Minggu kemarin, datang dua orang Bhikkhu dari Burma. Ven. Awbhasa (kiri) dan Ven. Ashin Nayaka (kanan). Kedatangan mereka dalam rangka mengumpulkan dukungan internasional untuk perubahan di Burma. Mereka sempat bertemu dengan Gus Dur, Bhikkhu Pannyavaro, dll. Travelling ini tidak hanya dilakukan di Indonesia, tapi juga beberapa belahan dunia lainnya. Disela-sela kepadatan jadwal mereka, kami berhasil berbincang di lobi hotel Millenium.
Kami menanyakan beberapa hal, terutama kondisi terakhir di Burma. Dengan sangat lugas Ven. Ashin Nayaka menjelaskan kondisi terakhir Burma pasca hantaman badai Nargis. Banyak warga yang menderita. Tapi junta malah menolak (meski akhirnya menerima dengan syarat) bantuan internasional. Jika kita melihat junta membagikan makanan, itu sebenarnya mereka hanya membagikan di lingkungan terdekat saja. Sementara korban masih banyak yang belum menerima bantuan. Ven. Ashin sendiri sebenarnya telah lama meninggalkan Burma dan menetap di New York, AS. Sehari-hari beliau mengajar di beberapa universitas. Namun melihat penderitaan rakyat Burma yang makin berat, beliau bersama teman-temannya keliling dunia untuk meminta bantuan internasional menekan Burma. Sementara Ven. Awbhasa sendiri merupakan salah satu bhikkhu yang melakukan unjuk rasa september silam. Namun karena persoalan keamanan, akhirnya mengasingkan diri ke Sri Lanka. Dan hingga kini tidak bisa berkomunikasi dengan sanak keluarga & teman-teman di Burma.
Sama dengan di Indonesia, mereka berdua mengatakan bahwa bhikkhu di Burma berada di posisi tinggi dalam sosial kemasyarakatan. Artinya mereka adalah contoh panutan baik bagi rakyat maupun penguasa. Namun tingkah polah junta yang makin membuat menderita rakyat, akhirnya mengundang para bhikkhu melakukan beberapa perlawanan. Sebetulnya, para bhikkhu ini sudah menyampaikan "protes" kepada junta, tapi ternyata tak di gubris. "Demo-demo kecil sudah sering kami gelar" ujar Ven. Ashin. "Hingga yang terbesar september tahun silam". Itu adalah puncak akumulasi kekesalan bhikkhu terhadap junta. Sebelumnya, sebagai protes, para bhikkhu memboikot setiap upacara seremoni junta yang menghadirkan para bhikkhu. "Demonstrasi besar kemarin adalah bukti bahwa para bhikkhu peduli dengan penderitaan rakyat". "Kami tak mau hanya berteori mengajarkan kebaikan di vihara-vihara". "Membaca doa itu penting tapi tidak cukup" sambung Ven. Ashin. Harus ada tindakan konkret terhadap apa yang terjadi di Burma. Apalagi, di tengah eskalasi politik yang makin akut akibat junta militer, Burma juga tengah di hantam badai Nargis. Ven Ashin menambahkan, junta adalah seorang buddhis, tapi apa yang dilakukannya bukanlah cerminan seorang buddhis.
Buddha mengajarkan bahwa hidup adalah penderitaan. Dan sudah merupakan KEWAJIBAN para bhikkhu untuk membantu melenyapkan penderitaan itu. Tidak hanya berdoa saja tentunya. Karena berdoa saja ternyata tidak cukup. Justru yang menjadi persoalan adalah jika para bhikkhu yang merupakan penjaga ajaran Buddha, tidak membantu melenyapkan penderitaan itu. "Jadi jika ada bhikkhu yang membiarkan (tanpa melakukan apapun) penderitaan rakyatnya, itu yang patut dipertanyakan." "Saya bukan seorang politisi, saya seorang bhikkhu, tapi saya memiliki kewajiban untuk turut serta melenyapkan penderitaan rakyat saya" tegasnya. Bhikkhu Burma yang telah lama menetap di New York ini juga mengatakan bahwa penderitaan yang terjadi di Burma itu bukan alamiah, tapi buatan. Dibuat secara sistematis oleh junta militer. Sangat sulit untuk merubah mindset junta saat ini. Yang bisa dilakukan adalah terus menerus menggalang dukungan dunia internasional untuk bersama menekan junta hingga terjungkal. Dan satu lagi: berdoa saja tidak cukup!
No comments:
Post a Comment