Thursday, June 11, 2009

Musisi Mencari Status

Riuh rendah band menyeruak. Gambarnya bergerak tanpa arah. Jungkir balik sesuai hentakan musik. Panggung sempit itu terasa jebol. Sementara penonton di bawah teriak histeris mengikuti alunan yang pecah. Itulah secuplik penggalan performance dari band Indie, Tani Maju. Namanya indie, jadi nama bandnya memang harus lucu biar mudah diingat.

Keinginan menjadi selebritis membuat Leo, yang kuliah di Universitas Negeri Malang yang notabene akan menjadi guru kelak, menggeluti dunia musik. Musik segalanya buat dia. Tak ada hari tanpa bermain musik. Dandanan dan pola hidup pun layaknya anak band yang sedang digandrungi. Rokok, baju, dan segudang polah meniru tak kalah dari selebritis yang saban hari mondar-mandir di kotak ajaib bernama televisi.

Film dokumenter tak sampai setengah jam ini bercerita bagaimana pilihan profesi musisi masih disepelekan orang tua. Orang tua Leo jelas tidak setuju dengan pilihan anaknya. Ayah Leo, seorang petani di Lamongan menginginkan anaknya menjadi seorang guru. Dengan menjadi guru, derajat keluarga dan orang tua menjadi terangkat. Demikian sang ayah beralasan. Profesi musisi masih dinilai orang sebagai pilihan yang tidak mapan. Karena hanya terpaku pada sisi kekurangannya saja.

Leo beserta teman-temannya ingin membuktikan bahwa profesi apapun asal dilakoni dengan baik akan mendatangkan rejeki. Namun harapan akan perubahan status sosial keluarga juga tak bisa mereka pungkiri. Setengah sembunyi mereka terus menggelar latihan dan mengamen dari panggung hajatan. Siapapun yang mau menanggap mereka, Leo dkk serentak menyambar. Semua semata demi keberlangsungan hidup juga idealisme dalam bermusik.

Gara-gara pilihan bermusik ini pula, perjalanan Leo dengan gadis pujaannya kandas. Calon mertuanya tak sudi menerima musisi kampung ini. Meski beberapa lagu Tani Maju band laku keras, namun itu semua tak cukup bagi keluarga sang pacar. Cinta kandas. Namun Leo, tak patah arang. Ia terus bermusik.

Pada suatu ketika, Leo tak bisa membantah kemauan orang tuanya. Ia lantas menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. Namun hanya part time. Ia mengajar musik, sesuai kesukaannya. Di malam hari ia berlatih dan manggung, paginya ia mengajar. “Kalau dia datang telat itu sudah biasa” cerita seorang guru. Beruntung, anak-anak didiknya sangat menyukai cara mengajar Leo. “Anak-anak kalau melihat Leo, seperti melihat selebriti” .

Secara kultural, masyarakat memang akan lebih menghargai profesi sebagai seorang guru daripada musisi. Menariknya lagi, menurut sutradara “Musisi Mencari Status”, Ary Agung W SSn, film ini dilatarbelakangi oleh kehidupannya, Leo, dan beberapa guru lain yang masih berstatus Guru Tidak Tetap (GTT). ”Memang, idenya kita bikin film protes, GTT secara ekonomi pas-pasan, tak salah jika banyak dari mereka yang nyambi di bidang lain. Guru hanya merupakan posisi sebagai status saja,” kata guru Broadcasting TV dan Multimedia ini. Kehidupan guru memang masih jauh dari kata ideal. Maka tak jarang banyak guru yang harus banting tulang kerja sambilan, jadi apapun. Mulai dari musisi, tukang ojek, bahkan tukang sayur sekalipun. Meski terhormat, namun kehidupan banyak guru di negeri ini kembang kempis.

No comments: