Thursday, June 11, 2009

Pemilu & Harapan 5 tahun mendatang

Tahun 2009 adalah tahun politik. Tahun dimana penentuan komposisi kepemimpinan lima tahun mendatang dilakukan. Untuk ketiga kalinya pemilu secara demokratis digelar pasca reformasi 1998. Namun hingar bingar pemilu kali masih menyisakan sejumlah masalah. Dari persoalan logistik hingga masalah daftar pemilih tetap (DPT). Bagaima seorang Bima Arya Sugiarto dari Charta Politica memandang hal ini dan harapan lima tahun mendatang? Pengamat politik muda ini berbagi pandangannya dengan Widodo dan Sukman, tim redaksi Majalah HB di kantor asrinya di Jl. Cipaku II/18, Jakarta Selatan. Berikut petikan wawancaranya:

  1. Pendapat Anda soal pemilu tahun ini?

Secara umum memang ini ada dua pemilu ya, legislatif dan pilpres. Kalau kita evaluasi pemilu legislatif kali ini secara prosedural tidak lebih baik daripada 2004. Bahkan cenderung lebih buruk. Karena ada kisruh dengan DPT. Itu catatan pertama. Catatan kedua adalah tingkat partisipasi politik dalam pemilu legislatif juga lebih rendah dibandingkan 2004 yang mencapai 40 %. Tetapi sebetulnya kalau coba kita lihat dari perspektif optimis pemilu legislatif secara garis besar itu memiliki output yang baik karena pertama kali suara terbanyak diterapkan. Dan banyak sekali caleg yang lolos bukan karena nomor urut, tetapi karena berada ditengah-tengah begitu. Ini bagus. Artinya rakyat sudah mulai digiring untuk memilih orang bukan lagi partai. Nomor dua, kalau kita lihat komposisi di anggota DPR terpilih ini menarik karena jumlah pendatang baru ini hampir 70 %. Di Amerika saja negara yang demokrasinya sudah mapan tidak lebih dari 10 % jumlah pendatang baru ini. Jadi dari segi jumlah kalau dalam konteks ini sebetulnya regenerasi sudah terjadi secara massif, secara luar biasa di parlemen. Harusnya kita bisa berharap 70 % pendatang baru ini bisa memberikan perubahan signifikan.

  1. Tapi pada kenyataannya pendatang baru ini adalah kroni dari misalnya anaknya gubernur, kerabat pejabat, dll?

Memang harus kita lihat prosentasenya ya. Berapa banyak? Sama halnya dengan artis. Mereka sering dibilang heboh. Tapi artis kan kali ini cuma 15 orang dari 560 orang. Ini artinya kurang berapa ya? Ya kurang dari 5 %. Jadi masih sedikit begitu. Dan kita harus teliti juga yang kroni ini berapa persen. Nah tetapi harus diingat bahwa semua harus dilihat satu-satu. Kalau kita mau bicara politik dinasti atau kroni, itu juga harus dilihat satu-satu. Ada politik dinasti yang justru bagus ya karena betul-betul dikader, betul-betul disiapkan oleh orang tuanya. Tapi memang ada yang gak siap, dipaksa begitu. Artis pun juga begitu. Ada artis yang tidak memiliki kapasitas. Ada yang karbitan. Tapi memang ada yang memiliki jam terbang dan sangat artikuler. Jadi kita jangan sampai terjebak dikotomi pendatang baru pasti jelek, artis pasti tidak perform, harus dilihat orang per orang.

  1. Persoalan DPT adalah masalah terbesar dalam pemilu kali ini. Sebenarnya apa yang terjadi? Bukankah harusnya bisa belajar dari pemilu sebelumnya?

Ya menurut saya yang terjadi adalah kelemaahan koordinasi antara KPU sebagai penyelenggara dan pemerintah yang sebetulnya punya fungsi untuk merapikan sistem kependudukan. Intinya sebetulnya itu. Saya tidak melihat adanya agenda yang sistematik sebetulnya untuk memanipulasi daftar pemilih tetap ini karena pemainnya kan banyak. Jadi sangat beresiko kalau incumbent ini bermain diwilayah itu.

  1. Namun, bukankah banyak yang mensinyalir hal itu dilakukan?

Ya wajar saja yang mengatakan hal itu. Bisa saja. Tetapi kalau kita lihat per daerah itu ternyata manipulasi juga dilakukan oleh partai-partai lain. Jadi kalau saya lebih melihat ini kisruh secara kolektif karena KPU tidak memiliki kekuatan melakukan planning yang baik. Harusnya KPU kan bisa belajar dari pemilu tahun 2004. Ini juga karena faktor bahwa anggota KPU itu baru semua. Kalau ada yang lama kan ada proses kontinuitas. Ada kesinambungan. Nah sekarang kan tidak ada.

  1. Artinya perlu adanya kontinuitas itu?

Menurut saya anggota KPU ini harusnya tidak baru semua. Harusnya tetap ada yang lama. Satu atau dua orang disisakanlah supaya ada semacam early warning ada pra kondisilah tentang apa yang akan dihadapi.

  1. Artinya itu bisa jadi salah satu kondisi untuk memperbaiki pemilu mendatang?

Iya kira-kira memang begitu.

  1. Saling klaim kebenaran capres-cawpres memanas. Apakah ini sehat untuk demokrasi kita?

Dalam demokrasi yang namanya perdebatan itu sehat. Malah sangat sehat ya. Kalau menurut saya pilpres tahun ini lebih maju dibandingkan pilpres 2004. Karena kandidat sebelum disahkan saja sudah ada perdebatan. Tentang ekonomi kerakyatan, neo liberal, dan kemandirian ya. Ini bagus sekali sehingga rakyat diajak berpikir, rakyat diajak untuk terlibat secara lebih dinamislah untuk menggali masing-masing perspektif itulah. Tetapi catatannya adalah ini ide-ide besar ini, konsep besar ini, konsep yang sifatnya jargonistik ini harus diturunkan, jangan diawang-awang saja. Bicara ekonomi kerakyatan itu apa, neo liberal itu apa. Karena yang lulus SD tentunya tidak paham istilah neo lib itu apa. Jadi yang kita tuntut itu dua hal. Para tim sukses capres cawapres maupun capres dan cawapres harus mampu untuk menyederhanakan dengan bahasa yang mudah dipahami rakyat. Yang kedua, menurunkan dalam level implementasi dan aksi. Contoh konkritnya apa. Relevansinya apa bagi kehidupan rakyat. Debat neolib dan liberal tidak akan ada artinya jika rakyat kemudian tidak diajak untuk paham bahwa oh jika ini maka efeknya bagi kehidupan kita akan seperti apa.

  1. Namun bukankah hal ini justru yang menjadi bahan jualan semua kandidat sekarang? Antar neolib dan ekonomi kerakyatan?

Ini kan karena Boediono yang dipilih sebagai wapres. Kalau yang dipilih Hidayat Nur Wahid mungkin isu ini tidak akan naik. Jadi jelas sekali. Ini ada nuansa politisnya. Ada labeling. Ada diferensiasi yang berusaha dilakukan. Karena memang ada kecenderungan orang Indonesia tidak suka jika negara atau pemimpinnya itu takluk pada asing. Tidak pada rakyat. Nah ini neolib kan kesannya tidak pro kepada rakyat begitu.

  1. Tapi bukannya pada kenyataanya seperti itu pemerintah sekarang?

Ya kita harus lihat sebetulnya yang bicara neolib itu apakah tahu tidak dengan neolib ataukah bicara tentang kerakyatan konsisten tidak dari dulu seperti itu? Jadi menurut saya memang harus hati-hati. Lihat isunya dan lihat siapa yang bicara.

  1. Bagaimana perjalanan demokrasi kita dari 1998 hingga sekarang? Apakah ada perbaikan atau malah sebaliknya?

Menurut saya perbaikan itu ada. Tetapi track ini memang harus diluruskan gak boleh mencong-mencong, track ini juga harus dikuatkan. Ada hal-hal sudah baik seperti yang sudah saya sampaikan tadi. Di pilkada itu banyak anak-anak muda yang naik jadi walikota, jadi bupati, hingga gubernur itu bagus, di parlemen hampir 70 % anak muda itu bagus, tetapi bahwa di politik kita masih ada politik uang, kesepakatan-kesepakatan masih didasarkan kesepakatan pragmatis itu juga betul. Jadi memang secara umum arah kita sudah benar tetapi pembenahan itu harus dilakukan secara luar biasa.

  1. Mungkin jalannya sudah baik, tapi masih pelan-pelan begitu?

Iya masih pelan-pelan, masing bolong-bolong, kadang masih belok-belok begitu.

  1. Dalam pemilu kemarin politik uang masih menjadi kekuatan utama. Pendapat Anda?

Iya ini dilemanya. Ketika demokrasi di-install, diaplikasikan di tengah-tengah rakyat yang belum sepenuhnya terdidik, ditengah-tengah rakyat yang belum sepenuhnya juga kenyang, perutnya masih lapar. Jadi sulit bicara pada level tataran rasionalitas. Kebanyakan masih bicara pada tataran pragmatis dan emosional. Jadi keputusannya berdasarkan pada hal-hal yang pragmatis untuk menyambung hidup. Bukan saja pemilih tetapi para politisi juga begitu. Politisi ini masuk ke partai, jadi caleg, motivasinya adalah untuk hidup. Bukan mengabdi untuk publik. Jadi persoalan utamanya seperti ini. Dilema demokrasi yang dibangun di atas pondasi yang masih lemah secara ekonomi dan sosial ya seperti ini dilemanya.

  1. Disisi lain mungkin itu benar, tetapi rakyat juga begitu. Ketika pemilu legistalif kemarin misalnya, banyak rakyat yang minta uang ke caleg. Ini kan rakyat secara langsung menggiring caleg untuk ramai-ramai korupsi ketika terpilih?

Itu juga betul, tapi catatan saya begini memang biaya politik mahal ini jadi kepentingan bersama. Tetapi kita sering kali terlalu over estimate terhadap peranan uang. Segalanya memang perlu uang, tapi sebetulnya yang ini bukan segalanya. Ada caleg-caleg yang lolos dengan uang yang minim ya, karena saya percaya pada teori the economic of trust, semakin besar trust kita ini dimiliki ditengah publik semakin murah kita ini bekerja untuk berkampanye, tetapi semakin kecil trust itu di publik maka semakin mahal pula ongkos politik kita. Ini orang-orang yang tidak pernah turun ke bawah, ini bisa keluar 17 milyar. 18 milyar untuk menjadi anggota DPR itu kan tidak make sense ya. Ini karena gak ada trust. Tetapi ada orang yang hanya keluar 10, 20, 30 juta gitu karena memang punya citra yang bagus dan juga turun ke bawah begitu.

  1. Kita menganut sistem presidensial, namun disisi lain kita menganut sistem multipartai. Pandangan Anda?

Menurut saya jumlah partai tidak boleh lebih dari 6 ya. Harus lebih sedikit. Sekarang di parlemen ada 9. Saya harap di parlemen 2014 itu lebih ciut lagi menjadi 6 atau 5. Karena presidensil ini tidak compatible dengan parlementer. Presidensil ini harus diimbangi dengan jumlah partai yang sedikit di parlemen supaya presiden punya otoritas, supaya presiden punya ruang gerak untuk tidak selalu berhadapan dengan parlemen tetapi untuk menetapkan kebijakan. Kalau jumlah partai di parlemen ini banyak, presiden akan selalu mengalami kesulitan ya untuk tawar menawar dengan yang lain.

  1. Namun disisi lain kita begitu mudah mendirikan partai?

Itu bisa dilakukan rekayasa electoral namanya ya. Artinya nomor satu dibuat sesusah mungkin aturan mendirikan partai baru. Ini bisa diatur begitu. Kedua, dibuat satu sistem electoral treshold dan parlement treshold yang lebih kuat lagi. Artinya jika partai ini tidak mampu untuk memenuhi ambang batas sekian persen, gak boleh masuk parlemen kan. Nah sekarang ini parlement treshold adalah 2.5 %. Saya berharap tahun 2014 itu dinaikkan menjadi 5 %, jadi lebih tinggi lagi. Atau electoral treshold lebih kecil lagi. Sehingga kemudian orang berpikir ulang lagi banyak untuk mendirikan partai baru. Ya kalau susah lewat parlement treshold, ya gak bisa. Jadi pelajaran sebetulnya tahun 1999, 2004, dan 2009 ini mengajarkan pada kita bahwa jika tidak punya tokoh yang kuat jangan berani buat partai politik. Atau jika tidak punya ideologi yang kuat, jangan berani buat partai politik. Atau yang ketiga kalau uang pas-pasan juga jangan. Nah itu saja. Jadi orang mesti sadar, kalau tidak memiliki ketiga kekuatan itu ya tidak usah bikin partai politik.

  1. Dari ketiga capres-cawapres tidak ada diferensiasi pemikiran yang nyata. Kira-kira apa yang menjadi dasar rakyat untuk memilih mereka pada akhirnya nanti?

Ya itulah semuanya kan menggarap ekonomi kerakyatan ya, kemudian yang menjadi diferensiasi itu bukan diferensiasi gagasan, tetapi lebih kepada diferensiasi personality, diferensiasi leadership. Kalau dari segi gagasan sama, tetapi gayanya berbeda. Nah mungkin gagasan yang sama dbawa oleh gaya kepemimpinan yang berbeda, beda juga output-nya gitu. Nah ini gaya kepemimpinan kan beda-beda. Prabowo yang seperti itu, Megawati yang betul-betul menurut saya ibu rumah tangga begitulah, kemudian JK yang cepat sekali pergerakkannya, yang sangat pragmatis, atau SBY yang penuh perhitungan. Perpaduan antara pemikir strategi politik dan ekonom di SBY-Boedino, perpaduan antara nasionalis dan Islam, tentara dan pengusaha di JK-Win, dan perpaduan antara klan Soekarno secara biologis dan kira-kira ya tokoh Prabowo yang memiliki pemikiran lebih ideologis misalnya. Jadi diferensiasinya lebih kepada gaya kepemimpinan menurut saya, dibanding program, dll.

  1. Harapan Anda 5 tahun mendatang secara keseluruhan?

Ya nomor satu saya betul-betul berharap bahwa ada keseimbangan antara aspek demokrasi dan govern ability untuk berjalannya pemerintahan. Betul kita perlu demokrasi, kita perlu punya artikulasi yang jelas dari parlemen ya tentang nasib rakyat. Tapi kita juga harus paham bahwa the government should govern, pemerintah harus memerintah, program harus jalan. Jadi kita berharap 5 tahun ke depan elit politik ini tidak menguras seluruh konsen energi mereka hanya untuk perdebatan politik, perdebatan kekuasaan, tetapi lebih bertarung untuk mengimplementasikan program-program yang konkrit begitu. Jadi jangan sampai kebijakan pemerintah itu yang ideal itu dijegal. Jangan sampai oposisi itu asal beda. Kalau ada pemerintahan dengan kebijakan yang bisa didukung kenapa tidak? Kan begitu. Jadi esensi oposisi sebetulnya ini mengkritisi bukan sekedar menjegal begitu. Kira-kira begitu. Jadi kita berharap 5 tahun mendatang semua tahu porsinya masing-masing. Oposisi menjalankan fungsinya, incumbent menjalankan fungsinya, parlemen fokus pada ketiga fungsinya, pemerintah juga betul-betul paham apa yang dibutuhkan publik, dan bisa mengimplementasikan itu sampai level paling terbawah begitu.

(Dimuat di Majalah Hikmahbudhi 315)

No comments: