Friday, March 25, 2011

Siapa mereka?

Senin. Langit sudah gelap. Matahari juga sudah sejak tadi terbenam. Wajahnya memelas. Tangan kanan menjulurkan bekas minuman fastfood ke arah pengendara yang berhenti di lampu merah. Bajunya pun lusuh, pertanda belum tersentuh air mandi. Kakinya terpasung di atas trotoar pemisah jalan. Malas bangkit. Entah sakit, entah menahan lapar.

Selasa. Cepat sekali kakinya menuruni tangga eksalator. Tergopoh ia menggendong anak perempuannya yang terlihat beringus. Tergopoh pula ia karena menggendong bekas kardus di pundak lainnya. Beberapa detik langkahnya sudah tertelan waktu. Mungkin takut tertangkap petugas keamanaan yang rutin mengusir sambil bawa pentungan. Sorenya aku melihat dia lagi. Di dalam pagar pemisah jalan,di bawah jembatan penyebarangan mall, ia sibuk melipat kardus dan plastik yang dikumpulkan sedari siang. Deru lalu lalang kendaraan tak dihiraukan. Baginya makin cepat kardus dan plastik itu rapi, makin cepat pula ia bisa memberi makan anaknya.

Rabu. Jakarta masih sangat gelap. Tadi diujung sana, sebuah gerobak mulai bergerak. Mengais sisa sampah kota. Di dalam gerobak, tergolek istri dan anaknya pulas. Meski bercampur bekas sampah, mereka tak terganggu. Mungkin sudah biasa. Tak menjanjikannya lagi lahan pertanian di desa membuatnya angkat kaki ke kota. Ibukota adalah hamparan harapan baginya. Meski tak memiliki keahlian, tapi ibukota tetaplah tumpuan mencari makan. Gerobak ini pula menjadi rumahnya ketika malam tiba. Dengan atap rel kereta yang menjulur dari Kota hingga Manggarai, keluarga ini biasa tinggal. Bau anyir sampah sudah menjadi keseharian keluarga ini. Bau sampah adalah bau rupiah. Mungkin itu pemikirannya.

Kamis. Lalu lintas pagi itu macet. Orang berebut segera naik bis kota menuju tempat kerja. Penuh sesak bis kota biru itu melaju. Tak berselang naik 3 orang berpakaian sederhana.Meski sesak, mereka mendesak minta tempat. Tak berselang lama, mereka bersuara. "Pak, Bu, saya bukan mau nodong, saya cuma minta keikhlasan ibu, bapak sekalian. Seribu, duaribu, tidak akan membuat bapak, ibu menjadi miskin. Asal tahu aja, saya baru aja keluar dari Cipinang". Sontak, bis sesak itu makin sumpek karena keberadan mereka.

Jumat.Perempatan jalan. Sore itu ramai sekali. Maklum, orang mulai bergegas pulang. "Tahan, tahan. Ayo Pak, belok kiri pak, ya terus aja terus terus" ujar salah satu dari mereka. Sementara yang lain menahan mobil lain. Sambil mengacungkan ember bekas, mereka minta tinggalan recehan. Mereka biasanya berkelompok. Hasil yang didapat di ember, dibagi setelah operasi selesai. Kerja mereka terkadang membantu, tapi juga terkadang menyebabkan kemacetan makin panjang. Karena yang mereka kejar sebenarnya bukan membantu kemacetan, tapi sejumlah rupiah saja. Pak Ogah, itulah sebutannya.

Sabtu. Sore itu hujan menderu. Padahal pagi-siang, panas menyengat. Cuaca memang tak pernah bisa diprediksi, bahkan oleh BKMG sekalipun. Prakiraan mereka sering kali tak tepat. Ya namanya juga prakiraan. Kadang tepat, kadang pula sebaliknya. Anak-anak berlarian basah kuyup. Padahal tangan mereka menggenggam payung. Oh, ternyata payung itu tidak mereka pakai. Tapi mereka tawarkan untuk siapa saja yang membutuhkan. Tentu, ganjarannya, beberapa lembar ribuan berpindah ke kantong mereka. Menggigil kedinginan tak mereka hiraukan. Yang penting, sang pelanggan terlayani. Makin banyak yang memakai payungnya, makin banyak pula rupiah masuk.

Minggu. Hari ini aku belum melihat mereka-mereka lagi. Entah kemana mereka perginya. Atau aku saja yang tak cermat mengamati lagi. Aku justru melihat Pak BY di TV minta kenaikan gaji. Katanya sudah 7 tahun ini, dia gak naik gajinya. Padahal gaji Presiden itu 65 juta sebulan. Belum lagi dana taktis yang angkanya bikin bulukuduk berdiri. 2 M. Itu tentu bukan sedikit. Itu tentu jauh dari cukup. Itu tentu bisa mensejahterakan mereka-mereka yang ada di hari Senin-Sabtu. Agak lama aku termenung. Aku merasa makin gak kenal siapa sebenarnya mereka. Kepada siapa sebenarnya mereka bekerja?

Benar-benar makin tak kenal siapa mereka!

No comments: