanyaan dan tujuan meluncur sebelum bertukar kartu masuk. Saatnya menuju rumah no 10. Ternyata tak jauh dari pintu masuk. Ting tong ting tong, bel garasi rumah mewah itu aku pencet. Tak lama seorang perempuan belasan tahun keluar sambil memicingkan matanya. "Cari siapa" tanyanya curiga. "Mbak saya mau antar barang pesanan nyonya" balasku. Aku kembali ke motor hitam mengambil barang lalu menyerahkannya. Tak lama, seorang pria dewasa keluar dari pintu garasi. Badannya tegap. Kumis tipis mengembang. Raut mukanya mengumbar senyum. Aku membalasnya dengan membungkukkan kepala. Aku menebak dia adalah sopir nyonya pemesan barangku. 

Pak sopir: "Mas anter apa". 
Aku: "Anter telur Pak" balasku. 
Pak sopir: "Oh sampeyan wong jowo to mas" 
Aku: "Nggih pak, lha jenengan nggih tiyang jawi pak" balasku sehalus mungkin. Maklum urusan bahasa jawa halus aku selalu dapat nomer buncit. 
Pak sopir: "Iyo mas" 
Aku: "Jawine pundi pak"  
Pak sopir: "Solo Mas"
Aku: "Solonipun pundi pak?". Kebetulan ada teman yang asalnya Solo. Kali aja deket rumahnya.
Pak sopir: "Wonogiri mas"
Aku: #$%***

Sejak kapan Wonogiri dicaplok Solo? Betul sih, Wonogiri memang bisa diakses dari Solo. Betul kalau mau ke Wonogiri harus melalui Solo. Bukannya dari Solo masih perlu 2 jam-an untuk sampai Wonogiri? Lha tapi kenapa gak bilang aja Wonogiri? Kenapa harus bilang Solo? Bukannya Wonogiri ngetop juga dengan baksonya? Liat aja di sepanjang jalan yang jualan bakso atau mie ayam, pasti yang jualan banyak dari Wonogiri. 

.....

Hari itu aku diminta ngisi di sekolah seorang kawan. Materinya tak berat. Hanya sharing-sharing ringan saja. Hampir 60an anak mengisi ruang aula di lantai 2. Hampir satu jam, sesi itu harus diakhiri. Anak-anak lumayan juga tanggapannya. Banyak juga yang bertanya. Tiba waktunya berkemas. Seorang guru yang sedari tadi menjadi moderator, menyalami mengucapkan terima kasih. 

Pak Guru: "Oh masnya itu dari Pati to". Ingatannya pasti meluncur pada slide pertama perkenalanku. 
Aku: "Iya pak". "Kalau bapak sendiri darimana".
Pak Guru: "Salatiga mas".
Aku: "Salatiganya mana pak?"
Pak Guru: "Ampel mas". 
Aku: "Lho Ampel bukannya Salatiga masih maju lagi Pak"
Pak Guru: "Iya, tapi kakek buyut saya asalnya dari Salatiga"
Aku: "Oh"

......

Sepanjang jalan aku mikir, ada apa dengan asal daerah orang-orang itu ya? Apa karena kurang terkenal? Apa akan dianggap aneh kalau kita berasal dari daerah pinggiran yang kalah terkenal? Lalu, kalau bukan kita sendiri sebagai yang bikin terkenal, siapa lagi? Jadi kamu orang mana? 

####


Ubai

Badannya agak gemuk. Beberapa rambut putih mulai memenuhi kepalanya yang bulat. Kulit mukanya legam terpapar matahari, begitu juga cover penangkal angin yang dia pakai naik motor Lebak-Depok saban minggunya. Tergopoh dia menghampiri saya, tepat diujung jalan keluar perumahannya. Kami berjabat tangan erat. Senyumnya masih sama, sejak pertama kali kami bertemu dua tahunan lalu. 

Ubaidilah Muchtar namanya. Mas Ubai biasa saya sapa. Tugas negara sebagai tenaga pengajar membawanya terdampar di pedalaman Lebak, Banten, tepatnya desa Ciseel. Pertama kali kesana, sungguh pengalaman tiada banding. Setelah terguncang 5 jam menyusuri Jakarta arah Rangkas Bitung via Bogor, mobil kami terhenti di sebuah pasar tradisional. Perjalanan berakhir? Ternyata belum. Perjalanan harus kami lanjutkan dengan naik ojek. Sekali jalan tarifnya 50rb. Sepanjang jalan, udara sejuk terasa. Pemandangan alam nan indah khas Indonesia menyegarkan mata. Tukang ojek beberapa kali mengerem laju motornya, menuruni curamnya jalanan setapak. Kanan tebing tinggi, sebelah kiri selurus terlihat sungai mengalir air jernih. Kondisi jalan mirip arena offroad. Beberapa kali, harus turun dari motor, biar selamat. 45 menit kemudian kami tiba di desa Ciseel. Papan bertulis "Taman Baca Multatuli" menyambut. Banyak rumah sederhana di sekitarnya. Adat Badui kental terlihat. Rumah panggung sederhana menjadi bukti. Aliran sungai jernih gemericik memanggil. Sesekali burung riang bernyanyi. Damai sekali. 

Mas Ubai memanggil masuk rumah bacanya. Sederet buku baca lengkap tertata rapi di rak sederhana. Novel, majalah, buku cerita menghiasi rumah baca sekaligus kontrakan Mas Ubai. Tapi yang berbeda di rumah baca ini terdapat beberapa koleksi novel Max Havelaar. Sebuah novel yang saya sendiri belum pernah Baca! Mas Ubai bercerita bahwa novel Max Havelaar inilah yang menjadi "motor" rumah bacanya. Max Havelaar alias Multatuli pernah berdinas di Lebak sebagai gubernur Belanda meski singkat. Multatulilah yang menulis tentang politik balas budi, meski dia sendiri harus mendekam di penjara. Di rumah baca ini, Ubai mengajak anak didiknya untuk membaca novel Max Havelaar. Secara bergantian anak-anak diajak untuk membaca lalu meresapi makna novel kelas dunia ini.

Obrolan sore itu ditemani jengkol goreng. Ubai tentu tanpa alasan membawa "semangat" Multatuli. Lebih dari 60 tahun merdeka, desa Ciseel, yang masih berada di pulau Jawa tak teraliri listrik. Kegelapan sudah menjadi teman setia anak-anak Ciseel sekian lama. Hal inilah yang mematik Ubai untuk berpikir keras mencari hiburan untuk anak didiknya. Sepulang sekolah anak-anak dipersilahkan membaca apapun yang ada di rumah baca Multatuli. Anak-anak biasanya disana sampai menjelang magrib. Selepas baca novel, anak-anak dibiasakan menulis perasaannya. "Nanti kalau saya jadi pejabat, saya tidak akan semena-mena terhadap masyarakat", itu salah satu tulisan anaknya. Sebuah ungkapan jujur melihat tingkah polah banyak pejabat yang menyengsarakan rakyatnya, bukan hanya sejak jaman belanda, tapi hingga sekarang!

Perjuangan Ubai mendidik anak-anaknya tak hanya berhenti di taman baca. Sesekali Ubai membawa anak-anak ini turun desa, menengok dan mengenalkan jejak Multatuli di sekitar Lebak. Banyak pengalaman disini. Turun desa adalah pengalaman sebagian besar anak-anak Ubai. Tak banyak mereka yang menginjakkan kaki di luar desanya, mengingat biaya transportasi yang mahal. 

2 tahun berselang, dan kami bertemu lagi. Mas Ubai bercerita kalau anak-anak sekarang makin giat membaca. Tambahan koleksi bukunya makin bertambah. Berita yang menggembirakan, listrik akhirnya bisa mengalir ke desa ini. Sebuah berita besar untuk desa yang sudah gelap puluhan tahun. Ubai sendiri sudah jauh hari memberi terang bagi desa Ciseel. Jauh lebih terang dari bantuan listrik negara. 

Selain listrik, Ubai juga cerita kalau di desa ini ada tenaga pengajar dari Indonesia Mengajar yang digagas Pak Anies Baswedan. Lebak adalah satu-satunya daerah di Pulau Jawa yang ada Indonesia Mengajar (IM). Biasanya IM ditempatkan dipelosok-pelosok negeri. Tapi atas permintaan pemerintah setempat, IM diminta untuk mengajar.  Artinya pemerintahannya sendiri sadar diri. #syukurdeh

Hari itu, saya menyerahkan buku-buku bekas kiriman dari orang. Kumpulan majalah yang sayang jika harus berakhir di pemulung. Pasti menjadi bahan bacaan berharga untuk anak-anak Ciseel. Sebelumnya seorang kawan juga meminta untuk membongkar 1 lemari koleksi komiknya sejak SMP. Semoga anak-anak Ciseel terus bisa maju, menjadi penerang untuk sesama. Seperti yang dilakukan Mas Ubai. Semoga suatu saat bisa berkunjung lagi ke Ciseel.


Friday, May 3, 2013

Manusia Robot

Sebuah pagi di bank. Anak muda tergesa. Satpam sigap membuka pintu dan memberi salam. Senyum customer servise menghangatkan pagi. Gincu merah dan kerudung kombinasi serasi hari itu. Anak muda bergegas menyeret langkah menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendapat penjelasan, anak muda segera membuka dompet. Uang beberapa lembar sudah berpindah ke tangan CS. "Paling lama satu minggu surat perjanjiannya sudah selesai Pak" ujarnya. 

Seminggu berselang, Dua minggu terlewat. Anak muda tersadar surat perjanjian belum kunjung tiba. Segera pula ia telpon. Di ujung seberang, CS menjawab jika surat perjanjiannya masih dalam proses. "Masak surat sepenting itu harus butuh waktu yang lama" batin anak muda. Percakapan dan perdebatan terjadi diujung telpon. CS menjawab sekenanya. "Pimpinan sedang tidak ditempat, petugasnya sedang keluar kantor, dst dst, terdengar meluncur dari mulut cs. Anak muda agak naik pitam. Sementara cs terdiam membisu. 

Terlihat wajah anak muda yang masih memendam amarah. Geram. "Kenapa gak ada inisiatif dari bank untuk memberitahu proses suratnya?" "Apakah memang harus selama ini?"

.....
Sebuah kantor suatu siang. Telepon berdering, lantas terdengar percakapan.
A: "Halo bisa bicara dengan Mbak B"
B:  "Iya ini ada apa Pak"
A: "Mbak apa sudah ada jawaban dari manajer kapan saya bisa datang ke kantor?"
B: "Wah belum ada keputusan tuh Pak?"
A: "Apa selama itu Mbak keputusannya, saya kan sudah menghubungi Mbak sejak sebulanan yang lalu, masak sampai sekarang belum ada keputusan?"
B: "Ya saya gak tahu Pak"
A: "Lha kira-kira kapan saya bisa dapat kepastiannya?"
B: "Ya saya tidak tahu Pak"
A: "Manajernya memangnya kemana Mbak?"
B: "Saya tidak tahu"
A: "Lho kok bisa gak tahu Mbak"
B: "Ya saya gak tahu"
A: #jleb

......

Sebuah SPBU di malam hari. Tak banyak mobil & motor yang isi bensin. Petugas pun hanya beberapa orang saja. Tiba giliran saya isi tangki si hitam. "Lima belas ribu Mas". Tanpa mengatakan "mulai dari nol", bensin subsidi mengalir deras ke dalam tangki hitam. Entah lelah atau tidak hati-hati, petugas spbu tidak tepat mengucurkan. Beberapa ml tumpak tak berguna. Saya sempat menjerit memperingatkan petugas untuk berhati-hati. Ajaib, tidak ada satupun kata atau kalimat keluar dari mulutnya. Hanya diam membisu. Permintaan maaf pun tak terdengar. Bahkan keinginan untuk membersihkan bensin yang tumpahpun tak ada. Uang 50rb saya sodorkan. Berharap segera berlari meninggalkan kekecewaan. Ajaib, dengan enteng petugas justru melayani kendaraan di belakang saya. Kembalian isi bensin baru saya terima setelah dia mengisi lebih dari 3 kendaraan. 
 ....

Sebuah malam di perjamuan makan pernikahan. Saya duduk di meja bulat bersama kawan. Tak banyak tamu yang diundang, hanya keluarga dan kawan dekat. Mempelai duduk manis di meja depan. Makan meja berarti kita tidak perlu bersusah payah hunting makanan yang kita suka. Semua sudah disediakan dan kita dilayani oleh petugas. Rumah makan ini dijamannya memang sangat terkenal. Sayang beberapa tahun belakang kurang ramai lagi. Dan malam itu saya menyaksikan sendiri mengapa dia tidak ramai. Petugas yang menjadi ujung tombak tidak ada satupun yang bersikap ramah. Terlebih di meja saya. Makanan asal dikeluarkan. Grusa-grusu. Melayani dari hati jelas tidak terlihat. Yang penting semua makanan cepat keluar. Dan tak ada sama sekali senyum di wajah mereka. Sepertinya mereka ingin jamuan makan malam itu cepat selesai. 

......
Jangan-jangan sebentar lagi tugas manusia sudah digantikan robot-robot yang lebih memiliki hati dibanding manusia. 

*) dibuat di warung pecel di Cipayung.