Siang itu aku dkk bermaksud ke Borobudur dari Mendut. Karena terik, kami putuskan untuk naik angkutan umum. Karena menunggu bus agak lama, lalu terlintas mengapa tidak naik andong di ujung sana? Segera setelah sepakat soal harga, kami berdelapan pun terguncang dalam alunan andong. Sensasi pasti kami rasakan. Maklum tidak setiap hari kami menaiki angkutan tradisional ini. Sambil menikmati suasana, aku ngobrol ngalor ngidul dengan kusirnya. Namanya Pak Kamto. Sebut saja begitu. Usianya 70an. Ini terbukti dengan kerutan penanda tua disana-sini. Dengan topi khas kebesarannya, Pak Kamto beberapa kali melecut kudanya agak berjalan lebih cepat. "Namanya Parjiem Mas, kan cewek," kelakarnya sembari mengayunkan pecutnya. Pak Kamto lalu cerita. Dulu narik andong sangat menguntungkan. Karena memang belum ada saingan. "Wah Mas, kalau sekarang susah. Ojek udah dimana-mana". Dan mereka pasti lebih cepat daripada naik Andong. "Tapi kenapa Bapak masih mau narik Andong?"tanyaku. "Yah daripada kudanya nganggur Mas" ujarnya mantap. Lagian narik andong kan disela-sela kerjaan utama. Samben (nyambi). "Lha kerjaan utamanya apa Pak?" tanyaku lagi. "Kerjaan utama ya tetap tani Mas"terangnya mantap. "Ya nanam cabe, sayur, dll." "Jadi kalau bosen nanam, narik Parjiem. Ya begitulah keseharian saya." ujarnya.
Kerja keras dan semangat meski sudah berumur itulah cerminan Pak Kamto. Dan satu lagi: Tanpa mengeluh. Dia tetap pacu terus kuda betinanya. Tanpa pernah protes terhadap kondisi, tanpa protes kepada pemerintah, tanpa protes kepada ojek pesaingnya.
No comments:
Post a Comment