Thursday, December 26, 2013

Konfirmasi

Pasti kita tidak suka ditanya berulang kali untuk pertanyaan yang sama. Sebab kita pasti akan mengulang jawaban yang sama. Sekali dua kali masih wajar, tapi bagaimana jika terlalu sering? Misalnya kawan yang menanyakan alamat rumah, no hp, pin bb, termasuk no rekening kita ketika mereka membutuhkan? Lantas,tersimpan dimana data-data yang selama ini kita sudah berikan?

Belakangan saya baru menyadari pentingnya untuk selalu memastikan segala sesuatu sebelum bertindak. Contohnya memeriksa alamat, denah, rute, dll sebelum berangkat ke suatu tempat. Saya pernah tersesat karena tidak melihat peta terlebih dahulu. Saya juga sempat di tahan satpam perumahan, gara-gara lupa alamat rumah kawan, sementara HP saya kehabisan baterai. 

Ada baiknya kita menyimpan dengan rapi semua data yang pernah kita minta. Terlebih jika data tersebut sering kita butuhkan. Apalagi teknologi sudah memanjakan kita dengan segala aplikasinya. Tinggal kita manfaatkan saja dengan bijak. 

Tuesday, December 10, 2013

Belajar Integritas

Mengawali tulisan ini saya ingin berbagi sedikit soal buku yang belum lama ini saya baca. Dan tulisan ini memang terilhami dari buku "Follow Your Passion" karya Muadzin, salah satu pendiri semerbak coffee (SC). Di buku ini dijelaskan bagaimana dia memulai usahanya mendirikan SC bersama kawan SMPnya. Benang merah buku ini adalah soal integritas. Ya integritas. Bagaimana perjuangan Muadzin ketika masih bekerja, namun juga dalam waktu bersamaan mulai merintis usaha kopinya ini. Seperti bagaimana dia mampu memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin. Salah satunya yang patut diacungi jempol adalah dia memanfaatkan waktu istirahat untuk mengurus bisnis rintisannya. Makanan sengaja titip beli sama office boy, sehingga waktu istirahatnya maksimal untuk mengurus segala tetek bengek bisnisnya. Mulai dari desain pamplet, dll.  Dia sama sekali tidak korupsi mencuri-curi waktu kerjanya untuk mengurus bisnisnya. Dia juga tidak memakai alat kantor, bahkan sekedar telepon atau numpang printer untuk keperluan pribadinya. Sungguh luar biasa. Tak heran SC sudah menyebar ke berbagai kota. Bahkan di pojokan jalan juga sudah ada. Terakhir saya dengar, dia mulai membuka kedai kopi satu lagi yang dinamai Ranah Kopi. Meski saya belum pernah sekalipun mencicipi kopinya, tapi saya merasakan integritasnya yang tinggi melalui buku ini.

Dari buku ini, saya banyak berpikir. Termasuk juga tentang diri saya. Lalu berdentuman pertanyaan memborbardir diri. Berapa persen jiwa dan raga kita "betul-betul" tercurahkan untuk urusan kantor yang menggaji kita? Seberapa banyak potensi diri kita yang bener-bener kita serahkan untuk urusan kantor? Lalu berapa banyak juga waktu kita untuk "mencuri-curi" waktu dan berbagai fasilitas kantor untuk urusan pribadi kita?  Terlebih ketika banyak juga kita saksikan di sekitar kita yang justru melakukan perilaku curang. Menggunakan fasilitas kantor untuk urusan pribadi kita. Juga menggunakan waktu kerja untuk mengurusi urusan pribadi yang belum selesai. Termasuk juga untuk melihat, mencari barang-barang yang ingin kita beli? Rumah, mobil, baju, aksesoris, dll? Berapa banyak dari kita yang justru menggunakan telepon kantor untuk menelepon anak kita, keluarga kita, kerabat kita, teman kita? Mungkin banyak, mungkin juga tidak. Belum lagi banyak dari kita yang "melemparkan" pekerjaan utama kita dikantor ke orang lain, sementara diri sendiri justru asyik masyuk mengurusi keperluan pribadi. 

Seorang kawan bercerita, dia harus melakukan banyak pekerjaan sampingan karena tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Segera saya timpali dengan pertanyaan kalau tidak cukup mengapa masih disini? Sementara keberadaannya disini juga tidak maksimal?  

Saya tidak bermaksud menghakimi teman-teman. Saya sendiri juga masih belajar soal integritas ini. Silahkan teman-teman berkaca dan menilai diri sendiri.

www.wiedodo.blogspot.com

Jadi maunya apa?

Hari itu saya bertemu kawan lama. Ketika bersekolah dulu kami cukup dekat. Meski setelah itu kami lama tidak bertemu, terlebih saya melanjutkan kuliah di luar Jakarta. Setelah sekian banyak janji yang belum bisa dipenuhi karena kesibukan masing-masing, sore  itu kami sepakat bertemu di salah satu mall di Jakarta Barat. Sebetulnya tidak terlalu bersemangat saya ketika meninggalkan rumah. Bukannya tidak mau bertemu. Bukan tidak mau silaturahmi. Bukan itu. Entah apa penyebabnya. Tersahut di telepon beberapa hari sebelumnya, kawan ini cerita kalau dia sekarang menjadi "pengusaha". Meski belum besar, tapi lumayan hasilnya. Itu cerita dia via telepon. Dia juga menanyakan apakah saya memiliki jaringan untuk memasarkan barang-barang dagangannya. Singkat cerita kami janjian bertemu.

Hari sudah agak gelap. Lalu lintas minggu sore tidak terlalu ramai. Agak kepagian dari jadwal yang kami sepakati. Akhirnya saya masuk toko buku Gramedia untuk membunuh waktu. Tak lama, pesan bbm masuk. Dia bilang kalau sudah sampai. Segera berkemas dan bergegas menuju lantai 3 sesuai janji kami. Banyak ide, pemikiran yang berseliweran di atas kepala. Apa jadinya ya kawan sudah lebih 10 tahun tak bertemu? Ada cerita apa? Akan ada tawaran apalagi? dll Pasti seru. Batin saya. 

Tak berselang lama, dia muncul bersama kakaknya. Kami sengaja memesan tempat yang agak mojok biar bisa bertukar cerita banyak. Sembari pesan makanan, saya cek sekali lagi handphone. Kali saja orang rumah mencari. Ternyata tidak ada pesan apapun. Saya putuskan untuk menyimpannya di dalam tas. Berharap sekali waktu kami isi dengan obrolan. Bukan bertemu tapi sibuk dengan handphone masing-masing di tangan seperti meja sebelah. Agak lama, kawan ini baru meletakkan handphonenya di atas meja makan. Sembari makan kami ngobral sana-sini yang menurut saya sangat biasa. Tidak ada isinya sama sekali. Makanan sudah mulai tandas. Pikir saya, mungkin akan bisa ngobrol banyak lagi setelah makan. Tapi ternyata prediksi saya keliru. Si kawan sudah mulai sibuk dengan handphonenya. Sementara saya sekuat hati untuk tidak melongok handphone di tas. Saya sengaja ingin tahu, sebetulnya apa yang dia inginkan dari pertemuan itu. 

Satu menit, dua menit, 10, 15 menit berlalu, tanpa ada sesuatu yang berarti. Saya mulai gusar, tapi gak enak kalau harus undur diri terlebih dahulu. Saya kuatkan pantat untuk tidak tercabut dari bangku yang mendadak terasa panas. Dia masih asyik dengan handphone di tangannya. Mungkin itu yang lebih berarti daripada pertemuan itu sendiri. Pada akhirnya kami bubar setelah tagihan makanan di bayar. Sama sekali tak ada kesan yang berarti.

Di perjalanan pulang, saya berpikir, sebetulnya apa yang dimaui orang-orang seperti ini ya? Keberadaan teknologi, gadget dan seperangkat alat penunjangnya bukan hanya sudah membantu, tapi juga sekaligus  "mengganggu" hidup manusia. 

Jadi maumu apa kawan?

www.wiedodo.blogspot.com