Wednesday, November 22, 2017

Naik Kelas

Sebuah kelas ada 10 anak murid. Namanya murid, pasti ada yang pandai, setengah pandai, dan belum pandai. Guru pasti lebih suka mengajar anak yang pandai dan setengah pandai. Karena tidak membutuhkan waktu yang lama untuk diajari. Lalu bagaimana yang belum pandai? Guru yang bijak, biasa meluangkan waktu lebih lama untuk mengajari. Tapi banyak juga yang "dibiarkan" saja. 

Setiap lomba guru pasti menunjuk anak yang pandai dan setengah pandai. Karena harapan juara pasti lebih besar. Dan benar saja, beberapa kali lomba, beragam piala dibawa pulang. Kalaupun tidak juara 1, setidaknya juara 3. 

Suatu hari, ada perlombaan lain. Celakanya hari itu, semua anak pandai dan setengah pandai juga sedang bertanding di tempat lain. Tinggal anak-anak yang belum pandai. Dengan berat hati Guru mengirimkan anak-anak yang belum pandai ini. Hasilnya sudah bisa diduga dari awal, gagal total. Tak satupun piala yang dibawa ke sekolah. Guru kecewa, semuanya juga kecewa. Komite sekolah juga marah besar. Terlebih sekolah selalu mengutamakan "piala-piala lomba". Ada sebuah kebanggan tersendiri katanya. 

Pada akhirnya, supaya terus membawa pulang piala, anak-anak yang belum pandai tidak diikutsertakan. Kalaupun diajak, mereka hanya bertugas sebagai cheerleader alias suporter saja. Ikut menggembirakan. Meski mereka sendiri entah gembira atau tidak. Jika demikian, kapan mereka "naik kelas?" 

Tuesday, November 14, 2017

Ya Wis

Sebuah ruang segi 4. Kami berbanjar membentuk huruf L. Lengkap dengan meja kursi juga camilan. Di depan tertera laptop juga proyektor. Tak lupa meja kursi untuk orator. Satu per satu kami bahas. Semuanya yang disampaikan tak ada yang salah. Cenderung normatif, jika tidak bisa dibilang miskin inovasi. Cenderung datar, kelihatan tak terarah. Mungkin karena memang tidak mempersiapkan bahan. Ketika sesi masukan digelar, tak sedikit yang mengacungkan jari. Sepertinya semua lebih tertarik mencicipi camilan. Satu dua akhirnya menimpali. Memberi input juga revisi. 

Saya yang sedari tadi menyimak akhirnya menerima giliran. Sedikit agak keras saya mulai mempertanyakan satu per satu yang tadi disampaikan. Memang agak detail. Karena saya merasa ada yang janggal. Bisa jadi agak tinggi nadanya. Semua saya lakukan demi kebaikan bersama. Terlebih ini menyangkut masa depan anak orang. Tentu kita bertanggung jawab penuh. Terlebih saya juga meyakini education is not charity. Dan sorry to say, jawaban yang saya dapat memang tidak menjawab substansi pertanyaan. Lagi-lagi, sekali lagi jawabannya mirip jawaban pejabat yang tidak pernah turun ke bawah. 

Jika masukan modelnya harus bermanis-manis. Iya betul saran harus disampaikan secara sopan, tapi kalau jawabannya muter disitu-situ aja siapa yang gak mangkel? 

Ya Wis. 

Hmmm

Sebuah diskusi panjang. Kopi mulai terseruput. Kemebulnya masih nampak. Tapi usai belum berkesudahan. Teh tawar juga mulai di putar. Dahaga sore minta bagian. Di seberang berganti sautan. Saling menyela, mencari jawaban. Tak jua saling paham, akhirnya diam jadi renungan. Sisi sana melempar gelegar, mengganggap sisi lain tak punya kerjaan. Saling saut tak terhindarkan. Bah sampai kapan diskusi panjang tanpa jawaban? 

Pastinya sering kita jumpai ilustrasi di atas. Orang lain menilai kita tiada kerjaan. Dianggapnya kita makan gaji buta. Padahal itu semua tanpa penelitian. Coba dilihat lebih seksama, apa yang dikerjakan rekan kita. Jika perlu cobalah sehari barang dua hari menjadi orang lain. Menyelami pekerjaannya, menyelami rutinitasnya, juga menyelami segala tetek bengeknya. Jangan sekali-kali menilai orang lain kalau memang tidak paham. Karena orang lain juga akan melakukan hal yang sama ke kita. 

Kerjakan saja bagianmu. Karena pantatku sudah penat. Hmmm

Monday, November 13, 2017

6th Wednesary

Bila saatnya tiba,
Aku dan Kamu menjadi Kita,
Semoga tak hanya Kita demi Kita,
Tapi juga Kita demi mereka.
Bila saatnya tiba,
Aku dan Kamu menjadi Kita,
Semoga semuanya ikut berbahagia,
Sebagaimana kita akan mengusahakannya.
Bila saatnya tiba,
Aku dan Kamu menjadi Kita,
Semoga adalah jalinan karma,
Untuk terus saling topang dalam Dharma. 
(Sumber: undangan pernikahan, puisi by Ivana Chang )