Thursday, January 1, 2009

tak ada tahun baru, yang ada hari berganti saja!

Sebuah pagi di hari pertama 2009. Langit agak cerah di ujung sana. Ku susuri jalanan. Sekedar ingin cepat berbaring setelah semalam suntuk ngoceh gak karuan di rumah kawan. Jalanan sepi sekali. Banyak warga Jakarta meninggalkan kota ini menjelang pergantian tahun. Jika masih tinggal, tentu jam sepagi ini mereka masih terlelap. Semburan kembang api masih terlintas di pening kepala. Sepi. Wah seandainya tiap hari begini, alangkah enaknya tinggal di Jakarta. Sepanjang jalan Hayam Wuruk, bekas terompet semalam masih berserakan. Petugas kebersihan tampak berjuang membereskan. Sengaja aku pilih jalan protokoler pagi itu. Semua lengang. Bunderan HI saja yang agak ramai. Itu pun karena air muncratnya dibuka lebar-lebar. Sebuah TV swasta nampak mengambil gambar. Jalan Diponegoro yang teduh, membuat mata makin mengantuk saja.

Di perempatan Salemba ku lihat seorang ibu memapah dua anaknya yang bertelanjang kaki. Memelas dan menengadah bunga sosial dari pengendara. Beberapa gerombolan lain melakukan hal yang sama. Ada yang mengelap mobil, main ukulele. Kawasan yang sering terjadi bentrok mahasiswa ini, sama seperti hari-hari sebelumnya. Tak ada yang berubah.

Di sejengkal ingatan menelusur ke kawasan Tanah Merah. Tanah seluas 165 Ha lebih ini sudah lama menjadi sengketa antara negara dan warga. Letaknya persis bersebelahan dengan kawasan Kelapa Gading. Membandingkan Tanah Merah dan Kelapa Gading ibarat sebuah perbandingan bumi langit. Puluhan tahun hingga sekarang, keberadaan warga tanah merah tidak diakui negara. Mereka tidak diberikan hak kependudukan, apalagi hak-hak lainnya. Puluhan kali pula status kependudukan ini diusahakan. Namun hingga kini belum menuai hasil. Warga Tanah Merah umumnya bekerja di sektor informal. Tak kurang 16 ribu KK hingga kini tengah terkatung menunggu kepastian kependudukannya. "Kita ini ibarat hidup dinegeri orang lain" ujar Soegianto, tokoh masyarakat setempat trenyuh.

Di sebuah kantin makan, seorang petugas keamanan mengatakan kekecewaannya terhadap pemeritahan SBY. "Dulu di lingkungan saya semua pilih SBY. Kalau sekarang gak lagi deh" ungkapnya kesal sambil menyantap tempe goreng. "Gila barang-barang tetap mahal. Ongkos juga gak mau turun padahal BBM udah diturunin" ujarnya setengah jengkel. "Belum lagi ancaman PHK gila-gilaan". "Hidup rasanya kok gak tenang, padahal di negeri sendiri".

Seorang ibu merengek minta ditunjukkan jalan. "Naik dua kali Bu" ujarku singkat. "Wah saya gak mau naik angkot", mau jalan kaki aja. "Saya ada interview kerjaan hari ini" ujarnya gusar. "Sekarang cari kerja susah banget Mas". "Saya sudah jalan dari jauh kota". Rona matanya terlihat gelisah. Beberapa kali bahasa Tuhan meluncur dari mulutnya yang tak bergincu. Cemas. Ia lalu mengeluarkan handphone. Sejurus terdengar percakapan dengan orang di seberang sana. Entah benar entah sekedar pura-pura saja. "Saya ada indomie, adik mau beli gak? Tiga ribu aja" ujarnya menawarkan. "Buat ongkos deh". "GAK" jawabku sekenanya. Dari awal aku memang sudah agak curiga. Langkah cepat ia ambil seketika. Ku lihat di ujung sana ia bertanya kepada tukang ojek sepeda. Kadang aku merasa kasihan, tapi kadang jengkel juga ketika tahu belas kasihan itu hanya dijadikan topeng semata untuk mendapatkan beberapa rupiah.

Stasiun senen hari itu agak ramai. Riuh terompet lokomotif bersautan. Seorang teman sudah naik gerbongnya. Aku hanya menunggu menjelang ular besi itu meluncur ke Semarang. Seorang bapak bertopi berjalan di depanku. Ia berhenti. "Mau kemana Mas" tanyanya. "Cuma anter teman Pak" jawabku. Sejenak ia mulai ngerocos. Saya ini korban lapindo Mas. Rumah sudah tenggelam semua. Saya ke Jakarta mau ketemu saudara, eh malah dompet saya di curi orang. Gak tahu nih gimana pulangnya. Awalnya aku masih simpatik. Namun mendengar ceritanya yang sudah mulai gak karuan, aku bisa menyakinkan kalau orang ini hanya mencari belas kasihan saja. Dan benar saja. "Kasihan saya Mas, bisa minta duit untuk makan?" ujarnya tiba-tiba. "GAK ada Pak" jawabku ketus. Aku bukannya gak mau berbagi. Ingatanku melayang pesan seorang kawan: "Berbagilah dengan cara yang mendidik".

Perayaan tahun baru saja lewat. Harapan terjulang di dada. Harapan akan kebaikan dan perbaikan terhadap warga negeri ini. Perayaan tahun baru tak ubahnya percikan kembang api yang segera habis setelah dipencarkan. Lenyap seketika. Benar mungkin, tak ada tahun baru, yang ada hanyalah hari berganti saja!

2 comments:

Anonymous said...

BUset wid....
dalam beberapa jam, banyak amat pengalamannya...
dan semuanya sama lagi....:(

hidoep@perjoeangan said...

Ha....:) Cuma sharing aja sih. Kebetulan aja.