Friday, March 25, 2011

Suparman yang Super

Peluh terlihat didahinya. Jalannya cepat dan tangkas. Tak terlihat lelah. Tak berselang lama, ia sudah didalam kelas, mengajar. Suaranya lantang, meminta murid di ujung bangku membaca buku sesuai perintahnya. Tak jarang ia sedikit membentak. Tidak kasar, tapi tegas. Dialah Suparman. Biasa dipanggil Pak Parman. Guru seni sekolah Seraphine Bakti Utama, Cengkareng, Jakarta Barat.

Tubuhnya mengalami kelainan pertumbuhan sejak kecil. "Semua keluarga saya normal mas" ujarnya mulai bercerita. "Gak tahu kenapa, tapi ya sudahlah saya terima aja". "Memang awalnya sulit menerima, tapi ya lama-lama terbiasa juga". "Keluarga saya itu keluarga besar, 8 bersaudara". "Semuanya normal" tegasnya. Suparman kecil dihabiskan di Kutoarjo, pinggiran Jogja. Sekolah ia jalani selayaknya anak normal lainnya. Meski ejekan juga tak terhindarkan. "Dulu, kalau ada yang mengejek saya marah". "Tapi kalau sekarang, ya sudahlah, buat apa juga". Seni, menjadi daya tariknya. Dari situ pula, ia akhirnya mulai ikut bermain dalam berbagai pertunjukkan seni, terutama ketoprak, seni tradisional Jawa. "Dari setiap tampil, saya selalu jadi punokawan" imbuhnya. Hingga SMA, hal ini terus dilakukan sambil sesekali mengajar di SMA Seraphine di Jogja. Ketika kuliah ia bimbang. Ayah angkatnya ingin ia mandiri dengan menempuh pendidikan ekonomi. Tapi hati kecilnya ingin ke seni. Hingga semester 3 ia berhasil mengelabui keluarga, terutama ayah angkatnya. Ia mengaku kuliah ekonomi, padahal sehari-hari ia justru kuliah di Akademi Seni dan Drama. Ayah angkatnya marah besar ketika tahu. Sejak saat itu, sang ayah angkat tak mau lagi peduli dengan keseharian Suparman. Meski berusaha mandiri, Suparman, akhirnya tak kuat juga menanggung sendiri biaya hidupnya. Kehidupan pertunjukkan melalui ketroprak kembali dilakoni.

Lepas dari ketoprak, ia sempat mengadu keberuntungan di sebuah kafe di Cikarang. Dari menjadi komedian, hingga menjadi asisten manajer. Tapi hatinya selalu berontak. Suparman pun kembali lagi ke desanya. Sempat menganggur, Suparman akhirnya menemukan jalan. Jodoh bersambut ketika ia diminta untuk membantu SMA Seraphine Jogja membuat operet dalam menyambut Natal. Kepala sekolah puas dengan pertunjukkan itu. Suparman pun ditawari untuk menjadi guru seni di Sekolah Seraphine Bakti Utama, Cengkareng, Jakarta.

Meski bertubuh mungil, tak tampak dari murid-muridnya yang memandang ke bawah. Semua memandang ke atas. Mengikuti semua perintahnya. Pertanda hormat. "Kalau sudah mengajar seni, drama, atau teater, saya kadang merasa seperti orang normal mas", "Gak ada lagi tuh perasaan kalau tubuh saya ini kecil begini" ujarnya terbahak.

Melalui seni, Suparman ingin mendidik karakter anaknya dengan baik. Tanpa lelah ia selalu menyemangati anak didiknya. Salah satunya Selly, mantan anak muridnya yang hingga saat ini masih aktif mendampingi. Meski sudah lulus, Selly terus membantu Pak Suparman mengajar seni di sekolah. Selly sendiri merasa telat mengenal Pak Parman. "Saya sudah mau lulus, Pak Parman baru masuk" sesalnya sambil berkaca. Baginya, Pak Parman bukan sekedar guru, tapi juga teman yang baik untuk berbagi.

Meski bertubuh mungil, Seuparman memiliki semangat yang super luar biasa. Kegemarannya dalam berkesenian mengantarkan murid didiknya meraih banyak prestasi. Teater, drama, dan musik menjadi ladangnya dalam menempa diri dalam berbagi. Pak Suparman yang super memberi bukti kepada kita semua bahwa segala keterbatasan tak menghalangi tercapainya beragam harapan dan impian. Selama ada niat dan tekad yang kuat, niscaya semuanya akan terwujud.

Pak Suparman benar-benar manusia Super.

No comments: