Thursday, October 22, 2009

Pesen untuk Pak Beye

Baru saja Pak Beye mengumumkan pembantunya. Sudah bisa ditebak jauh-jauh hari, hampir 60% lebih, pembantu Pak Beye diisi orang-orang yang ada dibelakang dia selama ini. Partai pendukung ketika pemilu lalu dapat porsi jatah. Partai Demokrat otomatis dapat jatah paling banyak, 6 menteri, PKS dikasih 4, PAN 3, PPP dan PKB cuma dikasih dua. Sementara partai oportunis, Golkar, karena tidak ikut berkeringat diberi 3 menteri. Jadi total kursi menteri 20 dari partai. Golkar jadi pendukung di detik terakhir, setelah kalah telak waktu pemilu pilpres kemarin. Memang tidak ada yang abadi di politik. Sekarang lawan, besok sudah jadi kawan, dan sebaliknya.

Dari pengumuman pembantunya ini, Pak Beye banyak menuai kritik. Plin plan soal penentuan menteri kesehatan yang sekarang jadi headline media massa kita salah satu contohnya. Siapa yang di fit & propertest, kok ternyata yang dipilih lain. Belum lagi kentalnya unsur "koncoisme" seperti yang dikatakan pengamat politik, Sukardi Rinakit, memberi bukti bahwa memang Pak Beye ditahun keduanya ini mau jadi safety player. DPR yang 75 % dikuasai partai pendukung jelas menjadi bukti. Kali ini benar-benar tidak ada satupun partai yang mengambil jarak kepada Pak Beye. Pak Beye sekarang tak beda dengan raja diraja, jaman kerajaan dulu. Titahnya menjadi hukum karena tak ada yang berani menyela. Jika sekarang banyak kaum oportunis yang merapat ke Cikeas, semata-mata ingin turut menikmati manisnya kemenangan Pak Beye. Ibarat kata, Pak Beye sekarang seperti kue manis yang dikerubuti banyak semut. Mana ada sih semut yang gak doyan manisan? Tapi ya memang, ujung-ujungnya itu semua hak prerogratif Pak Beye.

Logikanya jika DPR sudah dikuasai, partai pendukung sudah diberi kursi, harusnya tak ada lagi nada-nada protes dari luar istana. Teori trias politica, yang mesti ada keseimbangan dalam pemerintahan tak terpakai di era Pak Beye sekarang. Tak ada pula check and balancing. Semua menjadi sentralistik, terpusat.
Lantas, jika sudah begini, apa yang bisa diharap dari pemerintahan Pak Beye kini? Tapi, biar bagaimana pun, kita harus kasih kesempatan Pak Beye membuktikan janji-janjinya. Jika memang melanggar, ya mari ramai-ramai kita kasih sanksi.






Monday, October 5, 2009

Sebatang Lisong

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka

Matahari terbit
Fajar tiba
Dan aku melihat depalan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan

Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.

…………

Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya,
aku meliat wanita bunting
antri uang pensiun.

Dan di langit,
para teknokrat berkata:

bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun,
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

Gunung-gunung menjulang
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bungan bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadli gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.

……………….

Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.

19 Agustus 1977, ITB Bandung

WS. Rendra in memoriam…
Selamat Jalan pujangga,
Selamat terbang "Burung Merak"...

Monday, September 7, 2009

Introducing Palace Players

All that I say we do?
What is it that you do?
You gotta get back up yourself.
We know so much.
So much we do.

No answer.

In a word,
You were told
That he'd fix your shaky hand.
And what got made
Was broken, too.

Just to field with you
Switching seeds with you,
Tears us apart
I don't want it to.

Some peculiar fix,
The two of us.
I am not yourself.
I didn't want it to.

Every night turned on grey.

What is it, that you do?
You gotta get back up yourself.
We know so much,
So much we do.

No answer.

In a word
You were told,
That he'd fix your shaky hand.
And what got made
Was broken, too.

Just to field with you,
Switching seeds with you
Tears us apart.
I didn't want it to.

Some peculiar fix,
The two of us.
I am not yourself.
I didn't want it to.

Just to grieve with you,
Switching seeds with you
Tears us apart.
I don't want it to.

What are we going to do?
I'd really like it if you
Turn out the lights as we planned.
It's gonna hurt,
I don't want it to.

But if you go,
Lots of different reasons,
Does that mean you can't even come?
You think this way,
Jumping off the see-saw,
Company just wanting to be...

But if you go,
Lots of different reasons,
Does that mean you can't even come?
You think this way,
Jumping off the see-saw,
Company just wanting to be...

Thursday, June 11, 2009

Musisi Mencari Status

Riuh rendah band menyeruak. Gambarnya bergerak tanpa arah. Jungkir balik sesuai hentakan musik. Panggung sempit itu terasa jebol. Sementara penonton di bawah teriak histeris mengikuti alunan yang pecah. Itulah secuplik penggalan performance dari band Indie, Tani Maju. Namanya indie, jadi nama bandnya memang harus lucu biar mudah diingat.

Keinginan menjadi selebritis membuat Leo, yang kuliah di Universitas Negeri Malang yang notabene akan menjadi guru kelak, menggeluti dunia musik. Musik segalanya buat dia. Tak ada hari tanpa bermain musik. Dandanan dan pola hidup pun layaknya anak band yang sedang digandrungi. Rokok, baju, dan segudang polah meniru tak kalah dari selebritis yang saban hari mondar-mandir di kotak ajaib bernama televisi.

Film dokumenter tak sampai setengah jam ini bercerita bagaimana pilihan profesi musisi masih disepelekan orang tua. Orang tua Leo jelas tidak setuju dengan pilihan anaknya. Ayah Leo, seorang petani di Lamongan menginginkan anaknya menjadi seorang guru. Dengan menjadi guru, derajat keluarga dan orang tua menjadi terangkat. Demikian sang ayah beralasan. Profesi musisi masih dinilai orang sebagai pilihan yang tidak mapan. Karena hanya terpaku pada sisi kekurangannya saja.

Leo beserta teman-temannya ingin membuktikan bahwa profesi apapun asal dilakoni dengan baik akan mendatangkan rejeki. Namun harapan akan perubahan status sosial keluarga juga tak bisa mereka pungkiri. Setengah sembunyi mereka terus menggelar latihan dan mengamen dari panggung hajatan. Siapapun yang mau menanggap mereka, Leo dkk serentak menyambar. Semua semata demi keberlangsungan hidup juga idealisme dalam bermusik.

Gara-gara pilihan bermusik ini pula, perjalanan Leo dengan gadis pujaannya kandas. Calon mertuanya tak sudi menerima musisi kampung ini. Meski beberapa lagu Tani Maju band laku keras, namun itu semua tak cukup bagi keluarga sang pacar. Cinta kandas. Namun Leo, tak patah arang. Ia terus bermusik.

Pada suatu ketika, Leo tak bisa membantah kemauan orang tuanya. Ia lantas menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. Namun hanya part time. Ia mengajar musik, sesuai kesukaannya. Di malam hari ia berlatih dan manggung, paginya ia mengajar. “Kalau dia datang telat itu sudah biasa” cerita seorang guru. Beruntung, anak-anak didiknya sangat menyukai cara mengajar Leo. “Anak-anak kalau melihat Leo, seperti melihat selebriti” .

Secara kultural, masyarakat memang akan lebih menghargai profesi sebagai seorang guru daripada musisi. Menariknya lagi, menurut sutradara “Musisi Mencari Status”, Ary Agung W SSn, film ini dilatarbelakangi oleh kehidupannya, Leo, dan beberapa guru lain yang masih berstatus Guru Tidak Tetap (GTT). ”Memang, idenya kita bikin film protes, GTT secara ekonomi pas-pasan, tak salah jika banyak dari mereka yang nyambi di bidang lain. Guru hanya merupakan posisi sebagai status saja,” kata guru Broadcasting TV dan Multimedia ini. Kehidupan guru memang masih jauh dari kata ideal. Maka tak jarang banyak guru yang harus banting tulang kerja sambilan, jadi apapun. Mulai dari musisi, tukang ojek, bahkan tukang sayur sekalipun. Meski terhormat, namun kehidupan banyak guru di negeri ini kembang kempis.

Pemilu & Harapan 5 tahun mendatang

Tahun 2009 adalah tahun politik. Tahun dimana penentuan komposisi kepemimpinan lima tahun mendatang dilakukan. Untuk ketiga kalinya pemilu secara demokratis digelar pasca reformasi 1998. Namun hingar bingar pemilu kali masih menyisakan sejumlah masalah. Dari persoalan logistik hingga masalah daftar pemilih tetap (DPT). Bagaima seorang Bima Arya Sugiarto dari Charta Politica memandang hal ini dan harapan lima tahun mendatang? Pengamat politik muda ini berbagi pandangannya dengan Widodo dan Sukman, tim redaksi Majalah HB di kantor asrinya di Jl. Cipaku II/18, Jakarta Selatan. Berikut petikan wawancaranya:

  1. Pendapat Anda soal pemilu tahun ini?

Secara umum memang ini ada dua pemilu ya, legislatif dan pilpres. Kalau kita evaluasi pemilu legislatif kali ini secara prosedural tidak lebih baik daripada 2004. Bahkan cenderung lebih buruk. Karena ada kisruh dengan DPT. Itu catatan pertama. Catatan kedua adalah tingkat partisipasi politik dalam pemilu legislatif juga lebih rendah dibandingkan 2004 yang mencapai 40 %. Tetapi sebetulnya kalau coba kita lihat dari perspektif optimis pemilu legislatif secara garis besar itu memiliki output yang baik karena pertama kali suara terbanyak diterapkan. Dan banyak sekali caleg yang lolos bukan karena nomor urut, tetapi karena berada ditengah-tengah begitu. Ini bagus. Artinya rakyat sudah mulai digiring untuk memilih orang bukan lagi partai. Nomor dua, kalau kita lihat komposisi di anggota DPR terpilih ini menarik karena jumlah pendatang baru ini hampir 70 %. Di Amerika saja negara yang demokrasinya sudah mapan tidak lebih dari 10 % jumlah pendatang baru ini. Jadi dari segi jumlah kalau dalam konteks ini sebetulnya regenerasi sudah terjadi secara massif, secara luar biasa di parlemen. Harusnya kita bisa berharap 70 % pendatang baru ini bisa memberikan perubahan signifikan.

  1. Tapi pada kenyataannya pendatang baru ini adalah kroni dari misalnya anaknya gubernur, kerabat pejabat, dll?

Memang harus kita lihat prosentasenya ya. Berapa banyak? Sama halnya dengan artis. Mereka sering dibilang heboh. Tapi artis kan kali ini cuma 15 orang dari 560 orang. Ini artinya kurang berapa ya? Ya kurang dari 5 %. Jadi masih sedikit begitu. Dan kita harus teliti juga yang kroni ini berapa persen. Nah tetapi harus diingat bahwa semua harus dilihat satu-satu. Kalau kita mau bicara politik dinasti atau kroni, itu juga harus dilihat satu-satu. Ada politik dinasti yang justru bagus ya karena betul-betul dikader, betul-betul disiapkan oleh orang tuanya. Tapi memang ada yang gak siap, dipaksa begitu. Artis pun juga begitu. Ada artis yang tidak memiliki kapasitas. Ada yang karbitan. Tapi memang ada yang memiliki jam terbang dan sangat artikuler. Jadi kita jangan sampai terjebak dikotomi pendatang baru pasti jelek, artis pasti tidak perform, harus dilihat orang per orang.

  1. Persoalan DPT adalah masalah terbesar dalam pemilu kali ini. Sebenarnya apa yang terjadi? Bukankah harusnya bisa belajar dari pemilu sebelumnya?

Ya menurut saya yang terjadi adalah kelemaahan koordinasi antara KPU sebagai penyelenggara dan pemerintah yang sebetulnya punya fungsi untuk merapikan sistem kependudukan. Intinya sebetulnya itu. Saya tidak melihat adanya agenda yang sistematik sebetulnya untuk memanipulasi daftar pemilih tetap ini karena pemainnya kan banyak. Jadi sangat beresiko kalau incumbent ini bermain diwilayah itu.

  1. Namun, bukankah banyak yang mensinyalir hal itu dilakukan?

Ya wajar saja yang mengatakan hal itu. Bisa saja. Tetapi kalau kita lihat per daerah itu ternyata manipulasi juga dilakukan oleh partai-partai lain. Jadi kalau saya lebih melihat ini kisruh secara kolektif karena KPU tidak memiliki kekuatan melakukan planning yang baik. Harusnya KPU kan bisa belajar dari pemilu tahun 2004. Ini juga karena faktor bahwa anggota KPU itu baru semua. Kalau ada yang lama kan ada proses kontinuitas. Ada kesinambungan. Nah sekarang kan tidak ada.

  1. Artinya perlu adanya kontinuitas itu?

Menurut saya anggota KPU ini harusnya tidak baru semua. Harusnya tetap ada yang lama. Satu atau dua orang disisakanlah supaya ada semacam early warning ada pra kondisilah tentang apa yang akan dihadapi.

  1. Artinya itu bisa jadi salah satu kondisi untuk memperbaiki pemilu mendatang?

Iya kira-kira memang begitu.

  1. Saling klaim kebenaran capres-cawpres memanas. Apakah ini sehat untuk demokrasi kita?

Dalam demokrasi yang namanya perdebatan itu sehat. Malah sangat sehat ya. Kalau menurut saya pilpres tahun ini lebih maju dibandingkan pilpres 2004. Karena kandidat sebelum disahkan saja sudah ada perdebatan. Tentang ekonomi kerakyatan, neo liberal, dan kemandirian ya. Ini bagus sekali sehingga rakyat diajak berpikir, rakyat diajak untuk terlibat secara lebih dinamislah untuk menggali masing-masing perspektif itulah. Tetapi catatannya adalah ini ide-ide besar ini, konsep besar ini, konsep yang sifatnya jargonistik ini harus diturunkan, jangan diawang-awang saja. Bicara ekonomi kerakyatan itu apa, neo liberal itu apa. Karena yang lulus SD tentunya tidak paham istilah neo lib itu apa. Jadi yang kita tuntut itu dua hal. Para tim sukses capres cawapres maupun capres dan cawapres harus mampu untuk menyederhanakan dengan bahasa yang mudah dipahami rakyat. Yang kedua, menurunkan dalam level implementasi dan aksi. Contoh konkritnya apa. Relevansinya apa bagi kehidupan rakyat. Debat neolib dan liberal tidak akan ada artinya jika rakyat kemudian tidak diajak untuk paham bahwa oh jika ini maka efeknya bagi kehidupan kita akan seperti apa.

  1. Namun bukankah hal ini justru yang menjadi bahan jualan semua kandidat sekarang? Antar neolib dan ekonomi kerakyatan?

Ini kan karena Boediono yang dipilih sebagai wapres. Kalau yang dipilih Hidayat Nur Wahid mungkin isu ini tidak akan naik. Jadi jelas sekali. Ini ada nuansa politisnya. Ada labeling. Ada diferensiasi yang berusaha dilakukan. Karena memang ada kecenderungan orang Indonesia tidak suka jika negara atau pemimpinnya itu takluk pada asing. Tidak pada rakyat. Nah ini neolib kan kesannya tidak pro kepada rakyat begitu.

  1. Tapi bukannya pada kenyataanya seperti itu pemerintah sekarang?

Ya kita harus lihat sebetulnya yang bicara neolib itu apakah tahu tidak dengan neolib ataukah bicara tentang kerakyatan konsisten tidak dari dulu seperti itu? Jadi menurut saya memang harus hati-hati. Lihat isunya dan lihat siapa yang bicara.

  1. Bagaimana perjalanan demokrasi kita dari 1998 hingga sekarang? Apakah ada perbaikan atau malah sebaliknya?

Menurut saya perbaikan itu ada. Tetapi track ini memang harus diluruskan gak boleh mencong-mencong, track ini juga harus dikuatkan. Ada hal-hal sudah baik seperti yang sudah saya sampaikan tadi. Di pilkada itu banyak anak-anak muda yang naik jadi walikota, jadi bupati, hingga gubernur itu bagus, di parlemen hampir 70 % anak muda itu bagus, tetapi bahwa di politik kita masih ada politik uang, kesepakatan-kesepakatan masih didasarkan kesepakatan pragmatis itu juga betul. Jadi memang secara umum arah kita sudah benar tetapi pembenahan itu harus dilakukan secara luar biasa.

  1. Mungkin jalannya sudah baik, tapi masih pelan-pelan begitu?

Iya masih pelan-pelan, masing bolong-bolong, kadang masih belok-belok begitu.

  1. Dalam pemilu kemarin politik uang masih menjadi kekuatan utama. Pendapat Anda?

Iya ini dilemanya. Ketika demokrasi di-install, diaplikasikan di tengah-tengah rakyat yang belum sepenuhnya terdidik, ditengah-tengah rakyat yang belum sepenuhnya juga kenyang, perutnya masih lapar. Jadi sulit bicara pada level tataran rasionalitas. Kebanyakan masih bicara pada tataran pragmatis dan emosional. Jadi keputusannya berdasarkan pada hal-hal yang pragmatis untuk menyambung hidup. Bukan saja pemilih tetapi para politisi juga begitu. Politisi ini masuk ke partai, jadi caleg, motivasinya adalah untuk hidup. Bukan mengabdi untuk publik. Jadi persoalan utamanya seperti ini. Dilema demokrasi yang dibangun di atas pondasi yang masih lemah secara ekonomi dan sosial ya seperti ini dilemanya.

  1. Disisi lain mungkin itu benar, tetapi rakyat juga begitu. Ketika pemilu legistalif kemarin misalnya, banyak rakyat yang minta uang ke caleg. Ini kan rakyat secara langsung menggiring caleg untuk ramai-ramai korupsi ketika terpilih?

Itu juga betul, tapi catatan saya begini memang biaya politik mahal ini jadi kepentingan bersama. Tetapi kita sering kali terlalu over estimate terhadap peranan uang. Segalanya memang perlu uang, tapi sebetulnya yang ini bukan segalanya. Ada caleg-caleg yang lolos dengan uang yang minim ya, karena saya percaya pada teori the economic of trust, semakin besar trust kita ini dimiliki ditengah publik semakin murah kita ini bekerja untuk berkampanye, tetapi semakin kecil trust itu di publik maka semakin mahal pula ongkos politik kita. Ini orang-orang yang tidak pernah turun ke bawah, ini bisa keluar 17 milyar. 18 milyar untuk menjadi anggota DPR itu kan tidak make sense ya. Ini karena gak ada trust. Tetapi ada orang yang hanya keluar 10, 20, 30 juta gitu karena memang punya citra yang bagus dan juga turun ke bawah begitu.

  1. Kita menganut sistem presidensial, namun disisi lain kita menganut sistem multipartai. Pandangan Anda?

Menurut saya jumlah partai tidak boleh lebih dari 6 ya. Harus lebih sedikit. Sekarang di parlemen ada 9. Saya harap di parlemen 2014 itu lebih ciut lagi menjadi 6 atau 5. Karena presidensil ini tidak compatible dengan parlementer. Presidensil ini harus diimbangi dengan jumlah partai yang sedikit di parlemen supaya presiden punya otoritas, supaya presiden punya ruang gerak untuk tidak selalu berhadapan dengan parlemen tetapi untuk menetapkan kebijakan. Kalau jumlah partai di parlemen ini banyak, presiden akan selalu mengalami kesulitan ya untuk tawar menawar dengan yang lain.

  1. Namun disisi lain kita begitu mudah mendirikan partai?

Itu bisa dilakukan rekayasa electoral namanya ya. Artinya nomor satu dibuat sesusah mungkin aturan mendirikan partai baru. Ini bisa diatur begitu. Kedua, dibuat satu sistem electoral treshold dan parlement treshold yang lebih kuat lagi. Artinya jika partai ini tidak mampu untuk memenuhi ambang batas sekian persen, gak boleh masuk parlemen kan. Nah sekarang ini parlement treshold adalah 2.5 %. Saya berharap tahun 2014 itu dinaikkan menjadi 5 %, jadi lebih tinggi lagi. Atau electoral treshold lebih kecil lagi. Sehingga kemudian orang berpikir ulang lagi banyak untuk mendirikan partai baru. Ya kalau susah lewat parlement treshold, ya gak bisa. Jadi pelajaran sebetulnya tahun 1999, 2004, dan 2009 ini mengajarkan pada kita bahwa jika tidak punya tokoh yang kuat jangan berani buat partai politik. Atau jika tidak punya ideologi yang kuat, jangan berani buat partai politik. Atau yang ketiga kalau uang pas-pasan juga jangan. Nah itu saja. Jadi orang mesti sadar, kalau tidak memiliki ketiga kekuatan itu ya tidak usah bikin partai politik.

  1. Dari ketiga capres-cawapres tidak ada diferensiasi pemikiran yang nyata. Kira-kira apa yang menjadi dasar rakyat untuk memilih mereka pada akhirnya nanti?

Ya itulah semuanya kan menggarap ekonomi kerakyatan ya, kemudian yang menjadi diferensiasi itu bukan diferensiasi gagasan, tetapi lebih kepada diferensiasi personality, diferensiasi leadership. Kalau dari segi gagasan sama, tetapi gayanya berbeda. Nah mungkin gagasan yang sama dbawa oleh gaya kepemimpinan yang berbeda, beda juga output-nya gitu. Nah ini gaya kepemimpinan kan beda-beda. Prabowo yang seperti itu, Megawati yang betul-betul menurut saya ibu rumah tangga begitulah, kemudian JK yang cepat sekali pergerakkannya, yang sangat pragmatis, atau SBY yang penuh perhitungan. Perpaduan antara pemikir strategi politik dan ekonom di SBY-Boedino, perpaduan antara nasionalis dan Islam, tentara dan pengusaha di JK-Win, dan perpaduan antara klan Soekarno secara biologis dan kira-kira ya tokoh Prabowo yang memiliki pemikiran lebih ideologis misalnya. Jadi diferensiasinya lebih kepada gaya kepemimpinan menurut saya, dibanding program, dll.

  1. Harapan Anda 5 tahun mendatang secara keseluruhan?

Ya nomor satu saya betul-betul berharap bahwa ada keseimbangan antara aspek demokrasi dan govern ability untuk berjalannya pemerintahan. Betul kita perlu demokrasi, kita perlu punya artikulasi yang jelas dari parlemen ya tentang nasib rakyat. Tapi kita juga harus paham bahwa the government should govern, pemerintah harus memerintah, program harus jalan. Jadi kita berharap 5 tahun ke depan elit politik ini tidak menguras seluruh konsen energi mereka hanya untuk perdebatan politik, perdebatan kekuasaan, tetapi lebih bertarung untuk mengimplementasikan program-program yang konkrit begitu. Jadi jangan sampai kebijakan pemerintah itu yang ideal itu dijegal. Jangan sampai oposisi itu asal beda. Kalau ada pemerintahan dengan kebijakan yang bisa didukung kenapa tidak? Kan begitu. Jadi esensi oposisi sebetulnya ini mengkritisi bukan sekedar menjegal begitu. Kira-kira begitu. Jadi kita berharap 5 tahun mendatang semua tahu porsinya masing-masing. Oposisi menjalankan fungsinya, incumbent menjalankan fungsinya, parlemen fokus pada ketiga fungsinya, pemerintah juga betul-betul paham apa yang dibutuhkan publik, dan bisa mengimplementasikan itu sampai level paling terbawah begitu.

(Dimuat di Majalah Hikmahbudhi 315)

Friday, May 1, 2009

Siapapun Pemenangnya, Rakyatlah Pemenang Sejati

Pemilu legislatif untuk memilih wakil kita di DPR baru saja usai. Setelah mata kita disuguhi berbagai pose caleg menjajakan diri, entah itu di pohon, di perempatan jalan, juga di tembok kusam ibu kota. Mereka kini harap-harap cemas menanti. Harap dan cemas karena apakah seluruh usaha dan biaya sebanding dengan hasil yang diinginkan. Belum usai perhitungan selesai dilakukan, ternyata banyak caleg yang tumbang. Dari mulai stress ringan, migren, pening, bahkan ada pula yang depresi yang berujung pada bunuh diri. Entah apa akhirnya itu yang menjadi pilihan mereka. Belum lagi beberapa caleg malah mengambil kembali bantuan yang diberikan ketika melihat peluang mendulang angkanya kian tipis. TV, karpet yang pernah diberikan di pangkalan ojek pun di tarik kembali. Jelas ini bukti ketidakdewasaan dan kesiapan mereka. Harusnya dari awal sudah bisa mengkalkulasi diri. Apakah memang pantas dan layak menjadi wakil rakyat atau bukan. Layak dari segi intelegensia, kapasitas, kapabilitas, juga akuntabilitas. Belum lagi soal dana yang memang harus dipersiapkan. Tak ada modal, jangan coba-coba mimpi menjadi wakil rakyat. Apalagi belum apa-apa, masyarakat sudah minta jatah ini itu. Ini celaka. Bagaimana wakil rakyat kita benar-benar tidak akan korupsi jika dari sedari awal masyarakat memang mengajarkan mereka untuk segera mengembalikan modal yang dikeluarkan untuk ini itu tadi. Memang sulit. Tapi itulah adanya wajah bopeng potret demokrasi kita. Jika lantas ketika kampanye mereka berduyun mendatangi mimbar kampanye, bukan semata mereka mau mendengarkan visi dan misi partai. Mereka cuma mencari hiburan, selebihnya ya apalagi kalau bukan cari amplop. Demokrasi kita bukan demokrasi sejati. Tapi demokrasi pancingan. Artinya rakyat akan bergerak kalau ada iming-imingnya, bukan karena ideologi apalagi kata hati. Jangan harap.

Hajatan demokrasi kali ini benar-benar amburadul. Bahkan menjadi terburuk sepanjang sejarah pemilu kita, termasuk pemilu orde baru. KPU sebagai lembaga paling berwenang, kedodoran. Banyaknya rakyat yang tak terdaftar sebagai pemilih menjadi bukti budjet 14an triliun yang digelontorkan tak sebanding. Kinerja KPU bener-bener payah. Belum lagi soal distribusi logistik yang tak kalah kacaunya. Mana ada logistik bisa nyasar. Belum lagi yang sudah dicontrengi oleh petugas nakal. Juga angka golput yang mencapai 40 persen lebih, ini menjadi tanda bahwa pemilu kali ini bikin miris hati. Bagaimana tidak angka golput tinggi, rakyat mau menggunakan haknya saja malah di pasung. Antar anggota KPU juga saling berseberangan pendapat. Jelang hari pencontrengan, ada yang mengatakan bagi rakyat yang tidak kebagian surat undangan bisa menggunakan KTP, namun anggota lain mengatakan hal itu tidak diperkenankan. Lantas rakyat harus mengikuti yang mana. Persoalan DPT (daftar pemilih tetap) menjadi persoalan yang paling krusial . Bayangkan seorang mantan panitia KPPS, kali ini tak bisa menggunakan hak pilihnya. Belum lagi seorang caleg yang namanya tak ada di daftar kartu suara. Jika boleh diberi rapor, mungkin angka 5 menjadi hak KPU kali ini. Artinya mereka tidak naik kelas alias gagal total. Mengapa DPT bisa bermasalah? Bukankah harusnya mereka sudah dipersiapkan jauh-jauh hari? Bukankah mereka sudah lewat fit and propertest ketat di gedung dewan? Bukankah mereka itu para ahli di bidangnya? Entahlah.

Walau secara resmi belum diumumkan karena menunggu perhitungan manual, namun dari quickcount, sudah bisa ditebak siapa yang akan menguasai jagat senayan lima tahun mendatang. Elit politik pun berakrobat, bermanuver sana sini menaikkan harga jual diri. Yang ada di benak mereka cuma kursi dan kepentingan sendiri. Lupa sudah dengan janji mereka ketika kampanye kemarin. Benar mungkin kata teman: caleg itu memang tidak bisa memberi janji apa pun. Karena mereka hanya bisa memberi janji tanpa pernah mampu merealisasi.

Lepas dari carut marut pemilu kali ini, setidaknya kita bisa menjadi penonton yang baik. Meminjam kata dari Bang Komaruddin Hidayat, kita harus mengucapkan terima kasih kepada semua yang terlibat, baik yang menang maupun yang kalah. Ibarat permainan sepak bola, kalah menang itu biasa. Kalau tidak ada yang menang dan yang kalah, tentu pertandingan tak seru dilihat. Tapi tetap haruslah, ujung-ujungnya, siapapun pemenangnya, pemenang sejati haruslah rakyat.

The Shadow of the Flag: referendum tak berkesudahan

Mengambil seting bumi Timor Leste pasca referendum. Film dokumenter ini dibuka dengan dentuman gerak baris sipil bersenjata. Sejurus golok ada di komandan regu. Sesekali ia membentangkan goloknya pertanda barisan belum rapi. Wajah tua tak menyurutkan langkah tegap bak tentara sungguhan. Semua siap seolah perang segera dimulai. Maklum saja, euforia gempita kemenangan atas kemerdekaan baru saja mereka raih. Referendum menjadi jalan bagi kebebasan baru itu. Sesekali jejak konflik pasca referendum kental terlihat di film yang disutradarai Tony Trimarsanto ini. Semua penduduk Timor berharap referendum menjadi pintu bagi kemaslahatan. Maria, salah seorang warga mengatakan bahwa baginya referendum bisa mengubah garis hidup. Baginya menjadi warga Negara Indonesia tak ubahnya menjadi diri yang terjajah. “Terjajah di negeri sendiri” itulah kami waktu dulu, ujarnya. Mereka menganggap Indonesia adalah penjajah. “Dulu kami kemana-mana selalu takut, karena banyak tentara”. Bisa dimaklumi, ketika mereka menang referendum, mereka bersorak ada seberkas harapan disana.

Semua terekam dengan baik. Walau agak bertele, terutama bagian awal. Pembagian jatah beras dari WFP terlalu lama. Beberapa potong adegan kamp pengungsian dan seutas tampah berisi beras sisa saja mestinya sudah bisa menggambarkan kegetiran hidup mereka. Beberapa gambar juga terlalu over pencahayaannya. Selain itu, audio terkadang memekakkan telinga.

Harapan Maria tinggal harapan. Pasca referendum ternyata kehidupan mereka tak lagi berubah. “Maju tidak, mundur juga tidak. Ibaratnya kami terjebak diantara lautan air luas, tidak bisa kemana-mana” ujarnya. Mencari pekerjaan saja sulit. Bersekolah juga sama. Kalau mau kerja harus ada ketrampilan bahasa Inggris, komputer, dll. Mana bisa kami berbahasa Inggris. Selama 24 tahun kami selalu memakai bahasa Indonesia, tapi sekarang jika memakai bahasa ini dianggap sebagai bahasa penjajah. Jadi semuanya serba repot.

Soal pendidikan pun tak kalah payahnya. Guru yang mengajar tidak banyak yang memenuhi kualifikasi. Seorang lulusan SMP mengajar SMA? Bagaimana kami bisa maju. Pemimpin yang ada pun sangat sulit dicari pengharapan. Mereka sibuk dengan urusan sendiri. Jadi ujung-ujungnya kami hanya bisa berharap dengan diri kami sendiri. Pasca transisi pun tak banyak perubahan. Justru disinyalir ini mainan baru antara Portugal dan Australia. Jadi, lagi-lagi korbannya rakyat kecil.

Walau getir, namun film ini juga menampilkan lempengan pantai dan laut yang memang terkenal eksotis. Film ini berhasil memotret sisi lain bumi Timor Leste. Kemerdekaan memang mahal harganya. Konflik untuk merdeka. Merdeka untuk mencari pengharapan yang tak berkesudahan.

Thursday, April 30, 2009

Vote For ME: Demokrasi rasa China

Di Wuhan, China Tengah, anak-anak bernyanyi dan memberi hormat ke bendera merah dengan beberapa tanda bintang di tiang jauh. Semua tertib berbaris. Dengan tangan di atas pertanda hormat, anak-anak ini mengucap janji untuk setia kepada negara komunis ini.
Suasana riuh di dalam kelas. Seorang guru perempuan mengumumkan akan dilakukan pemilihan ketua kelas. Tapi bukan sembarang pemilihan sebagaimana yang sudah-sudah. Kali ini anak-anak sendirilah yang memilih, bukan lagi dipilih oleh guru kelas. Segera sang guru menunjuk tiga orang sebagai kandidat (tetap saja cara diktator keluar,he….). terpilih Xiaofei (perempuan), Cheng cheng (ketua kelas terdahulu), dan Duo Lai. Dalam beberapa hari ke depan semua kandidat diminta untuk berkampanye. Cara inilah yang menjadi domain film dokumenter Vote for Me. Pemilihan ketua kelas 1 menjadi contoh sebuah demokrasi di negara komunis China.
Xiofei, anak tunggal seorang janda. Ibunya serius mempersiapkan segala keperluan kampanyenya. Tak jelas pekerjaan ibunya. Menyiapkan materi pidato, melatih intonasi, termasuk mengajari bermain musik.
Cheng cheng anak seorang komisaris polisi, ibunya seorang polwan. Cara militer diajarkan orang tua Cheng cheng agar ia terpilih. Seperti mengajak jalan-jalan naik monorail. Maklum, di Wuhan, China, naik monorel masih menjadi barang mewah. Selain itu, gaya pidato militer juga pembagian amplop liburan jelang akhir kampanyenya.
Duo Lai, anak seorang insiyur. Ibunya menjadi ibu rumah tangga biasa. Keluarga ini juga tak kalah seru mempersiapkan bahan kampanye anaknya. Walau terkenal bandel, Duo Lai mau tak mau menuruti semua perintah orang tuanya demi menjadi ketua kelas.
Hari pertama kampanye digelar. Xiofei mendapat giliran pertama. Namun bukannya memberikan materi kampanye. Ia malah sesunggukan. Menangis. Itu karena ia grogi. Tisu diayunkan membasuh pipinya yang mulai basah. Dengan terdiam sejenak, ia menarik nafas, lalu melanjutkan sisa pidatonya yang terpenggal.
Sepanjang film berdurasi hampir sejam ini, kita disuguhi adu strategi dari ketiga kandidat. Jangan harap ada gambar indah dalam film ini. Sebab percakapan dan ekspresi langsunglah yang banyak digelar. Jika ada gambar establish itu pun cuma sepotong sekolah saja. Namun justru inilah titik kuat film ini. Bagaimana Duo Lai yang kesal karena kecapean & lupa menghafal pidato tumpah tanpa sensor. Begitu pula Xiao Fei yang tersedu menanti hari pemilihan, belum lagi kerepotan orang tua Cheng cheng mengatur strategi anaknya.
Di kelas, masing-masing kandidat saling menyiapkan tim suksesnya. Xiao Fei yang perempuan memiliki dukungan kuat di hati kaum hawa. Cheng cheng percaya diri saja. Justru Duo Lai yang berjibaku. Berbagai manuver ia lakukan. Dari yang bersih hingga yang paling kotor sekali alias intimidasi. Badannya yang besar menguatkan hal ini. Sayang ia lupa kalau Cheng cheng didukung orang tuanya yang memang pintar strategi. Ia mengira Cheng cheng akan berada di belakangnya. Namun diam-diam, Cheng cheng justru membelot, dan memilih jalan sendiri. Apalagi ia ketua kelas terdahulu. Mana mau, jabatannya diserahkan begitu saja kepada Duo Lai. Menjabat dua kali tak ada salahnya, begitu pikirnya.
Sesi terakhir beradu debat. Semua kandidat di adu satu per satu. Kebiasaan buruk lawan menjadi senjata umpatan. Sesi ini sangat menarik. Anak-anak begitu menjiwai. Saling ngotot dan serang terjadi. Hingga beberapa teman mereka tampak bengong menyaksikan, termasuk sang guru. Yang paling seru debat antara Cheng cheng dan Duo Lai. Duo Lai salah strategi lagi. Cheng cheng sangat menyiapkan diri. Bahkan ia menyiapkan waktu khusus untuk berlatih dengan ayahnya yang seorang komisaris polisi. Persiapan matang membuahkan hasil yang matang pula. Dan inilah yang akhirnya terjadi. Cheng cheng memenangi perdebatan sengit ini.
Voting tertutup akhirnya harus digelar. Dan sudah diduga pemenangnya adalah Cheng cheng. Duo Lai kalah telak. Bahkan ia kalah dari Xio Fei. Duo Lai tak kuasa menahan tangis. Teman-teman menjauhi, karena ia kerap berlaku kasar. Ia kini merasa sendirian. Namun cepat, sang guru mendamaikan seantero kelas. Mereka pun saling bersalaman dan berpelukan.
Demontrasi kecil di sekolah dasar ini mungkin sebagai contoh kecil jika di negeri tirai bambu ini paham demokrasi mulai diajarkan, walau masih secuil. China yang selama ini identik dengan komunis terlihat mulai melirik demokrasi. Walau masih sebatas film dokumenter, minimal cuilan film ini bisa menjawab. Tak di pungkiri jika ada yang beranggapan bahwa ini cuma untuk kebutuhan film saja, bukan terjadi di dunia sebenarnya. Mana yang benar, tak tahulah.

Tuesday, March 17, 2009

Dukung Petisi Tolak Buddha Bar

Jangan jadikan ketidak-melekatan sebagai alasan untuk sebuah ketidak pedulian.
Memang benar Buddha mengajarkan untuk tidak melekat pada simbol-simbol dan bahkan pada ke-aku-an.
Namun Beliau juga mengajarkan untuk mengembangkan kebijaksanaan supaya tidak terjerumus dalam kebodohan.

Saat pangeran Siddharta belum menjadi Buddha, beliau mencoba tidak melekat pada badan jasmaninya dengan menahan lapar dan haus, menyiksa diri demi terbebas dari penderitaan.
Namun akhirnya dia menyadari bahwa hal itu tidaklah bijaksana. Dan kembali makan dan minum demi kesehatan dan menguatkan badannya. Apakah artinya dia menjadi melekat kembali kepada badan jasmaninya?

Ada sebuah cerita juga tentang Bhikkhu yang membakar patung Buddha dari kayu untuk menghangatkan badannya di cuaca yang sangat dingin. Karena sudah tidak ada kayu bakar lagi yang bisa dipakai untuk menghangatkan tubuh. Cuaca juga terlalu buruk untuk mencari kayu di luar.

Saat ada Bhikkhu lain yang mempermasalahkan hal tersbut ia mengatakan kepada Bhikkhu-Bhikkhu yang lain bahwa patung tersebut hanyalah sebuah patung kayu, sebuah simbol dan kita tidak boleh melekat kepadanya.

Bhikkhu ini bertindak bijaksana, karena jika dia tidak membakar patung kayu tersebut, mereka semua akan mati kedinginan.
Tapi pada kasus Buddha Bar, apakah bijaksana membiarkan nama Buddha menjadi nama sebuah Bar? Apakah bijaksana meletakkan patung-patung Buddha di dalam sebuah bar?? Apakah ketidak-melekatan bisa dijadikan alasan untuk membiarkan hal ini terjadi?

Lalu bijaksanakah jika ketidak-pedulian kita akhirnya menimbulkan akibat tidak adanya penghormatan lagi terhadap agama Buddha.

Walaupun agama Buddha tidak gila penghormatan, namun bijaksanakah membiarkan kualitas agama ini menurun dan mungkin menghilang dari dunia karena tidak dihormati lagi oleh orang lain dan bahkan oleh pengikutnya sendiri.

Kondisi seperti itukah yang akan kita wariskan pada generasi mendatang?
Apakah memang tidak ada pilihan lain sehingga harus menggunakan nama Buddha, dan apakah tidak ada hiasan lain sehingga harus menggunakan hiasan patung Buddha dalam sebuah Bar?

Sebagai umat Buddha kita diajarkan untuk berpikir kritis dan bijaksana dalam melihat segala sesuatu. Membedakan antara ketidak-melekatan dan ketidak-pedulian. Mencerna esensi ajaran Guru Buddha tidak sebatas kulit luar dari apa yang tertulis.

Bertindak atau tidak, pilihan tetap ada di tangan masing-masing.

Appamadena Sampadetha

Dian Saptiana

SDM PP HIKMAHBUDHI


(meneruskan Petisi teman saja).

Monday, January 12, 2009

Izak Timisela: Bapak Kaum Diffable Pinggiran

Sayup-sayup celotehan suara itu membesar. Sumbernya dari sebuah bangunan yang menjulang di depan sana. Untuk sebuah daerah pinggiran, bangunan ini memang mencolok walau agak masuk ke dalam gang H. Ridwan, Kel. Kunciran Indah. Warna warni coraknya. Di kanan kiri masih tersedia tanah lapang. Tak di nyana, ternyata ini adalah bangunan untuk mereka yang berkebutuhan khusus alias SLB. Adalah seorang Nyong Ambon yang menggagasnya. SLB ini dinamakan Yenaiz. Singkatan dari Yenny (anak), Nanik Isiati (istri), dan Izak Timisela. Rambut Izak tersebak uban ketika menemui kami. Badan yang agak tambun tak menyurutkan langkahnya. Dengan cekat ia menjelaskan seluk beluk sekolah perjuangannya ini. Bagaimana tidak? Ia tinggalkan karier yang baik sebagai perawat demi memenuhi keinginan hatinya meningkatkan derajat kaum luar biasa ini. Namun hal ini semua tak datang begitu saja. Ini karena pengalaman melihat dengan jelas ketidakadilan sistem terhadap kaum SLB, apalagi SLB yang berasal dari keluarga tidak mampu. Ingatan akan hak-hak kaum SLB yang terampas memantapkan dirinya keluar masuk kampung untuk mendata kaum diffable ini. Data di dapat. "Tapi akan ditampung dimana anak-anak ini?" kenangnya. Ia lantas menjual rumah untuk menyewa rumah petak untuk memberi pelajaran anak-anak diffable. Istri, dan putri tunggalnya dilibatkan menjadi tutor. Sementara belajar mengajar berjalan di rumah petak, ia pelan-pelan bermimpi untuk mendirikan sekolah. Pontang-panting ia jalankan tugas mulia ini. Sementara penghidupan keluarga belum sepenuhnya normal. Beruntung ia sudah menyiapkan kebun kelapa 2 hektar di Ambon walau itu tidak sepenuhnya membantu.

Tak kurang ribuan proposal ia layangkan demi impian mulianya. "Tak jarang saya harus naik sepeda ke Depsos di Salemba" kenangnya. Padahal ia tinggal di Kunciran, Ciledung. "Ya mau bagaimana lagi sebab memang tidak ada uang kala itu". Lewat sebuah perjuangan tanpa lelah, ia akhirnya berhak mendapatkan dana sebesar 250 juta setelah menyisihkan ribuan proposal yang masuk. Hibah ini disambut dengan tangis haru. Bantuan ini lalu sepenuhnya digunakan demi pengembangan sekolah impiannya. Tak lama berselang bantuan dari Jepang datang. Ia lantas menyekolahkan beberapa tutor ke UNJ jurusan SLB. Selain itu, program pemberdayaan bagi orang tua siswa SLB yang memang berkekurangan pun ia gagas. "Membantu mereka mesti tuntas, ya anaknya ya orang tuanya" tegasnya. Total anak SLB yang bersekolah di Kec. Pinang ini 130. Sementara di Cipondoh, walau masih menumpang di rumah petak, mampu menampung 30an anak. "Kami tidak memilih siswa, jadi tak heran semua kecacatan anak ada disini. Mulai tuna rungu, grahita bahkan autis sekalipun" tandasnya.

Jangan tanya soal prestasi dan kebolehan. Beberapa deret tropi dan piala menghiasi sebuah lemari. Sore itu kami disuguhi ketrampilan anak-anak. Walau mengalami kekurangan, mereka lincah menari mengikuti langgam Jawa. Padahal beberapa dari mereka adalah tuna rungu. Semua itu berkat bimbingan guru dan tutor yang merupakan warga sekitar. "Saya biasanya tes dulu orang yang mau menjadi guru. Sebab mengajar disini sangat berbeda dengan mengajar di tempat lain". Bukan hanya persoalan materi yang minim, namun mengajar mereka yang berkebutuhan khusus ini harus dengan hati" tegasnya.

Tak hanya anak SLB yang menjadi siswa di sekolah ini. Ketika hari beranjak, anak-anak yang putus sekolah ia tampung dalam program pendidikan luar sekolah (PLS) atau biasa disebut kejar paket. Guru dan tutor ia sengaja rekrut dari warga sekitar dengan aneka ragam aktivitas. Ada dosen, guru, ibu rumah tangga menjadi tutor dan guru di sekolah yang selalu ramai aktivitas ini. "Mereka semua tergerak hatinya" ujar Izak.

Bagi Izak sekolah ini harusnya gratis. Karena memang hampir semua dari siswa di SLB ini berasal dari keluarga kurang mampu. Namun setelah dibentuk komite sekolah yang terdiri dari orang tua murid diputuskan biaya sekolah 5.000 - 10.000. Izak pun tak kuasa menolak putusan bersama ini.

Puas dengan apa yang sudah dicapai? Ternyata tidak. Izak bercita-cita mengulang sukses SLB Yenaiz di tempat lain. "Saya maunya Yenaiz ada di seluruh komunitas bangsa ini. Di Jawa, Bali, Kalimantan, bahkan Irian" ujarnya mantap. Biar mereka bergerak sesuai dengan komunitas setempat. "Ini kan seperti Indonesia kecil" ujarnya di derai tawa. "Kalau SLB untuk orang mampu sudah banyak, saya ingin membangun SLB bagi mereka yang benar-benar tidak mampu" ujarnya penuh harap. Semoga tercapai Pak Izak.

Sunday, January 4, 2009

Cak Munir

Cak Munir yang terbaring,
Penghujung tahun kamu dapat kado "istimewa" Cak. Segepok kado yang tak membuat istrimu nyenyak tidur. Aktor utama pembunuhmu di vonis bebas. Lengkap sudah rasanya awan kelabu di balik kematianmu. Makin berat saja terungkap ajalmu nan misterius itu. Mata rantai nan panjang itu ternyata harus dihentikan di tangan seorang saja Cak. Padahal kamu dan kita menyakini bahwa rantai itu masih menyisakan tuas-tuas lainnya. Justru tuas ini dipaksa berkarat dan terputus.

Cak Munir,
5 tahun sudah berlalu dari geger beritamu Cak. Ajal tiba-tiba menitikkan sejuta air mata. Air mata itu kini harus tumpah lagi. Kasusmu tak kunjung menemui titik terang. Padahal, terang itu mestinya menjadi hak anak dan istrimu. Sebaliknya, terang itu sengaja dibikin gelap dan makin gelap. Padahal SBY pernah bilang kalau
penyingkapan kasusmu ini sebagai test of our history. Nyatanya tetap saja Cak. History bangsa ini memang tak pernah berpihak pada orang kecil.

Cak,
Buram lampu jalanan malam itu, sepertinya seburam siapa aktor penjagalmu Cak. Tapi kita masih yakin, di ujung sana terbersit sinar kecil. Sebuah harapan akan terungkap. Entah kapan Cak. Istirahatlah dengan tenang Cak. Doakan perjuangan kawan-kawan mengungkap tabir ajalmu menuai hasil.

Selamat tidur Cak. Semoga prajurit HAM yang kamu tinggalkan segera menjadi panglima yang gagah perkasa.

*) atas vonis bebasnya Muhdi PR.

Thursday, January 1, 2009

tak ada tahun baru, yang ada hari berganti saja!

Sebuah pagi di hari pertama 2009. Langit agak cerah di ujung sana. Ku susuri jalanan. Sekedar ingin cepat berbaring setelah semalam suntuk ngoceh gak karuan di rumah kawan. Jalanan sepi sekali. Banyak warga Jakarta meninggalkan kota ini menjelang pergantian tahun. Jika masih tinggal, tentu jam sepagi ini mereka masih terlelap. Semburan kembang api masih terlintas di pening kepala. Sepi. Wah seandainya tiap hari begini, alangkah enaknya tinggal di Jakarta. Sepanjang jalan Hayam Wuruk, bekas terompet semalam masih berserakan. Petugas kebersihan tampak berjuang membereskan. Sengaja aku pilih jalan protokoler pagi itu. Semua lengang. Bunderan HI saja yang agak ramai. Itu pun karena air muncratnya dibuka lebar-lebar. Sebuah TV swasta nampak mengambil gambar. Jalan Diponegoro yang teduh, membuat mata makin mengantuk saja.

Di perempatan Salemba ku lihat seorang ibu memapah dua anaknya yang bertelanjang kaki. Memelas dan menengadah bunga sosial dari pengendara. Beberapa gerombolan lain melakukan hal yang sama. Ada yang mengelap mobil, main ukulele. Kawasan yang sering terjadi bentrok mahasiswa ini, sama seperti hari-hari sebelumnya. Tak ada yang berubah.

Di sejengkal ingatan menelusur ke kawasan Tanah Merah. Tanah seluas 165 Ha lebih ini sudah lama menjadi sengketa antara negara dan warga. Letaknya persis bersebelahan dengan kawasan Kelapa Gading. Membandingkan Tanah Merah dan Kelapa Gading ibarat sebuah perbandingan bumi langit. Puluhan tahun hingga sekarang, keberadaan warga tanah merah tidak diakui negara. Mereka tidak diberikan hak kependudukan, apalagi hak-hak lainnya. Puluhan kali pula status kependudukan ini diusahakan. Namun hingga kini belum menuai hasil. Warga Tanah Merah umumnya bekerja di sektor informal. Tak kurang 16 ribu KK hingga kini tengah terkatung menunggu kepastian kependudukannya. "Kita ini ibarat hidup dinegeri orang lain" ujar Soegianto, tokoh masyarakat setempat trenyuh.

Di sebuah kantin makan, seorang petugas keamanan mengatakan kekecewaannya terhadap pemeritahan SBY. "Dulu di lingkungan saya semua pilih SBY. Kalau sekarang gak lagi deh" ungkapnya kesal sambil menyantap tempe goreng. "Gila barang-barang tetap mahal. Ongkos juga gak mau turun padahal BBM udah diturunin" ujarnya setengah jengkel. "Belum lagi ancaman PHK gila-gilaan". "Hidup rasanya kok gak tenang, padahal di negeri sendiri".

Seorang ibu merengek minta ditunjukkan jalan. "Naik dua kali Bu" ujarku singkat. "Wah saya gak mau naik angkot", mau jalan kaki aja. "Saya ada interview kerjaan hari ini" ujarnya gusar. "Sekarang cari kerja susah banget Mas". "Saya sudah jalan dari jauh kota". Rona matanya terlihat gelisah. Beberapa kali bahasa Tuhan meluncur dari mulutnya yang tak bergincu. Cemas. Ia lalu mengeluarkan handphone. Sejurus terdengar percakapan dengan orang di seberang sana. Entah benar entah sekedar pura-pura saja. "Saya ada indomie, adik mau beli gak? Tiga ribu aja" ujarnya menawarkan. "Buat ongkos deh". "GAK" jawabku sekenanya. Dari awal aku memang sudah agak curiga. Langkah cepat ia ambil seketika. Ku lihat di ujung sana ia bertanya kepada tukang ojek sepeda. Kadang aku merasa kasihan, tapi kadang jengkel juga ketika tahu belas kasihan itu hanya dijadikan topeng semata untuk mendapatkan beberapa rupiah.

Stasiun senen hari itu agak ramai. Riuh terompet lokomotif bersautan. Seorang teman sudah naik gerbongnya. Aku hanya menunggu menjelang ular besi itu meluncur ke Semarang. Seorang bapak bertopi berjalan di depanku. Ia berhenti. "Mau kemana Mas" tanyanya. "Cuma anter teman Pak" jawabku. Sejenak ia mulai ngerocos. Saya ini korban lapindo Mas. Rumah sudah tenggelam semua. Saya ke Jakarta mau ketemu saudara, eh malah dompet saya di curi orang. Gak tahu nih gimana pulangnya. Awalnya aku masih simpatik. Namun mendengar ceritanya yang sudah mulai gak karuan, aku bisa menyakinkan kalau orang ini hanya mencari belas kasihan saja. Dan benar saja. "Kasihan saya Mas, bisa minta duit untuk makan?" ujarnya tiba-tiba. "GAK ada Pak" jawabku ketus. Aku bukannya gak mau berbagi. Ingatanku melayang pesan seorang kawan: "Berbagilah dengan cara yang mendidik".

Perayaan tahun baru saja lewat. Harapan terjulang di dada. Harapan akan kebaikan dan perbaikan terhadap warga negeri ini. Perayaan tahun baru tak ubahnya percikan kembang api yang segera habis setelah dipencarkan. Lenyap seketika. Benar mungkin, tak ada tahun baru, yang ada hanyalah hari berganti saja!