Monday, January 12, 2009

Izak Timisela: Bapak Kaum Diffable Pinggiran

Sayup-sayup celotehan suara itu membesar. Sumbernya dari sebuah bangunan yang menjulang di depan sana. Untuk sebuah daerah pinggiran, bangunan ini memang mencolok walau agak masuk ke dalam gang H. Ridwan, Kel. Kunciran Indah. Warna warni coraknya. Di kanan kiri masih tersedia tanah lapang. Tak di nyana, ternyata ini adalah bangunan untuk mereka yang berkebutuhan khusus alias SLB. Adalah seorang Nyong Ambon yang menggagasnya. SLB ini dinamakan Yenaiz. Singkatan dari Yenny (anak), Nanik Isiati (istri), dan Izak Timisela. Rambut Izak tersebak uban ketika menemui kami. Badan yang agak tambun tak menyurutkan langkahnya. Dengan cekat ia menjelaskan seluk beluk sekolah perjuangannya ini. Bagaimana tidak? Ia tinggalkan karier yang baik sebagai perawat demi memenuhi keinginan hatinya meningkatkan derajat kaum luar biasa ini. Namun hal ini semua tak datang begitu saja. Ini karena pengalaman melihat dengan jelas ketidakadilan sistem terhadap kaum SLB, apalagi SLB yang berasal dari keluarga tidak mampu. Ingatan akan hak-hak kaum SLB yang terampas memantapkan dirinya keluar masuk kampung untuk mendata kaum diffable ini. Data di dapat. "Tapi akan ditampung dimana anak-anak ini?" kenangnya. Ia lantas menjual rumah untuk menyewa rumah petak untuk memberi pelajaran anak-anak diffable. Istri, dan putri tunggalnya dilibatkan menjadi tutor. Sementara belajar mengajar berjalan di rumah petak, ia pelan-pelan bermimpi untuk mendirikan sekolah. Pontang-panting ia jalankan tugas mulia ini. Sementara penghidupan keluarga belum sepenuhnya normal. Beruntung ia sudah menyiapkan kebun kelapa 2 hektar di Ambon walau itu tidak sepenuhnya membantu.

Tak kurang ribuan proposal ia layangkan demi impian mulianya. "Tak jarang saya harus naik sepeda ke Depsos di Salemba" kenangnya. Padahal ia tinggal di Kunciran, Ciledung. "Ya mau bagaimana lagi sebab memang tidak ada uang kala itu". Lewat sebuah perjuangan tanpa lelah, ia akhirnya berhak mendapatkan dana sebesar 250 juta setelah menyisihkan ribuan proposal yang masuk. Hibah ini disambut dengan tangis haru. Bantuan ini lalu sepenuhnya digunakan demi pengembangan sekolah impiannya. Tak lama berselang bantuan dari Jepang datang. Ia lantas menyekolahkan beberapa tutor ke UNJ jurusan SLB. Selain itu, program pemberdayaan bagi orang tua siswa SLB yang memang berkekurangan pun ia gagas. "Membantu mereka mesti tuntas, ya anaknya ya orang tuanya" tegasnya. Total anak SLB yang bersekolah di Kec. Pinang ini 130. Sementara di Cipondoh, walau masih menumpang di rumah petak, mampu menampung 30an anak. "Kami tidak memilih siswa, jadi tak heran semua kecacatan anak ada disini. Mulai tuna rungu, grahita bahkan autis sekalipun" tandasnya.

Jangan tanya soal prestasi dan kebolehan. Beberapa deret tropi dan piala menghiasi sebuah lemari. Sore itu kami disuguhi ketrampilan anak-anak. Walau mengalami kekurangan, mereka lincah menari mengikuti langgam Jawa. Padahal beberapa dari mereka adalah tuna rungu. Semua itu berkat bimbingan guru dan tutor yang merupakan warga sekitar. "Saya biasanya tes dulu orang yang mau menjadi guru. Sebab mengajar disini sangat berbeda dengan mengajar di tempat lain". Bukan hanya persoalan materi yang minim, namun mengajar mereka yang berkebutuhan khusus ini harus dengan hati" tegasnya.

Tak hanya anak SLB yang menjadi siswa di sekolah ini. Ketika hari beranjak, anak-anak yang putus sekolah ia tampung dalam program pendidikan luar sekolah (PLS) atau biasa disebut kejar paket. Guru dan tutor ia sengaja rekrut dari warga sekitar dengan aneka ragam aktivitas. Ada dosen, guru, ibu rumah tangga menjadi tutor dan guru di sekolah yang selalu ramai aktivitas ini. "Mereka semua tergerak hatinya" ujar Izak.

Bagi Izak sekolah ini harusnya gratis. Karena memang hampir semua dari siswa di SLB ini berasal dari keluarga kurang mampu. Namun setelah dibentuk komite sekolah yang terdiri dari orang tua murid diputuskan biaya sekolah 5.000 - 10.000. Izak pun tak kuasa menolak putusan bersama ini.

Puas dengan apa yang sudah dicapai? Ternyata tidak. Izak bercita-cita mengulang sukses SLB Yenaiz di tempat lain. "Saya maunya Yenaiz ada di seluruh komunitas bangsa ini. Di Jawa, Bali, Kalimantan, bahkan Irian" ujarnya mantap. Biar mereka bergerak sesuai dengan komunitas setempat. "Ini kan seperti Indonesia kecil" ujarnya di derai tawa. "Kalau SLB untuk orang mampu sudah banyak, saya ingin membangun SLB bagi mereka yang benar-benar tidak mampu" ujarnya penuh harap. Semoga tercapai Pak Izak.

Sunday, January 4, 2009

Cak Munir

Cak Munir yang terbaring,
Penghujung tahun kamu dapat kado "istimewa" Cak. Segepok kado yang tak membuat istrimu nyenyak tidur. Aktor utama pembunuhmu di vonis bebas. Lengkap sudah rasanya awan kelabu di balik kematianmu. Makin berat saja terungkap ajalmu nan misterius itu. Mata rantai nan panjang itu ternyata harus dihentikan di tangan seorang saja Cak. Padahal kamu dan kita menyakini bahwa rantai itu masih menyisakan tuas-tuas lainnya. Justru tuas ini dipaksa berkarat dan terputus.

Cak Munir,
5 tahun sudah berlalu dari geger beritamu Cak. Ajal tiba-tiba menitikkan sejuta air mata. Air mata itu kini harus tumpah lagi. Kasusmu tak kunjung menemui titik terang. Padahal, terang itu mestinya menjadi hak anak dan istrimu. Sebaliknya, terang itu sengaja dibikin gelap dan makin gelap. Padahal SBY pernah bilang kalau
penyingkapan kasusmu ini sebagai test of our history. Nyatanya tetap saja Cak. History bangsa ini memang tak pernah berpihak pada orang kecil.

Cak,
Buram lampu jalanan malam itu, sepertinya seburam siapa aktor penjagalmu Cak. Tapi kita masih yakin, di ujung sana terbersit sinar kecil. Sebuah harapan akan terungkap. Entah kapan Cak. Istirahatlah dengan tenang Cak. Doakan perjuangan kawan-kawan mengungkap tabir ajalmu menuai hasil.

Selamat tidur Cak. Semoga prajurit HAM yang kamu tinggalkan segera menjadi panglima yang gagah perkasa.

*) atas vonis bebasnya Muhdi PR.

Thursday, January 1, 2009

tak ada tahun baru, yang ada hari berganti saja!

Sebuah pagi di hari pertama 2009. Langit agak cerah di ujung sana. Ku susuri jalanan. Sekedar ingin cepat berbaring setelah semalam suntuk ngoceh gak karuan di rumah kawan. Jalanan sepi sekali. Banyak warga Jakarta meninggalkan kota ini menjelang pergantian tahun. Jika masih tinggal, tentu jam sepagi ini mereka masih terlelap. Semburan kembang api masih terlintas di pening kepala. Sepi. Wah seandainya tiap hari begini, alangkah enaknya tinggal di Jakarta. Sepanjang jalan Hayam Wuruk, bekas terompet semalam masih berserakan. Petugas kebersihan tampak berjuang membereskan. Sengaja aku pilih jalan protokoler pagi itu. Semua lengang. Bunderan HI saja yang agak ramai. Itu pun karena air muncratnya dibuka lebar-lebar. Sebuah TV swasta nampak mengambil gambar. Jalan Diponegoro yang teduh, membuat mata makin mengantuk saja.

Di perempatan Salemba ku lihat seorang ibu memapah dua anaknya yang bertelanjang kaki. Memelas dan menengadah bunga sosial dari pengendara. Beberapa gerombolan lain melakukan hal yang sama. Ada yang mengelap mobil, main ukulele. Kawasan yang sering terjadi bentrok mahasiswa ini, sama seperti hari-hari sebelumnya. Tak ada yang berubah.

Di sejengkal ingatan menelusur ke kawasan Tanah Merah. Tanah seluas 165 Ha lebih ini sudah lama menjadi sengketa antara negara dan warga. Letaknya persis bersebelahan dengan kawasan Kelapa Gading. Membandingkan Tanah Merah dan Kelapa Gading ibarat sebuah perbandingan bumi langit. Puluhan tahun hingga sekarang, keberadaan warga tanah merah tidak diakui negara. Mereka tidak diberikan hak kependudukan, apalagi hak-hak lainnya. Puluhan kali pula status kependudukan ini diusahakan. Namun hingga kini belum menuai hasil. Warga Tanah Merah umumnya bekerja di sektor informal. Tak kurang 16 ribu KK hingga kini tengah terkatung menunggu kepastian kependudukannya. "Kita ini ibarat hidup dinegeri orang lain" ujar Soegianto, tokoh masyarakat setempat trenyuh.

Di sebuah kantin makan, seorang petugas keamanan mengatakan kekecewaannya terhadap pemeritahan SBY. "Dulu di lingkungan saya semua pilih SBY. Kalau sekarang gak lagi deh" ungkapnya kesal sambil menyantap tempe goreng. "Gila barang-barang tetap mahal. Ongkos juga gak mau turun padahal BBM udah diturunin" ujarnya setengah jengkel. "Belum lagi ancaman PHK gila-gilaan". "Hidup rasanya kok gak tenang, padahal di negeri sendiri".

Seorang ibu merengek minta ditunjukkan jalan. "Naik dua kali Bu" ujarku singkat. "Wah saya gak mau naik angkot", mau jalan kaki aja. "Saya ada interview kerjaan hari ini" ujarnya gusar. "Sekarang cari kerja susah banget Mas". "Saya sudah jalan dari jauh kota". Rona matanya terlihat gelisah. Beberapa kali bahasa Tuhan meluncur dari mulutnya yang tak bergincu. Cemas. Ia lalu mengeluarkan handphone. Sejurus terdengar percakapan dengan orang di seberang sana. Entah benar entah sekedar pura-pura saja. "Saya ada indomie, adik mau beli gak? Tiga ribu aja" ujarnya menawarkan. "Buat ongkos deh". "GAK" jawabku sekenanya. Dari awal aku memang sudah agak curiga. Langkah cepat ia ambil seketika. Ku lihat di ujung sana ia bertanya kepada tukang ojek sepeda. Kadang aku merasa kasihan, tapi kadang jengkel juga ketika tahu belas kasihan itu hanya dijadikan topeng semata untuk mendapatkan beberapa rupiah.

Stasiun senen hari itu agak ramai. Riuh terompet lokomotif bersautan. Seorang teman sudah naik gerbongnya. Aku hanya menunggu menjelang ular besi itu meluncur ke Semarang. Seorang bapak bertopi berjalan di depanku. Ia berhenti. "Mau kemana Mas" tanyanya. "Cuma anter teman Pak" jawabku. Sejenak ia mulai ngerocos. Saya ini korban lapindo Mas. Rumah sudah tenggelam semua. Saya ke Jakarta mau ketemu saudara, eh malah dompet saya di curi orang. Gak tahu nih gimana pulangnya. Awalnya aku masih simpatik. Namun mendengar ceritanya yang sudah mulai gak karuan, aku bisa menyakinkan kalau orang ini hanya mencari belas kasihan saja. Dan benar saja. "Kasihan saya Mas, bisa minta duit untuk makan?" ujarnya tiba-tiba. "GAK ada Pak" jawabku ketus. Aku bukannya gak mau berbagi. Ingatanku melayang pesan seorang kawan: "Berbagilah dengan cara yang mendidik".

Perayaan tahun baru saja lewat. Harapan terjulang di dada. Harapan akan kebaikan dan perbaikan terhadap warga negeri ini. Perayaan tahun baru tak ubahnya percikan kembang api yang segera habis setelah dipencarkan. Lenyap seketika. Benar mungkin, tak ada tahun baru, yang ada hanyalah hari berganti saja!