Thursday, December 28, 2017

Kamu yang Mana?

Tiga orang berbincang di meja bulat. Masing-masing sibuk dengan kudapannya. Campuran nasi dan sayur bersaing masuk ke mulut. Sesekali berdengar sendau gurau. Sebentar hening, sebentar terdengar gelak tawa. Hampir tandas piring bening itu. Sambil menghela nafas, salah satu dari mereka mulai bicara. Tak jauh-jauh dari urusan pekerjaan. Dari soal jam kerja yang tidak normal, atasan yang tidak manusiawi, tunjangan yang tidak juga naik, juga gaji yang segitu-gitu saja. Semuanya bermuara pada ketidakpuasan kerja yang disebabkan kesejahteraan yang merangkak seperti siput. Pelan sekali. Mereka saling menimpali. Tak ada ujungnya. Karena yang ada cuma saling menguatkan, bahwa mereka adalah "korban" dari sistem kantor. 

Di lain meja juga meriung tiga orang. Kopi dan teh jadi suguhan mereka. Juga cemilan singkong goreng. Kopi dan teh masih mengepul. Baru sedikit diseruput. Mungkin karena masih agak panas. Masing-masing dari mereka sudah memiliki pekerjaan. Paham kebutuhan juga meningkat, mereka berupaya mencari  penghasilan sampingan. Yang pertama bercerita soal jualan parfum onlinenya. Yang kedua cerita tentang jualan online baju. Yang terakhir sharing kesibukan tambahannya di rumah dengan membuka warung makan. Mereka bertiga saling bertukar informasi perihal usaha sampingan. Mereka juga saling berbagi soal meningkatkan penjualan utamanya era online jaman sekarang. Termasuk juga cerita perihal ragam bisnis model yang sekarang jadi tren. Juga website dan sumber ilmu lainnya yang biasa mereka akses. emata-mata untuk saling menguatkan dan menyemangati untuk berwirausaha.  

Respon. Ya cara merespon pada akhirnya sangat menentukan arah mana yang pada akhirnya kita tuju. Mau mengeluh? Silahkan. Mau berbuat sesuatu? Monggo saja. Karena ada begitu banyak pilihan diluar sana. Tinggal kita mau pilih yang mana. 


Wednesday, December 20, 2017

Ricek

Sebelumnya hampir tiap pagi Coco, anjing kami dilepasliarkan di depan rumah. Tujuannya selain bisa berlarian dan bergaul dengan anjing yang lain, juga biar kencing dan buang kotorannya. Just info saja, di perumahan kita, memang ada beberapa anjing yang bebas berkeliaran. Tiba suatu pagi, Om depan rumah kasih tahu, kalau keberatan anjing kita dilepas. "Tolong anjingmu jangan dikeluarin ya" ujarnya lewat jendela mobil sebelum berangkat. "Ok om, nanti kita perhatikan ya" sambutku sambil menyiram tanaman. Kecuali Om depan rumah, selama ini tidak ada tetangga yang komplain. Bahkan Mbak Nova, seorang muslim Padang yang tinggal persis di depan rumah kami. Paling orang-orang yang lalu lalang di sekitar rumah saja yang agak takut karena digonggongi. Itupun tak banyak. Selebihnya gak ada yang keberatan. Bahkan tetangga dekat rumah  yang pelihara burung banyak. 

Tiba pada sebuah pagi. Saya ada perlu urus surat ke rumah Pak RT. Begitu gembok pintu depan terbuka, Om depan rumah langsung menyergap. "Eh itu kotoran anjing lu" umpatnya sambil menunjuk kotoran anjing yang memang teronggok persis di depan pintu pagarnya. "Om, anjing saya ada di dalam" sergah saya. "Kita gak ada keluarin kok" imbuh saya santai. Mungkin hatinya malu. Karena sudah terlanjur menuduh tanpa bukti. Tuduhannya salah pula. Saya melihat, Om depan rumah marah dengan jawab saya. Tapi itu yang sebenarnya. Sambil marah, saya lihat dia mencongkel kotoran anjing dengan kayu, dan dilempar ke got. 

Sambil  berjalan ke rumah Pak RT, dalam hati saya berujar, "mbok lain cek dulu om". 

Friday, December 15, 2017

Zaman NOW

"Eh jangan langsung makan, kita fotoin dulu ya buat IG" itulah sekelumit obrolan anak-anak remaja di meja sebelah. Cekrek upload, biar kekinian.  Eksistensi jadi yang utama bagi anak-anak ini. Tak heran saban libur mereka berduyun mengunjungi tempat-tempat yang intagramable. Soal budget? Rasanya selama bisa eksis, berapapun akan diupayakan. Makin banyak yang likes di IG, makin senang hatinya. Selain jumlah likes, kesohoran anak sekarang juga ditentukan seberapa banyak followers di sosial media kita. Semakin banyak followers indikasinya semakin sukses. Saya pernah tanya seorang kawan yang followers IG-nya sudah menginjak angka 10.000 lebih. "Dapat apa dari followers sejumlah itu?" tanya saya. "Belum dapat apa-apa" ungkapnya. "Paling cuma barter produk aja, belum yang bener-bener jadi endorse" tambahnya. "Itupun juga dapat dari teman atau saudara aja". 

Lain lagi kawan lain yang sedang merintis menjadi youtubers, terutama soal make up. Hampir tiap minggu dia mengeluarkan review produk-produk make up terbaru. Karena tuntutan, barang-barang dan tempat tongkrongannya juga tak boleh sembarang. Karena menyangkut image. Entah darimana dia membiayai "tuntutan" itu semua. Sementara tawaran jadi "artis endorse" juga belum menghampiri. 

Sosmed-pobia, demikian saya menyebutnya. Istilah yang juga naik daun belakangan. Kita dengan mudah menemukan aktivitas teman-teman sejawat. Dengan menyantap sosial media kawan kita, entah disadari atau tidak, kita pun terbawa untuk melakukan hal yang sama. Ingin segera menikmati "pengalaman" yang sudah dialami kawan kita ini. Celakanya tak jarang yang melakukan karena hanya sekedar gengsi. Hanya sekedar tak di cap ketinggalan jaman. Sehingga segala cara dipakai, termasuk dengan berhutang. Repotnya lagi kartu kredit dengan mudah menawarkan "pinjaman" ini, yang bunganya mencekik leher. 

Kalau saya pribadi lebih suka tulisan di bak truk yang tempo hari lewat. "urip kuwi ora perlu tenar, ora perlu sangar, sing penting rejekine lancar" 

Sunday, December 3, 2017

Pejuang tangguh, tanggung berjuang

Beberapa hari terakhir saya melihat banyak teman-teman yang memiliki lebih dari satu pekerjaan. Berkat aplikasi online, sembari berangkat kerja seorang teman buka menerima tebengan yang searah. Hasilnya? Ternyata lumayan banget. Anggep saja sekali jalan 20.000, PP berarti 40.000. Dalam sebulan hari kerja 20 x 40.000 = 800.000. Tentu angka yang lumayan untuk pengganti bensin. Tentu angka itu tergantung banyak hal, jarak tempuh salah satunya. 

Selain itu ada juga yang bekerja kantoran sambil berjualan. Ada yang bawa gorengan, sambal bajak, roti, buah, baju, juga yang lain. Tak ada perasaan malu di raut mereka ketika setiap pagi menenteng barang dagangannya. Dan marketing mulut ke mulut masih menjadi andalah utama. Ada banyak cerita didalamnya. Ada yang memang terpaksa jualan karena kebutuhan. Ada juga yang karena mengikuti tren. Tapi apapun alasannya, sepertinya muaranya adalah kebutuhan rumah yang meningkat. Terutama bagi yang sudah berkeluarga. Gaji bulanan pasti sudah ada kaplingnya. Jadi untuk kebutuhan yang lain, perlu dicari sumber yang lain. Dan jualan tentu bisa jadi solusinya. Bagi saya, yang terpenting dari semua ini adalah pembagian waktu yang tepat antara bekerja dan berjualan. Harus pintar memilah waktu, terutama yang jualan di kantor. Pekerjaan utama harus tetap didahulukan. 

Bagi saya, apa yang dilakukan teman-teman ini jauh lebih mulia dibanding harus berebut muka di depan atasan, termasuk juga rebutan proyek, korupsi sana-sini dan lain-lain. 

Bagi saya juga semangat teman-teman ini luar biasa. Seperti yang disampaikan Mas Yodhia Antariksa, pemilik strategimanajemen.net yang sering saya baca. Mas Yod kasih tahu bahwa daripada kita berhemat melintir, sampai terkesan kikir, lebih baik mencari cara untuk mencari pemasukan tambahan. 

Wednesday, November 22, 2017

Naik Kelas

Sebuah kelas ada 10 anak murid. Namanya murid, pasti ada yang pandai, setengah pandai, dan belum pandai. Guru pasti lebih suka mengajar anak yang pandai dan setengah pandai. Karena tidak membutuhkan waktu yang lama untuk diajari. Lalu bagaimana yang belum pandai? Guru yang bijak, biasa meluangkan waktu lebih lama untuk mengajari. Tapi banyak juga yang "dibiarkan" saja. 

Setiap lomba guru pasti menunjuk anak yang pandai dan setengah pandai. Karena harapan juara pasti lebih besar. Dan benar saja, beberapa kali lomba, beragam piala dibawa pulang. Kalaupun tidak juara 1, setidaknya juara 3. 

Suatu hari, ada perlombaan lain. Celakanya hari itu, semua anak pandai dan setengah pandai juga sedang bertanding di tempat lain. Tinggal anak-anak yang belum pandai. Dengan berat hati Guru mengirimkan anak-anak yang belum pandai ini. Hasilnya sudah bisa diduga dari awal, gagal total. Tak satupun piala yang dibawa ke sekolah. Guru kecewa, semuanya juga kecewa. Komite sekolah juga marah besar. Terlebih sekolah selalu mengutamakan "piala-piala lomba". Ada sebuah kebanggan tersendiri katanya. 

Pada akhirnya, supaya terus membawa pulang piala, anak-anak yang belum pandai tidak diikutsertakan. Kalaupun diajak, mereka hanya bertugas sebagai cheerleader alias suporter saja. Ikut menggembirakan. Meski mereka sendiri entah gembira atau tidak. Jika demikian, kapan mereka "naik kelas?" 

Tuesday, November 14, 2017

Ya Wis

Sebuah ruang segi 4. Kami berbanjar membentuk huruf L. Lengkap dengan meja kursi juga camilan. Di depan tertera laptop juga proyektor. Tak lupa meja kursi untuk orator. Satu per satu kami bahas. Semuanya yang disampaikan tak ada yang salah. Cenderung normatif, jika tidak bisa dibilang miskin inovasi. Cenderung datar, kelihatan tak terarah. Mungkin karena memang tidak mempersiapkan bahan. Ketika sesi masukan digelar, tak sedikit yang mengacungkan jari. Sepertinya semua lebih tertarik mencicipi camilan. Satu dua akhirnya menimpali. Memberi input juga revisi. 

Saya yang sedari tadi menyimak akhirnya menerima giliran. Sedikit agak keras saya mulai mempertanyakan satu per satu yang tadi disampaikan. Memang agak detail. Karena saya merasa ada yang janggal. Bisa jadi agak tinggi nadanya. Semua saya lakukan demi kebaikan bersama. Terlebih ini menyangkut masa depan anak orang. Tentu kita bertanggung jawab penuh. Terlebih saya juga meyakini education is not charity. Dan sorry to say, jawaban yang saya dapat memang tidak menjawab substansi pertanyaan. Lagi-lagi, sekali lagi jawabannya mirip jawaban pejabat yang tidak pernah turun ke bawah. 

Jika masukan modelnya harus bermanis-manis. Iya betul saran harus disampaikan secara sopan, tapi kalau jawabannya muter disitu-situ aja siapa yang gak mangkel? 

Ya Wis. 

Hmmm

Sebuah diskusi panjang. Kopi mulai terseruput. Kemebulnya masih nampak. Tapi usai belum berkesudahan. Teh tawar juga mulai di putar. Dahaga sore minta bagian. Di seberang berganti sautan. Saling menyela, mencari jawaban. Tak jua saling paham, akhirnya diam jadi renungan. Sisi sana melempar gelegar, mengganggap sisi lain tak punya kerjaan. Saling saut tak terhindarkan. Bah sampai kapan diskusi panjang tanpa jawaban? 

Pastinya sering kita jumpai ilustrasi di atas. Orang lain menilai kita tiada kerjaan. Dianggapnya kita makan gaji buta. Padahal itu semua tanpa penelitian. Coba dilihat lebih seksama, apa yang dikerjakan rekan kita. Jika perlu cobalah sehari barang dua hari menjadi orang lain. Menyelami pekerjaannya, menyelami rutinitasnya, juga menyelami segala tetek bengeknya. Jangan sekali-kali menilai orang lain kalau memang tidak paham. Karena orang lain juga akan melakukan hal yang sama ke kita. 

Kerjakan saja bagianmu. Karena pantatku sudah penat. Hmmm

Monday, November 13, 2017

6th Wednesary

Bila saatnya tiba,
Aku dan Kamu menjadi Kita,
Semoga tak hanya Kita demi Kita,
Tapi juga Kita demi mereka.
Bila saatnya tiba,
Aku dan Kamu menjadi Kita,
Semoga semuanya ikut berbahagia,
Sebagaimana kita akan mengusahakannya.
Bila saatnya tiba,
Aku dan Kamu menjadi Kita,
Semoga adalah jalinan karma,
Untuk terus saling topang dalam Dharma. 
(Sumber: undangan pernikahan, puisi by Ivana Chang )

Friday, April 7, 2017

Terserah

Terserah. Kata ini sering saya jumpai. Mau makan apa? Terserah. Mau minum apa? Terserah.  Mau lewat mana? Terserah. Mau pilih yang mana? Terserah. Terserah dalam KBBI online salah satu padanannya adalah masa bodoh. Dan di sebuah pagi, kata ini juga kembali saya temui. 

Pagi itu, saya dihampiri seorang remaja. Sebut saja namanya Andi. Perawakannya agak tinggi besar. Tergopoh dia menenteng tas ransel untuk masuk ke ruangan. Layaknya mahasiswa yang akan segera habis masa studinya, ia mengutarakan niat untuk magang di kantor kami. Dia studi di salah satu kampus penyiaran di kawasan Daan Mogot. 

Tiba di ruangan, saya coba menyelami apa yang menjadi kebutuhannya, demikian juga saya menyampaikan kebutuhan yang kami inginkan. 

Saya (S): Apa yang kamu inginkan di magang ini?
Andi (A): apa ya Pak?
S: Kamu mau belajar apa?
A: Gak tahu Pak
S: Kamu mau di bagian apa?
A: Apa saja. 
S: Apa yang kamu ingin dapatkan dari magang ini?
A: Apa ya Pak? (jawabnya kebingungan)
S: Kamu kan belajar tentang penyiaran, lha kamu sendiri apa  yang ingin dipelajari? 
A: Saya ingin jadi kameraman Pak
S: Kalau itu kebijakan kami tidak bisa, karena yang pegang kamera harus karyawan. Karena kalau anak magang terlalu riskan, terlebih alatnya kan mahal. Nanti kalau rusak  bagaimana pertanggunjawabannya?
A: Oh gitu ya Pak
S: Iya
A: Kalau jadi switcherman bisa Pak?
S: Tidak bisa juga untuk anak magang.
A: Jadi apa ya? Saya juga bingung.
S: Oke begini saja, kamu tolong pulang dulu, coba renungkan dulu, sebetulnya tujuan magang kamu apa? Apa cuma sekedar cari nilai? Atau yang lain? Sebab kalau  hanya cari nilai saja, sayang waktunya. 
A: Oh gitu ya Pak
S: Iya, ini email saya (saya menuliskan email di surat pengantar magangnya). Tolong email saya apa yang kamu inginkan selama magang. Saya tunggu sampai besok siang ya.

Besoknya dia email dan segera saya balas untuk keesokan paginya untuk datang lagi. Tapi sampai sekarang tidak kelihatan batang hidungnya. Dalam hati, saya juga ternyata bilang "terserah". Hahahah. 




Sunday, March 26, 2017

Belajar Perubahan

Perubahan. Itu intisari sharing Mas German Mintapraja hari minggu kemarin. Mas German pernah malang melintang di dunia TV luar negeri. CNN dan National Geographic pernah ia disinggahi. Belum lagi pengalaman menjadi kameraman balapan F1. Juga pengalaman naik Airforce1, pesawat kepresidenan AS.

Apakah kamu siap dengan perubahan? Begitu sapanya diawal. Saya tadinya berpikir Mas German akan banyak bicara tentang pengalamannya menjelajah 52 negara dengan kamera. Tetapi dugaan saya salah. Dia justru lebih banyak bicara soal perubahan. Ya Perubahan. Dia mencontohkan kericuhan antara taksi online dengan konvensional, sebetulnya karena perubahan tuntutan jaman. Ricuh karena tidak siap berubah.

Demikian juga dengan perubahan yang terjadi di dunia penyiaran. "Muka saya, muka analog" sambungnya. Ya jaman ketika video masih berbasis tape, mulai Betacam hingga DVCAM pernah ia rasakan. "Tapi saya juga mau belajar digital" lanjutnya. Sebab kalau tidak berubah ya pasti ketinggalan jaman. "Bahkan saya selalu menantang diri sendiri untuk ambil bagian yang tersulit". "Pokoknya bagian-bagian yang paling sulit, saya biasa memaksa diri untuk terima". Kenapa? karena dari situ kita bisa belajar banyak sesuatu yang baru"ujarnya.

Banyak wejangan yang menarik kemarin. Dia juga mengatakan kalau kita harus total menjalani profesi  yang kita pilih. Jika kita belum bisa totalitas, artinya kita masih belum menemukan profesi yang sesuai. Poin ini sangat menarik. Kenapa? Meski saya juga masih belajar untuk bekerja dengan baik, tetapi saya banyak menjumpai teman yang bekerja sekedarnya. Bekerja hanya sesuai dengan porsi pekerjaannya. Atau juga ada yang memandang pekerjaaannya sebagai sebuah persinggahan status saja. Karena meski badannya ada di kantor, namun pikirannya berkelana kemana-mana. Atau malah lebih suka berselancar ke toko online daripada mengurus pekerjaan utamanya. Tak heran kualitas pekerjaannya sama sekali jauh dari kata memuaskan. 


What's next.
Hal lain yang kemarin disampaikan juga soal waktu. Seperti kurva, semuanya pasti ada waktunya berakhir. Termasuk juga karier dan jabatan kita. Untuk itu harus bersiap berubah, Seperti kurva, ketika yang di atas, suatu hari pasti juga akan turun. Tugas kita semua untuk memastikan proses turunnya ini tidak terjun bebas. Kita memang harus turun, tapi turunlah seperti burung. Karena bersayap, burung ketika turun ke bawah, bisa naik lagi. Bahkan lompatannya bisa melebihi capaian sebelumnya. Tak heran, Mas German saat ini sedang menyelesaikan pendidikan S3 di Malaysia. "Saya ingin berubah menjadi profesional ke akademisi, karena saya juga ingin berubah". Berubah atau diubah, Dua pilihan yang bisa kita ambil. Kalau tidak mau berubah, orang lainlah yang akan mengubah kita. 

Meski singkat, Mas German banyak memberi wejangan seperti orang tua sendiri. Terima kasih Mas. 

Sunday, January 22, 2017

Istirahatlah kata-kata

Saya tidak kenal Wiji Widodo alias Wiji Thukul. Terlebih saya juga berada di generasi perlintasan. Kenapa saya sebut perlintasan, karena waktu gerakan 98, saya masih kelas 3 SMA. Saya juga tidak paham kenapa ketika melewati kampus Trisakti suatu siang banyak tentara menenteng senjata. Yang saya cuma pahami, sewa hotel yang sedianya digunakan untuk pelepasan kelulusan batal sebatal-batalnya. Penerimaan ijasah juga sendu. Banyak teman-teman yang tidak berani ke sekolah untuk ambil ijasah. Banyak juga teman yang mencari tempat yang lebih aman. Beberapa ada saya dengar sudah pindah ke negeri orang. Dan pada akhirnya peristiwa 98 juga membuat saya "menyingkir" ke Semarang. Dan di Semarang saya cuma merasakan demo sisaan. Karena demonya sudah tidak sebesar ketika 98. Jaman itu jadi mahasiswa kalau tidak demo, rasanya ada yang kurang. Meski demo sisaan, saya ikut merasakan bersama kawan-kawan  yang lain. Lambat laun, diskusi dan literasi soal apa yang terjadi di negeri ini mulai saya pahami. Dari situ saya sedikit terpapar puisi Wiji Thukul. "Hanya ada satu kata: "Lawan"! Jadi inspirasi jargon demo  yang sangat kuat ketika itu.  Saya juga tidak pernah melihat langsung wujud Wiji Thukul. Saya  cuma mendengar cerita dari kawan dan melihat dari bacaan kisahnya. Dan kemarin saya disuguhi wujud lain Thukul dalam bentuk film. Film yang banyak mengisahkan pelarian panjangnya di Pontianak. Dari film yang penuh interpretasi ini kita disuguhi kisah manusiawai yang begitu mendalam. Bagaimana sebuah keluarga bertahan ditengah pengawasan ketat aparat yang ketika itu begitu menakutkan. Bagaimana seorang istri cemas memendam rindu tapi tak tahu harus berbuat apa. Seperti tersaji dalam dialog "Saya senang kamu pulang tapi juga sedih kamu pulang". Dialog yang sangat menyentuh. Belum lagi siulan "Darah Juang" Sipon yang begitu menyayat.  Meski saya tidak kenal Thukul, tapi saya meyakini apa yang dilakukannya sangat berjasa terhadap kebebasan yang sekarang kita hirup. Demokrasi, kebebasan berpendapat, berserikat, berkumpul adalah hasil perjuangan Thukul dkk. Thukul bagi saya adalah sekeping mozaik dari sekian banyak keping mozaik lain yang menyebabkan kita bisa seperti sekarang ini. Semoga suatu hari Thukul bisa segera ditemukan. Dan jikapun Thukul sudah tiada, semoga bisa beristirahat dengan tenang, setenang istrihat kata-katanya.    Tabik