Friday, February 25, 2011

Srikandi dari Lasem


Rambutnya mulai memutih. Tanda ketuaannya juga dipertegas guratan wajah. Tapi semuanya tak menghalangi langkah sandal jepit usangnya memeriksa pekerjaan ibu-ibu yang memiliki usia diatasnya. Sesekali dia berhenti. Membetulkan jika ada yang keliru, tanpa harus menggurui. “Sing niki warnane dibeneri njeh Bu” katanya kepada Ibu tua di sebelah sana. Itulah Ramini. Bu Ram, biasa dia disapa. Tidak lulus SD. Namun setiap hari memimpin sebuah kelompok usaha bersama pembatik yang diberi nama KUB Srikandi Jeruk.


Bengkel batik yang dibuatnya pun terbilang sederhana. Tepat di depan rumahnya, dia sulap sebidang lahan kosong menjadi tempatnya berkarya. Dibantu Maryati, yang jago membuat motif, KUB ini menghidupi 12 orang pengrajin.


Desa Jeruk, tak jauh dari Rembang, sebuah kota kecil di Pantura. Tanahnya kurang subur. Sawah pun hanya tadah hujan. Mayoritas penduduknya, terutama perempuan, memiliki keahlian membatik. Apalagi dulu ketika Batik Lasem sedang berjaya. Menjadi sopir adalah pekerjaan yang paling diidamkan bagi kaum laki-laki desa Jeruk.


Hampir semua kaum perempuannya dulu adalah pembatik. Mereka biasanya bekerja di kota Lasem. Biasa harus ditempuh 30 menit dengan sepeda setiap hari. Pengusaha batik Lasem kebanyakan orang keturunan Tionghoa. Namun, seiring hancurnya ekonomi nasional karena krisis ekonomi, hancur pula penghidupan perempuan desa Jeruk. Menganggur adalah pilihan yang paling sulit. Namun tak ada jalan lain. Termasuk Ramini.

Selama 4 tahun lebih ia berjuang mengatasi pengangguran yang dialaminya. Mau menghidupkan batik kembali terbentuk permodalan. Sementara hanya membatiklah satu-satunya keahlian yang dimiliki. Hingga datang tawaran dari Institut Pluralism Indonesia (IPI). “Tak mudah meyakinkan Ibu Ramini” beber William Kwan, direktur IPI. “Butuh waktu 4 bulan, saya meyakinkan”. “Padahal menemukan Ibu Ramini juga bukan perkara mudah, eh begitu sudah ketemu, belum mau juga” lanjutnya.

Setelah berpikir panjang, Ramini akhirnya menerima tawaran Pak Willy, begitu ia biasa menyebut William Kwan. Ia kumpulkan kembali teman-temannya. “Ini semua dari nol Mas” cerita Ramini. Meski sudah memiliki dasar membatik, namun IPI mengirim mereka ke sentra pembatikan seperti Pekalongan, Solo dan Jogja. Mereka tidak hanya diminta untuk belajar membatik, tetapi juga manajemen.


Bentuk kelompok usaha bersama mereka pilih atas keinginan mereka sendiri. Mereka sadar betapa sulitnya jika bergantung dengan pengusaha. Pengalaman krisis moneter yang mengakibatkan mereka menganggur menjadi pelajaran berharga. Karena berbentuk KUB, segala keputusan dirundingkan bersama. Mulai dari membeli bahan, motif, hingga harga jual. Mereka sendirilah yang memutuskan, mau dihargai berapa buah karya mereka. Mereka sendiri pula yang mencari target pemasaran. Prinsipnya semua dilakukan atas nama kebersamaan. Mereka pula yang menentukan upah mereka setiap hari, yakni 18,000. Lebih murah sedikit yang dulu mereka terima ketika masih menjadi buruh, yakni 20,000. Meski lebih sedikit lebih murah, namun melalui KUB mereka tidak lagi harus jauh menggenjot sepeda setiap hari. Sebab lokasi bengkel batik dengan rumah mereka terbilang dekat. Belum lagi, ketergantungan pengusaha tak lagi mereka rasakan. Sebab merekalah pengusaha atas diri mereka sendiri.


Keberhasilan Ramini dkk di KUB Srikandi Jeruk ini menepis anggapan bahwa buruh batik selamanya akan menjadi buruh. Padahal selama diberi kesempatan, mereka bisa menjadi lebih sejahtera. Mereka pula bisa menjadi srikandi bagi diri mereka sendiri.