Tuesday, May 27, 2008

Berdoa Saja Tak Cukup

Minggu kemarin, datang dua orang Bhikkhu dari Burma. Ven. Awbhasa (kiri) dan Ven. Ashin Nayaka (kanan). Kedatangan mereka dalam rangka mengumpulkan dukungan internasional untuk perubahan di Burma. Mereka sempat bertemu dengan Gus Dur, Bhikkhu Pannyavaro, dll. Travelling ini tidak hanya dilakukan di Indonesia, tapi juga beberapa belahan dunia lainnya. Disela-sela kepadatan jadwal mereka, kami berhasil berbincang di lobi hotel Millenium.

Kami menanyakan beberapa hal, terutama kondisi terakhir di Burma. Dengan sangat lugas Ven. Ashin Nayaka menjelaskan kondisi terakhir Burma pasca hantaman badai Nargis. Banyak warga yang menderita. Tapi junta malah menolak (meski akhirnya menerima dengan syarat) bantuan internasional. Jika kita melihat junta membagikan makanan, itu sebenarnya mereka hanya membagikan di lingkungan terdekat saja. Sementara korban masih banyak yang belum menerima bantuan. Ven. Ashin sendiri sebenarnya telah lama meninggalkan Burma dan menetap di New York, AS. Sehari-hari beliau mengajar di beberapa universitas. Namun melihat penderitaan rakyat Burma yang makin berat, beliau bersama teman-temannya keliling dunia untuk meminta bantuan internasional menekan Burma. Sementara Ven. Awbhasa sendiri merupakan salah satu bhikkhu yang melakukan unjuk rasa september silam. Namun karena persoalan keamanan, akhirnya mengasingkan diri ke Sri Lanka. Dan hingga kini tidak bisa berkomunikasi dengan sanak keluarga & teman-teman di Burma.

Sama dengan di Indonesia, mereka berdua mengatakan bahwa bhikkhu di Burma berada di posisi tinggi dalam sosial kemasyarakatan. Artinya mereka adalah contoh panutan baik bagi rakyat maupun penguasa. Namun tingkah polah junta yang makin membuat menderita rakyat, akhirnya mengundang para bhikkhu melakukan beberapa perlawanan. Sebetulnya, para bhikkhu ini sudah menyampaikan "protes" kepada junta, tapi ternyata tak di gubris. "Demo-demo kecil sudah sering kami gelar" ujar Ven. Ashin. "Hingga yang terbesar september tahun silam". Itu adalah puncak akumulasi kekesalan bhikkhu terhadap junta. Sebelumnya, sebagai protes, para bhikkhu memboikot setiap upacara seremoni junta yang menghadirkan para bhikkhu. "Demonstrasi besar kemarin adalah bukti bahwa para bhikkhu peduli dengan penderitaan rakyat". "Kami tak mau hanya berteori mengajarkan kebaikan di vihara-vihara". "Membaca doa itu penting tapi tidak cukup" sambung Ven. Ashin. Harus ada tindakan konkret terhadap apa yang terjadi di Burma. Apalagi, di tengah eskalasi politik yang makin akut akibat junta militer, Burma juga tengah di hantam badai Nargis. Ven Ashin menambahkan, junta adalah seorang buddhis, tapi apa yang dilakukannya bukanlah cerminan seorang buddhis.

Buddha mengajarkan bahwa hidup adalah penderitaan. Dan sudah merupakan KEWAJIBAN para bhikkhu untuk membantu melenyapkan penderitaan itu. Tidak hanya berdoa saja tentunya. Karena berdoa saja ternyata tidak cukup. Justru yang menjadi persoalan adalah jika para bhikkhu yang merupakan penjaga ajaran Buddha, tidak membantu melenyapkan penderitaan itu. "Jadi jika ada bhikkhu yang membiarkan (tanpa melakukan apapun) penderitaan rakyatnya, itu yang patut dipertanyakan." "Saya bukan seorang politisi, saya seorang bhikkhu, tapi saya memiliki kewajiban untuk turut serta melenyapkan penderitaan rakyat saya" tegasnya. Bhikkhu Burma yang telah lama menetap di New York ini juga mengatakan bahwa penderitaan yang terjadi di Burma itu bukan alamiah, tapi buatan. Dibuat secara sistematis oleh junta militer. Sangat sulit untuk merubah mindset junta saat ini. Yang bisa dilakukan adalah terus menerus menggalang dukungan dunia internasional untuk bersama menekan junta hingga terjungkal. Dan satu lagi: berdoa saja tidak cukup!

Monday, May 26, 2008

Andong Pak Kamto

Siang itu aku dkk bermaksud ke Borobudur dari Mendut. Karena terik, kami putuskan untuk naik angkutan umum. Karena menunggu bus agak lama, lalu terlintas mengapa tidak naik andong di ujung sana? Segera setelah sepakat soal harga, kami berdelapan pun terguncang dalam alunan andong. Sensasi pasti kami rasakan. Maklum tidak setiap hari kami menaiki angkutan tradisional ini. Sambil menikmati suasana, aku ngobrol ngalor ngidul dengan kusirnya. Namanya Pak Kamto. Sebut saja begitu. Usianya 70an. Ini terbukti dengan kerutan penanda tua disana-sini. Dengan topi khas kebesarannya, Pak Kamto beberapa kali melecut kudanya agak berjalan lebih cepat. "Namanya Parjiem Mas, kan cewek," kelakarnya sembari mengayunkan pecutnya. Pak Kamto lalu cerita. Dulu narik andong sangat menguntungkan. Karena memang belum ada saingan. "Wah Mas, kalau sekarang susah. Ojek udah dimana-mana". Dan mereka pasti lebih cepat daripada naik Andong. "Tapi kenapa Bapak masih mau narik Andong?"tanyaku. "Yah daripada kudanya nganggur Mas" ujarnya mantap. Lagian narik andong kan disela-sela kerjaan utama. Samben (nyambi). "Lha kerjaan utamanya apa Pak?" tanyaku lagi. "Kerjaan utama ya tetap tani Mas"terangnya mantap. "Ya nanam cabe, sayur, dll." "Jadi kalau bosen nanam, narik Parjiem. Ya begitulah keseharian saya." ujarnya.
Kerja keras dan semangat meski sudah berumur itulah cerminan Pak Kamto. Dan satu lagi: Tanpa mengeluh. Dia tetap pacu terus kuda betinanya. Tanpa pernah protes terhadap kondisi, tanpa protes kepada pemerintah, tanpa protes kepada ojek pesaingnya.

Museum Affandi

Museum Affandi berada di Jalan Laksda Adi Sucipto 167, Yogyakarta. Jalan ini juga terkenal dengan sebutan Jalan Solo karena menghubungkan dua kota besar, yaitu Yogyakarta dan Solo. Museum yang terletak di sebelah barat Sungai Gajah Wong ini memiliki area seluas 3500 are yang terdiri dari museum itu sendiri dan bangunan yang dulunya merupakan rumah Affandi. Bentuk permukaan tanah yang tidak lazim memberikan inspirasi kepada Affandi untuk merancang bangunan yang unik dan lingkungan yang mengitarinya. Hasilnya, sebuah lingkungan terpadu yang sangat unik hasil dari rancangan Affandi sendiri.

Sebagai bagian dari komplek museum, rumah milik Affandi memiliki atap berbentuk daun pisang, sama seperti galeri-galeri sebelumnya. Rumah yang memiliki dua lantai ini sebagian besar terbuat dari kayu. Lantai atas merupakan kamar pribadi Affandi. Sebagai tambahan, lantai bawah digunakan sebagai tempat bersantai dan juga terdapat garasi. Menikmati suasana alami dari lantai bawah ini merupakan kenyamanan tersendiri. Suasana santai yang berbeda dengan lingkungan artistik yang penuh dengan sentuhan seni.

Jejak kerja artistik sepanjang hayat Affandi dengan lugas ditampilkan disini. Tak lupa, goresan kanvas, Kartika, anaknya juga turut dipajang. Lelah keliling kita bisa duduk santai di kursi ban bekas sambil nyeruput minuman dingin. Suara gemericik air sungai sebelah juga makin menambah suasana damai siang itu.

Satu yang pasti: Dari semua itu Affandi begitu sayang dengan istrinya Maryati. Beberapa lukisannya mengambil subyek istrinya ini. Sebagai bentuk "sayang", pemerintah Jogja juga mengabadikan nama jalan Gejayan menjadi Jl. Affandi.

(di kutip dari beberapa sumber)

Monday, May 12, 2008

10th silam.............

Sebuah hari di bulan Mei. Ketika itu aku masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Tepatnya kelas 3. Hari-hari kami lalui dengan belajar dan belajar. Maklum saja, setelah ujian sekolah terlewati beberapa hari, saya masih harus menggeluti soal-soal demi bisa masuk ke PTN yang saya idamkan. Saya sangat beruntung, karena diberikan kesempatan untuk mendapat pelajaran tambahan berkat kebaikan dari seorang Guru saya. Dengan bantuan ini, saya belajar pematangan materi di sebuah SMA terbaik di Jakarta Barat. Hampir tiap hari saya ke SMA tersebut dengan naik bis dari sekolah saya. Meski lelah, namun semua harus dijalani demi sebuah cita-cita.

Hari itu, seperti biasa sehabis bubar sekolah, saya langsung menuju SMA 78 di bilangan Kemanggisan. Sepanjang perjalanan semua terasa biasa. Kemacetan di kawasan Roxy yang kala itu belum ada jembatan fly overnya, membumbung di depan mata. Setelah oper ke metromini 91, saya berusaha menenangkan nafas. Jalanan masih seperti biasa. Orang beraktivitas seperti biasa. Rasanya memang tak ada yang istimewa hari itu. Belajar tambahan pun berjalan seperti biasa. Soal-soal dibagikan, lalu kami kerjakan. Habis itu pembahasan. Dari situ terlihat meningkat tidaknya prestasi kita dari hari ke hari. Setelah 2 jam-an berkutat di sekolah yang megah itu, akhirnya selesai juga belajar kala itu.

Pulang dengan bis yang sama. Metromini 91 warna orange. Sengaja aku duduk di dekat jendela agar mendapat angin segar. Agak ngantuk sebenarnya. Tapi aku paksakan melihat soal-soal yang tadi aku kerjakan. Ternyata banyak salah karena kecerobohanku yang tidak teliti menjawab soal.
Bis yang aku tumpangi memang tak sesak. Maklum masih agak siang. Belum banyak orang pulang kantor. Menjelang di kawasan Tanjung Duren, bis ternyata tak jalan-jalan. Macet dimana-mana. Hampir semua penumpang menggerutu. Samar-samar terdengar, kenek bis meminta kami untuk turun karena bis sama sekali tidak bisa bergerak. Akhirnya setengah menanggung kantuk, aku paksakan turun dan melangkah, berharap diujung sana masih ada bis yang masih jalan. Ya. Begitu jalan, ternyata memang kemacetan parah terjadi. Kendaraan sama sekali tidak jalan. Saya terus berjalan ke arah Universitas Tarumanegara. Disini kondisinya malah makin parah. Selain kendaraan tidak ada sama sekali, beberapa titik telah terjadi pembakaran.
Aku tak ingat jelas apa yang terjadi. Aku menuju jembatan penyeberangan arah kampus I Untar. Dari atas jembatan, aku lihat barisan panjang pasukan loreng menghadap ke arah Grogol. Entah pasukan dari mana. Yang pasti jumlahnya sangat banyak. Juga membawa tameng dan senjata. Aku paksakan berjalan terus ke arah Grogol. Melewati kampus Tri Sakti, aku melihat beberapa mahasiswa teriak-teriak dari dalam kampus. Di bawah jembatan layang Grogol, sebuah truk sampah (kalau tidak salah) telah dijilati api. Sepanjang jalan depan Tri Sakti tumpah ruah oleh mahasiswa. Di seberangnya polisi mulai memainkan gas air mata. Aku sempat terkena sedikit. Agak perih. Tapi karena tak terlalu mengganggu, aku lanjutkan langkah kaki.

Lelah juga kaki melangkah. Di depan terminal Grogol, ternyata tak jua angkot berada. Semua mata terlihat terpana tak percaya apa yang terjadi. Sementara pompa bensin dekat terminal Grogol pun sudah dibakar massa. Massa mulai banyak bergerak dari arah Kyiai Tapa ke kampus Tri Sakti.
Terus saja aku melangkah. Di persimpangan Roxy, akhirnya aku menemukan bus kuning. Ya bus sekolah jurusan Grogol-P. Jayakarta yang berbelok arah. Di dalam bus sudah penuh sesak. Semua orang ingin segera mungkin sampai di rumah.

Sampai di asrama (saya tinggal di asrama bersama teman-teman), segera kami monitor radio. Dilaporkan bahwa ternyata sudah terjadi proses pembakaran didepan Roxy, lalu meluas ke Gajah Mada, dan itu artinya sudah tak terlalu jauh dengan tempat kami tinggal. Kami semua tidak boleh keluar rumah. Beberapa kali telpon asrama berdering. Intinya sama-sama menanyakan keadaan kami seasrama.
Stok makan kami cek. Beruntung stok makanan di rumah masih tersedia. Telpon masih berdering. Hingga akhirnya, salah seorang pengurus asrama meminta salah seorang dari kami untuk melihat kondisi rumah familinya di kawasan Kota. Akhirnya aku memberanikan diri keluar rumah. Aku berjalan keluar rumah. Ternyata benar berita radio. Bangunan hampir di sepanjang jl Gajah Mada & Hayam Wuruk banyak yang dibakar dan dijarah. Glodok pun tak luput dari pembakaran & penjarahan. Perasaan was-was tentu ada, namun tetap aku beranikan diri melangkah ke Kota. Ada yang bawa gerobak untuk mengangkut kulkas dan TV super besar. Ada anak kecil yang bawa gitar listrik. Sesekali orang-orang yang melihat ditawarinya. Orang sebelahku, suatu kali dia tanya: Mas, kok gak ikut ambil barang-barang disana?" tunjuknya ke arah Harco. "Enggak mas, cuma mau lihat sekitar aja kok"jawabku seketika. Banyak orang lalu lalang dengan berbagai bawaan. Yang pasti banyak barang elektronik. Makin sore makin banyak saja orang yang menjarah.

Agak sore aku langkahkan kaki pulang. Di sana sini masih banyak pembakaran dan penjarahan. Juga pelemparan kaca-kaca gedung. Di rumah, kami sama-sama memantau berita via radio. Sebab setiap saat radio meng-update beritanya. Pembakaran yang pasti makin meluas. Sentra perdagangan menjadi prioritas. Entah apa sebabnya. Kala itu yang aku ingat cuma satu: Manusia dan binatang tak ada bedanya. Semua menjadi anarkis tak terkendali. Entah dimana aparat kita.
Hari-hari berikutnya hanya dilengkapi dengan ketidakpercayaan atas peristiwa ini. Berita terakhir, terjadi penembakan di kampus Tri Sakti yang tadi siang baru saja aku lewati. Hah??? Gila......
Hari kelabu menjadi historikal tersendiri akhirnya. Pesta perpisahan SMA yang sudah kami siapkan jauh hari pun tak terjadi terlaksana. Proses penerimaan NEM pun di sekolah sepi sekali. Beberapa teman bahkan sudah berangkat ke luar negeri menyelamatkan diri.

Hari-hari berikutnya, lembar koran kita disuguhi berita tentang reformasi & KKN. Dan ternyata sampai sekarang berita tentang ini tak pernah habis dibahas & di kupas. Kala itu, mahasiswa mampu menduduki gedung "rakyat" dan akhirnya memaksa Pak Harto lengser kepabron setelah berkuasa 32 tahun. Demo besar di Jakarta diikuti juga kota-kota lain. Rasanya kala itu, mahasiswa dan rakyat memiliki satu musuh: Soeharto.

Sekarang sudah 10 tahun berlalu. Angin reformasi memang sudah kencang terasa. Pers bebas tumbuh. Orang-orang bebas bersuara tanpa perlu takut diculik & di cekal lagi. Itu sekelumit buah manis reformasi. Tapi juga reformasi masih meninggalkan beberapa PR besar. Kesulitan hidup adalah persoalan mendasar. Dan itu makin diperparah dengan kenaikan BBM bertubi-tubi. Otomatis kehidupan rakyat makin sengsara saja. Mengutip demo mahasiswa di Jogja beberapa waktu lalu: "Naik-naik, BBM naik, tinggi tinggi sekali. Kiri kanan ku lihat banyak rakyat yang sengsara". PR reformasi sekarang adalah bagaimana meningkatkan derajat kehidupan rakyat di tengah neoliberalime dan kapitalisme yang merajalela. Sebab kebanyakan rakyat sekarang memaknai reformasi sebagai REPOT-NASI! alias susah cari makan.

Ganti Rugi Vs Ganti Untung

Hingar bingar rencana kenaikan BBM pemerintah serta merta menyurut kemarahan di berbagai belantara kota. Rakyat marah, mahasiswa demo, sopir mogok, dan serentetan problem sosial lainnya menganga ke permukaan. Harap-harap cemas kini ada di sudut-sudut mata rakyat. Di media tak sedikit dari usaha kecil menengah gulung tikar di tengah hantaman harga yang tak terkejar lagi. Kegelisahan akan hidup esok hari mengemuka. Tapi justru di tengah kegelisahan rakyat terhadap keputusan kenaikan BBM yang ke-3 kalinya ini di era SBY-JK, Wapres malah mengeluarkan pernyataan aneh dan sangat menyesatkan. Menurut Kalla, jika kenaikan harga BBM batal, sama artinya akan membatalkan rencana pemerintah memberikan bantuan langsung tunai kepada orang miskin. "Jadi, setiap ada demonstrasi menyatakan tak setuju (kenaikan harga BBM) sama dengan mengurangi rezeki orang miskin" (Kompas, 8/5 hal 18). Pendapat hampir senada juga ditelurkan Pak BY. BY bilang, jika BBM tidak dinaikkan, itu sama halnya makin memperpanjang jangka waktu pemerintah dalam mensubsidi orang kaya. Menurut Pak BY, selama ini justru yang menikmati subsidi itu orang kaya. Padahal jika mau mencabut subsidi orang kaya kan tidak harus menaikkan BBM. Bisa saja dengan pajak barang mewah yang mahal, atau yang lain. Lhah?
Jika memang pemerintah mau memberikan (syukur-syukur) bisa meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, mengapa harus nunggu kenaikan harga BBM dulu? Bukankan harga-harga kebutuhan sudah jauh hari naik sebelum BBM naik? Artinya pemberian pemerintah itu tak ada manfaatnya sama sekali. Bukankah memang tugas pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya sesuai konstitusi? Lha kok ini mau kasih BLT kalau BBM dinaikkan dulu. Rakyat bukanlah anak kecil yang bisa dibohongi dengan permen gula-gula. Menurut Dita (Kompas, 12/5) artinya rakyat baru berhak dapat sesuatu dari pemerintah setelah pemerintah mengambil sesuatu dari kita. Terima dulu kenaikan ini, baru kemudian bantuan kami kucurkan ke tanganmu. Ini sama artinya pemerintah sejatinya tidak memberikan apa-apa, nol, kosong, hampa.


Jika hal ini yang dipikirkan pemerintah itu artinya ganti rugi bukan ganti untung. Harga-harga makin tak terjangkau rakyat. Sementara BLT yang diterima (yang tak seberapa itu) akan ludes seketika untuk membayar utang di warung sebelah. Belum lagi dalam tulisan Dita (Kompas, 12/5), mengatakan bahwa data dalam departemen sosial bahwa efektivitas bantuan langsung tunai (BLT) hanya sekitar 54,96 persen saja, sementara sekitar 45 persen rumah tangga miskin penerima BLT menyatakan bahwa bantuan ini sama sekali tidak meringankan biaya hidup mereka yang kian berat pascakenaikan harga BBM sebesar 120 persen awal oktober 2005?
Rakyat sebenarnya mau bekerja asal di berdayakan. Persoalan yang dihadapi rakyat sekarang selain harga yang tak lagi terjangkau adalah persoalan pekerjaan. Daya beli yang rendah disertai pendapatan yang tak layak, jelas itu persoalan mendasar rakyat sekarang. Jadi solusinya yang benar bukan diberikan BLT, tapi bukalah kesempatan kerja seluas-luasnya bagi rakyat ini supaya mereka memiliki pendapatan. Alih-alih memberikan kesempatan kerja, pemerintah malah menaikkan BBM industri, yang ini tentu makin mempersulit ruang gerak sektor riil kita. Ujung-ujungnya industri pun kembang kempis menjalankan roda mesinnya.
BLT plus versi pemerintah "akan" dijamin sasarannya. Itu kata pemerintah. Padahal pemerintah sendiri masih simpang siur soal data orang miskin calon penerima BLT ini. Kalau tidak percaya, lihat saja proses pemberian BLT yang lalu. BLT ibarat pil pahit ditengah pahitnya hidup rakyat. Dan ternyata pil pahit ini bukannya menyembuhkan penyakit, tapi malah membuat makin parah penyakit itu sendiri. Ganti rugi memang selalu merugikan!!

Thursday, May 8, 2008

BBM, Bener-Bener Mabok!

Hari-hari belakangan ini, kita semua dikejutkan dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Hitungannya sih katanya “cuma” maksimal 30%. Tak tahulah hitungan-hitungan rumit itu. Bahkan kemarin surat kabar bilang ada 89 opsi untuk menaikkan BBM ini. Gila, banyak banget ya.

Sontak, rencana ini mengundang berbagai reaksi. Mahasiswa di berbagai kota sudah turun ke jalan. Kelangkaan BBM juga terjadi dimana-mana. Yang bikin treyuh adalah penyelundupan BBM ke negara tetangga. Satu kata: Edan! Cuma satu yang pasti bahwa rakyat makin menderita. Begitu harga BBM naik, harga-harga kebutuhan yang lain pasti juga naik. Lha wong walau sekarang masih sekedar ”rencana” saja, harga-harga sudah balapan? Siapa yang paling terpukul dampak kenaikan BBM ini? Siapa lagi kalau bukan rakyat kecil. Selama ini pemerintah berdalih bahwa meroketnya harga minyak dunialah yang menjadi keuangan pemerintah “megap-megap”. Sementara selama ini subsidi pemerintah terhadap BBM hanya dinikmati golongan mampu saja alias salah sasaran. Jika alasan pertama yang dipakai, artinya pemerintah hanya berpikir dollar sementara penghasilan kita masih rupiah. Sampai kapan pun gak bakal kesampaian. Ibarat kata: Penghasilan rupiah kok mau bergaya hidup dollar? Lalu kalau pakai analogi alasan kedua, sebenarnya silang sengkarut subsidi BBM ini sebagai bukti ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola dan melayani rakyatnya. Padahal bangsa kita banyak orang pintar. Tim ekonomi kita juga lulusan luar negeri semua, tapi mengapa hanya bisa menaikkan harga saja?

Mengutip pendapat Kwik Kian Gie, sebenarnya Indonesia bisa terbebas dari krisis BBM dengan satu syarat mau mengelola sendiri tambang minyaknya. Tidak diprivastisasi ke asing. Contoh kasus seperti blok cepu saja. Jika dikelola sendiri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sebenarnya itu bisa. Hanya saja pemerintah tidak ada kemauan ke arah itu. Pemerintah cuma mau terima duit secara cepat tanpa mau berusaha alias bersusah payah. Jadinya tambang-tambang minyak digadaikan ke pihak asing. Bener-bener gak habis mikir. Padahal kita memiliki putra-putra bangsa yang bisa dihandalkan.

Pemerintah mengatakan bahwa sebagai kompensasi dari kenaikan harga ini akan diberikan bantuan langsung tunai plus. Tak jelas apa yang dimaksud plus ini. Jangan-jangan seperti pijat plus lagi. Ha…….:) Lha wong kemarin program BLT saja masih gak karuan, kok mau mengulang kesalahan yang sama. Keledai saja tidak akan terperanjab dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya. Bukankah bantuan langsung itu juga tidak mendidik. Dari ilmu pemberdayaan jelas hal ini tidak tepat. Yang dibutuhkan rakyat sekarang adalah keberdayaan bukan bantuan. Artinya berilah kail, bukan ikannya. Jika rakyat diberikan ikan, yang pasti akan membuat mereka akan makin malas. Selain itu, ada waktunya ikan juga akan habis. Sementara jika diberikan kail, rakyat akan bisa memancing ikan dimana pun mereka mau dan kapan pun mereka butuh. BLT itu cuma sekejap saja sudah habis. Sementara keberdayaan selain bisa memperpanjang nafas hidup rakyat, juga bisa memicu kreativitas rakyat untuk menata hidupnya sendiri. Sebab rakyat sekarang sudah tidak bisa berharap terhadap pemerintah.

Tuesday, May 6, 2008

Perang

Buku sejarah kita selalu disuguhi adegan perang. Dari mulai perang perebutan wilayah raja-raja Jawa, perang Diponegoro, perang dengan Belanda, hingga perang dingin antar Amerika & Soviet kala itu. Di bangku sekolah dulu, dengan mantap, guru saya menceritakan soal perang dingin ini. Waktu itu aku tak tahu jelas mengapa dikatakan perang dingin. Yang ada dipikiranku, mungkin dikatakan demikian karena terjadi di benua yang menganut musim dingin?? He.........Kali.
Yup. Sejarah manusia memang diliputi dengan peperangan yang satu ke peperangan berikutnya. Entah sudah berapa banyak korban jiwa. Salah satu buku yang pernah aku baca malah bilang: Perang itu ada demi sebuah kedamaian. Hah? Bukankah perang hanya menyisakan isak tangis dan darah? Bukankah perang hanya menyisakan mesiu bedil saja? Dimana letak kedamaiannya? Aneh. Tapi itulah yang terjadi. Sampai saat ini pun sebenarnya kita masih saja diliputi berbagai macam bentuk perang. Ada perang mulut, ada perang harga, ada perang urat syaraf, dll. Jenis perang terakhir kita kenal di dunia olahraga. Menjelang pertandingan-pertandingan penting & panas, biasanya sang pelatih saling meluncurkan kata-kata "panas" untuk menjatuhkan mental lawan.
Perang saat ini memang tidak begitu se-frontal seperti dulu. Kecuali perang di Irak yang diprakarsai "polisi" dunia. Alasannya sepele, katanya di Irak sarang teroris, terjadi penimbunan senjata pemusnah massal, dan seabreg alasan yang bener-bener sepele. Padahal alasan utamanya adalah penguasaan minyak. Apalagi sih yang dicari?
Perang juga tengah hingar bingar setiap hari. Ya, perang iklan tarif telpon. Hari ini ada yang berani kasih diskon 1 rupiah per detik. Tapi besokannya sudah ada yang berani pasang tarif 0,0000001 rupiah per detik. Yang mengherankan, pemasangan iklan ini saling berdekatan. Bahkan ada yang dengan sengaja berdampingan tentu dengan iklan yang saling mencela. Bahkan ada iklan yang menggambarkan manusia kawin dengan monyet & kambing, hanya gara-gara kalau taruhan soal tarif telpon ini.
Perang memang tidak bisa dipisahkan dari hidup manusia. Karena memang perang diciptakan manusia. Mengutip candaan seorang guru sejarah SMA, Timur Tengah akan selalu perang, jika disana terjadi perdamaian, justru akan terjadi kiamat? Nah lho??!