Friday, May 1, 2009

The Shadow of the Flag: referendum tak berkesudahan

Mengambil seting bumi Timor Leste pasca referendum. Film dokumenter ini dibuka dengan dentuman gerak baris sipil bersenjata. Sejurus golok ada di komandan regu. Sesekali ia membentangkan goloknya pertanda barisan belum rapi. Wajah tua tak menyurutkan langkah tegap bak tentara sungguhan. Semua siap seolah perang segera dimulai. Maklum saja, euforia gempita kemenangan atas kemerdekaan baru saja mereka raih. Referendum menjadi jalan bagi kebebasan baru itu. Sesekali jejak konflik pasca referendum kental terlihat di film yang disutradarai Tony Trimarsanto ini. Semua penduduk Timor berharap referendum menjadi pintu bagi kemaslahatan. Maria, salah seorang warga mengatakan bahwa baginya referendum bisa mengubah garis hidup. Baginya menjadi warga Negara Indonesia tak ubahnya menjadi diri yang terjajah. “Terjajah di negeri sendiri” itulah kami waktu dulu, ujarnya. Mereka menganggap Indonesia adalah penjajah. “Dulu kami kemana-mana selalu takut, karena banyak tentara”. Bisa dimaklumi, ketika mereka menang referendum, mereka bersorak ada seberkas harapan disana.

Semua terekam dengan baik. Walau agak bertele, terutama bagian awal. Pembagian jatah beras dari WFP terlalu lama. Beberapa potong adegan kamp pengungsian dan seutas tampah berisi beras sisa saja mestinya sudah bisa menggambarkan kegetiran hidup mereka. Beberapa gambar juga terlalu over pencahayaannya. Selain itu, audio terkadang memekakkan telinga.

Harapan Maria tinggal harapan. Pasca referendum ternyata kehidupan mereka tak lagi berubah. “Maju tidak, mundur juga tidak. Ibaratnya kami terjebak diantara lautan air luas, tidak bisa kemana-mana” ujarnya. Mencari pekerjaan saja sulit. Bersekolah juga sama. Kalau mau kerja harus ada ketrampilan bahasa Inggris, komputer, dll. Mana bisa kami berbahasa Inggris. Selama 24 tahun kami selalu memakai bahasa Indonesia, tapi sekarang jika memakai bahasa ini dianggap sebagai bahasa penjajah. Jadi semuanya serba repot.

Soal pendidikan pun tak kalah payahnya. Guru yang mengajar tidak banyak yang memenuhi kualifikasi. Seorang lulusan SMP mengajar SMA? Bagaimana kami bisa maju. Pemimpin yang ada pun sangat sulit dicari pengharapan. Mereka sibuk dengan urusan sendiri. Jadi ujung-ujungnya kami hanya bisa berharap dengan diri kami sendiri. Pasca transisi pun tak banyak perubahan. Justru disinyalir ini mainan baru antara Portugal dan Australia. Jadi, lagi-lagi korbannya rakyat kecil.

Walau getir, namun film ini juga menampilkan lempengan pantai dan laut yang memang terkenal eksotis. Film ini berhasil memotret sisi lain bumi Timor Leste. Kemerdekaan memang mahal harganya. Konflik untuk merdeka. Merdeka untuk mencari pengharapan yang tak berkesudahan.

No comments: