Xiofei, anak tunggal seorang janda. Ibunya serius mempersiapkan segala keperluan kampanyenya. Tak jelas pekerjaan ibunya. Menyiapkan materi pidato, melatih intonasi, termasuk mengajari bermain musik.
Cheng cheng anak seorang komisaris polisi, ibunya seorang polwan. Cara militer diajarkan orang tua Cheng cheng agar ia terpilih. Seperti mengajak jalan-jalan naik monorail. Maklum, di Wuhan, China, naik monorel masih menjadi barang mewah. Selain itu, gaya pidato militer juga pembagian amplop liburan jelang akhir kampanyenya.
Duo Lai, anak seorang insiyur. Ibunya menjadi ibu rumah tangga biasa. Keluarga ini juga tak kalah seru mempersiapkan bahan kampanye anaknya. Walau terkenal bandel, Duo Lai mau tak mau menuruti semua perintah orang tuanya demi menjadi ketua kelas.
Hari pertama kampanye digelar. Xiofei mendapat giliran pertama. Namun bukannya memberikan materi kampanye. Ia malah sesunggukan. Menangis. Itu karena ia grogi. Tisu diayunkan membasuh pipinya yang mulai basah. Dengan terdiam sejenak, ia menarik nafas, lalu melanjutkan sisa pidatonya yang terpenggal.
Sepanjang film berdurasi hampir sejam ini, kita disuguhi adu strategi dari ketiga kandidat. Jangan harap ada gambar indah dalam film ini. Sebab percakapan dan ekspresi langsunglah yang banyak digelar. Jika ada gambar establish itu pun cuma sepotong sekolah saja. Namun justru inilah titik kuat film ini. Bagaimana Duo Lai yang kesal karena kecapean & lupa menghafal pidato tumpah tanpa sensor. Begitu pula Xiao Fei yang tersedu menanti hari pemilihan, belum lagi kerepotan orang tua Cheng cheng mengatur strategi anaknya.
Di kelas, masing-masing kandidat saling menyiapkan tim suksesnya. Xiao Fei yang perempuan memiliki dukungan kuat di hati kaum hawa. Cheng cheng percaya diri saja. Justru Duo Lai yang berjibaku. Berbagai manuver ia lakukan. Dari yang bersih hingga yang paling kotor sekali alias intimidasi. Badannya yang besar menguatkan hal ini. Sayang ia lupa kalau Cheng cheng didukung orang tuanya yang memang pintar strategi. Ia mengira Cheng cheng akan berada di belakangnya. Namun diam-diam, Cheng cheng justru membelot, dan memilih jalan sendiri. Apalagi ia ketua kelas terdahulu. Mana mau, jabatannya diserahkan begitu saja kepada Duo Lai. Menjabat dua kali tak ada salahnya, begitu pikirnya.
Sesi terakhir beradu debat. Semua kandidat di adu satu per satu. Kebiasaan buruk lawan menjadi senjata umpatan. Sesi ini sangat menarik. Anak-anak begitu menjiwai. Saling ngotot dan serang terjadi. Hingga beberapa teman mereka tampak bengong menyaksikan, termasuk sang guru. Yang paling seru debat antara Cheng cheng dan Duo Lai. Duo Lai salah strategi lagi. Cheng cheng sangat menyiapkan diri. Bahkan ia menyiapkan waktu khusus untuk berlatih dengan ayahnya yang seorang komisaris polisi. Persiapan matang membuahkan hasil yang matang pula. Dan inilah yang akhirnya terjadi. Cheng cheng memenangi perdebatan sengit ini.
Voting tertutup akhirnya harus digelar. Dan sudah diduga pemenangnya adalah Cheng cheng. Duo Lai kalah telak. Bahkan ia kalah dari Xio Fei. Duo Lai tak kuasa menahan tangis. Teman-teman menjauhi, karena ia kerap berlaku kasar. Ia kini merasa sendirian. Namun cepat, sang guru mendamaikan seantero kelas. Mereka pun saling bersalaman dan berpelukan.
Demontrasi kecil di sekolah dasar ini mungkin sebagai contoh kecil jika di negeri tirai bambu ini paham demokrasi mulai diajarkan, walau masih secuil. China yang selama ini identik dengan komunis terlihat mulai melirik demokrasi. Walau masih sebatas film dokumenter, minimal cuilan film ini bisa menjawab. Tak di pungkiri jika ada yang beranggapan bahwa ini cuma untuk kebutuhan film saja, bukan terjadi di dunia sebenarnya. Mana yang benar, tak tahulah.
No comments:
Post a Comment