Sebuah hari di bulan Mei. Ketika itu aku masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Tepatnya kelas 3. Hari-hari kami lalui dengan belajar dan belajar. Maklum saja, setelah ujian sekolah terlewati beberapa hari, saya masih harus menggeluti soal-soal demi bisa masuk ke PTN yang saya idamkan. Saya sangat beruntung, karena diberikan kesempatan untuk mendapat pelajaran tambahan berkat kebaikan dari seorang Guru saya. Dengan bantuan ini, saya belajar pematangan materi di sebuah SMA terbaik di Jakarta Barat. Hampir tiap hari saya ke SMA tersebut dengan naik bis dari sekolah saya. Meski lelah, namun semua harus dijalani demi sebuah cita-cita.
Hari itu, seperti biasa sehabis bubar sekolah, saya langsung menuju SMA 78 di bilangan Kemanggisan. Sepanjang perjalanan semua terasa biasa. Kemacetan di kawasan Roxy yang kala itu belum ada jembatan fly overnya, membumbung di depan mata. Setelah oper ke metromini 91, saya berusaha menenangkan nafas. Jalanan masih seperti biasa. Orang beraktivitas seperti biasa. Rasanya memang tak ada yang istimewa hari itu. Belajar tambahan pun berjalan seperti biasa. Soal-soal dibagikan, lalu kami kerjakan. Habis itu pembahasan. Dari situ terlihat meningkat tidaknya prestasi kita dari hari ke hari. Setelah 2 jam-an berkutat di sekolah yang megah itu, akhirnya selesai juga belajar kala itu.
Pulang dengan bis yang sama. Metromini 91 warna orange. Sengaja aku duduk di dekat jendela agar mendapat angin segar. Agak ngantuk sebenarnya. Tapi aku paksakan melihat soal-soal yang tadi aku kerjakan. Ternyata banyak salah karena kecerobohanku yang tidak teliti menjawab soal.
Bis yang aku tumpangi memang tak sesak. Maklum masih agak siang. Belum banyak orang pulang kantor. Menjelang di kawasan Tanjung Duren, bis ternyata tak jalan-jalan. Macet dimana-mana. Hampir semua penumpang menggerutu. Samar-samar terdengar, kenek bis meminta kami untuk turun karena bis sama sekali tidak bisa bergerak. Akhirnya setengah menanggung kantuk, aku paksakan turun dan melangkah, berharap diujung sana masih ada bis yang masih jalan. Ya. Begitu jalan, ternyata memang kemacetan parah terjadi. Kendaraan sama sekali tidak jalan. Saya terus berjalan ke arah Universitas Tarumanegara. Disini kondisinya malah makin parah. Selain kendaraan tidak ada sama sekali, beberapa titik telah terjadi pembakaran.
Aku tak ingat jelas apa yang terjadi. Aku menuju jembatan penyeberangan arah kampus I Untar. Dari atas jembatan, aku lihat barisan panjang pasukan loreng menghadap ke arah Grogol. Entah pasukan dari mana. Yang pasti jumlahnya sangat banyak. Juga membawa tameng dan senjata. Aku paksakan berjalan terus ke arah Grogol. Melewati kampus Tri Sakti, aku melihat beberapa mahasiswa teriak-teriak dari dalam kampus. Di bawah jembatan layang Grogol, sebuah truk sampah (kalau tidak salah) telah dijilati api. Sepanjang jalan depan Tri Sakti tumpah ruah oleh mahasiswa. Di seberangnya polisi mulai memainkan gas air mata. Aku sempat terkena sedikit. Agak perih. Tapi karena tak terlalu mengganggu, aku lanjutkan langkah kaki.
Lelah juga kaki melangkah. Di depan terminal Grogol, ternyata tak jua angkot berada. Semua mata terlihat terpana tak percaya apa yang terjadi. Sementara pompa bensin dekat terminal Grogol pun sudah dibakar massa. Massa mulai banyak bergerak dari arah Kyiai Tapa ke kampus Tri Sakti.
Terus saja aku melangkah. Di persimpangan Roxy, akhirnya aku menemukan bus kuning. Ya bus sekolah jurusan Grogol-P. Jayakarta yang berbelok arah. Di dalam bus sudah penuh sesak. Semua orang ingin segera mungkin sampai di rumah.
Sampai di asrama (saya tinggal di asrama bersama teman-teman), segera kami monitor radio. Dilaporkan bahwa ternyata sudah terjadi proses pembakaran didepan Roxy, lalu meluas ke Gajah Mada, dan itu artinya sudah tak terlalu jauh dengan tempat kami tinggal. Kami semua tidak boleh keluar rumah. Beberapa kali telpon asrama berdering. Intinya sama-sama menanyakan keadaan kami seasrama. Stok makan kami cek. Beruntung stok makanan di rumah masih tersedia. Telpon masih berdering. Hingga akhirnya, salah seorang pengurus asrama meminta salah seorang dari kami untuk melihat kondisi rumah familinya di kawasan Kota. Akhirnya aku memberanikan diri keluar rumah. Aku berjalan keluar rumah. Ternyata benar berita radio. Bangunan hampir di sepanjang jl Gajah Mada & Hayam Wuruk banyak yang dibakar dan dijarah. Glodok pun tak luput dari pembakaran & penjarahan. Perasaan was-was tentu ada, namun tetap aku beranikan diri melangkah ke Kota. Ada yang bawa gerobak untuk mengangkut kulkas dan TV super besar. Ada anak kecil yang bawa gitar listrik. Sesekali orang-orang yang melihat ditawarinya. Orang sebelahku, suatu kali dia tanya: Mas, kok gak ikut ambil barang-barang disana?" tunjuknya ke arah Harco. "Enggak mas, cuma mau lihat sekitar aja kok"jawabku seketika. Banyak orang lalu lalang dengan berbagai bawaan. Yang pasti banyak barang elektronik. Makin sore makin banyak saja orang yang menjarah.
Agak sore aku langkahkan kaki pulang. Di sana sini masih banyak pembakaran dan penjarahan. Juga pelemparan kaca-kaca gedung. Di rumah, kami sama-sama memantau berita via radio. Sebab setiap saat radio meng-update beritanya. Pembakaran yang pasti makin meluas. Sentra perdagangan menjadi prioritas. Entah apa sebabnya. Kala itu yang aku ingat cuma satu: Manusia dan binatang tak ada bedanya. Semua menjadi anarkis tak terkendali. Entah dimana aparat kita.
Hari-hari berikutnya hanya dilengkapi dengan ketidakpercayaan atas peristiwa ini. Berita terakhir, terjadi penembakan di kampus Tri Sakti yang tadi siang baru saja aku lewati. Hah??? Gila......
Hari kelabu menjadi historikal tersendiri akhirnya. Pesta perpisahan SMA yang sudah kami siapkan jauh hari pun tak terjadi terlaksana. Proses penerimaan NEM pun di sekolah sepi sekali. Beberapa teman bahkan sudah berangkat ke luar negeri menyelamatkan diri.
Hari-hari berikutnya, lembar koran kita disuguhi berita tentang reformasi & KKN. Dan ternyata sampai sekarang berita tentang ini tak pernah habis dibahas & di kupas. Kala itu, mahasiswa mampu menduduki gedung "rakyat" dan akhirnya memaksa Pak Harto lengser kepabron setelah berkuasa 32 tahun. Demo besar di Jakarta diikuti juga kota-kota lain. Rasanya kala itu, mahasiswa dan rakyat memiliki satu musuh: Soeharto.
Sekarang sudah 10 tahun berlalu. Angin reformasi memang sudah kencang terasa. Pers bebas tumbuh. Orang-orang bebas bersuara tanpa perlu takut diculik & di cekal lagi. Itu sekelumit buah manis reformasi. Tapi juga reformasi masih meninggalkan beberapa PR besar. Kesulitan hidup adalah persoalan mendasar. Dan itu makin diperparah dengan kenaikan BBM bertubi-tubi. Otomatis kehidupan rakyat makin sengsara saja. Mengutip demo mahasiswa di Jogja beberapa waktu lalu: "Naik-naik, BBM naik, tinggi tinggi sekali. Kiri kanan ku lihat banyak rakyat yang sengsara". PR reformasi sekarang adalah bagaimana meningkatkan derajat kehidupan rakyat di tengah neoliberalime dan kapitalisme yang merajalela. Sebab kebanyakan rakyat sekarang memaknai reformasi sebagai REPOT-NASI! alias susah cari makan.
No comments:
Post a Comment