Thursday, October 22, 2009

Pesen untuk Pak Beye

Baru saja Pak Beye mengumumkan pembantunya. Sudah bisa ditebak jauh-jauh hari, hampir 60% lebih, pembantu Pak Beye diisi orang-orang yang ada dibelakang dia selama ini. Partai pendukung ketika pemilu lalu dapat porsi jatah. Partai Demokrat otomatis dapat jatah paling banyak, 6 menteri, PKS dikasih 4, PAN 3, PPP dan PKB cuma dikasih dua. Sementara partai oportunis, Golkar, karena tidak ikut berkeringat diberi 3 menteri. Jadi total kursi menteri 20 dari partai. Golkar jadi pendukung di detik terakhir, setelah kalah telak waktu pemilu pilpres kemarin. Memang tidak ada yang abadi di politik. Sekarang lawan, besok sudah jadi kawan, dan sebaliknya.

Dari pengumuman pembantunya ini, Pak Beye banyak menuai kritik. Plin plan soal penentuan menteri kesehatan yang sekarang jadi headline media massa kita salah satu contohnya. Siapa yang di fit & propertest, kok ternyata yang dipilih lain. Belum lagi kentalnya unsur "koncoisme" seperti yang dikatakan pengamat politik, Sukardi Rinakit, memberi bukti bahwa memang Pak Beye ditahun keduanya ini mau jadi safety player. DPR yang 75 % dikuasai partai pendukung jelas menjadi bukti. Kali ini benar-benar tidak ada satupun partai yang mengambil jarak kepada Pak Beye. Pak Beye sekarang tak beda dengan raja diraja, jaman kerajaan dulu. Titahnya menjadi hukum karena tak ada yang berani menyela. Jika sekarang banyak kaum oportunis yang merapat ke Cikeas, semata-mata ingin turut menikmati manisnya kemenangan Pak Beye. Ibarat kata, Pak Beye sekarang seperti kue manis yang dikerubuti banyak semut. Mana ada sih semut yang gak doyan manisan? Tapi ya memang, ujung-ujungnya itu semua hak prerogratif Pak Beye.

Logikanya jika DPR sudah dikuasai, partai pendukung sudah diberi kursi, harusnya tak ada lagi nada-nada protes dari luar istana. Teori trias politica, yang mesti ada keseimbangan dalam pemerintahan tak terpakai di era Pak Beye sekarang. Tak ada pula check and balancing. Semua menjadi sentralistik, terpusat.
Lantas, jika sudah begini, apa yang bisa diharap dari pemerintahan Pak Beye kini? Tapi, biar bagaimana pun, kita harus kasih kesempatan Pak Beye membuktikan janji-janjinya. Jika memang melanggar, ya mari ramai-ramai kita kasih sanksi.






Monday, October 5, 2009

Sebatang Lisong

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka

Matahari terbit
Fajar tiba
Dan aku melihat depalan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan

Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.

…………

Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya,
aku meliat wanita bunting
antri uang pensiun.

Dan di langit,
para teknokrat berkata:

bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun,
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

Gunung-gunung menjulang
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bungan bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadli gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.

……………….

Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.

19 Agustus 1977, ITB Bandung

WS. Rendra in memoriam…
Selamat Jalan pujangga,
Selamat terbang "Burung Merak"...