Tuesday, May 3, 2011

Perjalanan nan Menenangkan.....

Minggu lalu, kami melakukan perjalanan ke sebuah desa di perbatasan Bogor dan Sukabumi. Dari awal, hanya sepotong gambaran yang tertangkap mengenai desa ini. "Pokoknya gak jauh dari SPN Lido Mas" beber Marina, reporter kami. Kami berangkat berlima, termasuk driver.

Sudah agak sore, kami berangkat dari Jakarta. Beberapa urusan masih harus diselesaikan. So far perjalanan lancar. Jalan tol arah Bogor tidak terlalu padat. Begitu keluar tol, kami sepakat untuk lewat Batu Tulis, lanjut ke arah Caringin, karena tiap weekend jalan Ciawi arah Sukabumi selalu macet parah. Di pengkolan jalan menanjak selepas Batu Tulis, kami sepakat isi perut. Pecel ayam kami pilih. Aku memilih tahu & tempe saja, karena lagi mau vege. Yang lain, ada yang pesen pecel ayam & pecel lele.

Selepas perut terisi, kami lanjutkan perjalanan. Jalan arah Caringin memang kecil dan berlika-liku. Beberapa motor menyalip kami dengan suara yang memekakkan telinga. "Namanya juga yang punya kampung" gerutu Robert, kawan kami. "Iya, mereka emang gak tahu aturan" sambung Kasirun, driver kami.

Tak terasa matahari ternyata sudah mulai hilang. Berganti nyala lampu disana-sini. Sudah hampir 3 jam kami masih belum juga sampai di Caringin. "Udah tanya orang aja" sergahku. Marina, segera membuka pintu mobil menghampiri ibu-ibu yang menggendong anaknya. Ibu-ibu ini masih muda. Mungkin seumuran dengan kami. "Wah mereka masih mudah gitu, tapi udah gendong anak"ujar Marina ketika mobil tak lama beranjak. "Katanya sih lurus aja, nanti kita tanya orang lagi deh" lanjut Marina. Lama kami berjalan. Tapi ujung jalan raya Ciawi - Sukabumi tak jua tampak. Sekali lagi mobil ditepikan untuk bertanya lagi. "Masih terus aja Neng, kalau ke Caringin malah harus balik tuh, udah kejauhan" ujar bapak yang kita tanya. "Wah kita mau lanjut, apa puter balik nih?" kata Kasirun gusar. "Udah lanjut aja, kalau balik bakal lama lagi" kataku kesal. Mobil dilajukan lagi. Hari benar-benar sudah gelap, ketika kami akhirnya menjumpai jalan raya Ciawi - Sukabumi.

Kami mampir indomaret untuk membeli beberapa perlengkapan. Sambil menunggu Robert dan Marina belanja, kita akhirnya bertanya sekali lagi kepada tukang ojek. "Bang apa tahu arah ke Pasir Buncir? ujarku. "Iya, itu dari SPN Lido, masuk aja" ujar tukang ojek. "Bang, mau gak anterin kita" timpal Marina. "Berapa kira-kira?". Tukang ojek ini bilang "teserah deh mau kasih berapa". "Ya udah 20 ribu ya" tawar Marina. Tukang ojek akhirnya kami buntuti. Benar saja, begitu sampai SPN Lido, kami lanjutkan ke jalan kecil. SPN Lido adalah Sekolah Polisi Negara. Sekolah buat polisi. Bangunannya terlihat luas, meski gelap. Jalan kecil kami terus telusuri mengikuti ojek didepan kami. "Duh ini kok belum sampai juga" batinku gusar. "Mar, ini beneran tempatnya?" tanyaku. "Aku juga gak tahu Mas, mbak Sita & Putri juga gak bisa dihubungi" jawab Marina. "Wah bisa kacau nih". Tak terhitung jalan berkelok sudah kami lalui, tapi tempat tujuan belum jua terlihat. Hingga akhirnya tukan ojek berhenti di sebelah mesjid desa. "Wah sudah sampai kita" ujarku girang. "Tapi dimana panitia?" tanyaku. "Kok sepi sekali". "Mau ke Ciwaluh ya Neng?" tanya seorang ibu penjaga warung. "Arahnya masih ke atas, tadi siang anak-anak banyak yang ke arah sana" sambungnya. "Hah, berarti kita masih harus jalan kaki ke atas?". "Bagaimana dengan barang-barang kita yang begitu banyak?". Kino flo, kamera, tas, souvenir, dll. Wah, tak terbayang sulitnya perjalanan kali ini. "Ya udah naik ojek aja Neng" saran tukang ojek yang sedari tadi menemani perjalanan kami. "Oh ya, cerdas juga idenya". Tapi kita butuh setidaknya 4 ojek. Itu artinya masih kurang 3 motor lagi. "Nanti saya panggil teman-teman saya" ujar tukang ojek menenangkan. Barang-barang segera kami turunkan dari mobil. Satu per satu, membawa barang ke motor. Aku sendiri kebagian membawa kino flo dan juga tiang besinya yang lumayan berat. Jalan berkelok dan sempit tersaji. Kino dan tiangnya, harus diangkat. Sekitar 20 menit kami terombang-ambing di atas kuda besi. Ditambah jalan tak mulus, membuat tempe dan tahu yang aku makan serasa ingin keluar. Sepanjang jalan gemericik air sungai terdengar. Sejuk sekali rasanya. Udara segar segera aku hirup dalam-dalam. Dan benar saja, ternyata desa yang kami tuju adalah desa terakhir. Namanya Ciwaluh. Mungkin dulu banyak Waluhnya.

Pagi-pagi, segera aku picingkan mata melihat sekitar. Hamparan sawah hijau terbentang tak jauh dari rumah yang kami tinggali. Di ujungnya terlihat sungai besar melintas. Katanya, ini adalah hulu sungai Cisadane. Airnya bening mengalir mengundang hati ini untuk segera berbasuh. Sebagian warganya bertani. Ada juga yang menjadi buruh di pabrik. "Kalau disini warganya banyak yang miskin, tapi bahagia" ujar salah seorang ibu berkerudung. Seketika aku melihat ke dalam diri. "Orang kota memang mungkin memiliki banyak uang, tapi apakah mereka semua bahagia" tanyaku dalam hati.

2,5 hari kami habiskan untuk bekerja sambil liburan. Kami juga sempat melihat curug Ciwangkeni, tak jauh dari desa ini. Hamparan sawah menguning juga terlihat disana-sini. Suasana desa yang sejuk mengingatkan diriku ketika kecil. Ketika di desa. 2,5 hari ini pula, kami larut belajar tentang pentingnya biomonitoring dan juga herpetofauna, yang dilakukan malam hari.

Frekuensi otak rasanya benar-benar tenang sekali. Melihat hamparan sawah menguning, melihat ayam berkokok, melihat kodok melompat. Tak harus bergegas, tak harus berburu waktu, tak harus dikejar deadline! Benar-benar tenang dan damai. Duh, rasanya tak mau kembali ke kota. Rasanya tak mau melepaskan segala ketenangan ini. Otak ini terasa tenang. Membentuk garis lurus seperti tanda kematian kardiografi. Berbeda sekali ketika sudah di kota. Otak ini pasti kembali lagi menjadi kardiografi yang menyerupai seismograf yang kejang-kejang mencatat gunung meletus. Lain hari, otak ini memang harus diistirahatkan ke desa lagi!