Mata bulatnya tajam ke sana kemari. Ekor putihnya berkibas. Telinga panjangnya menjulang ke udara. Dengan jalan pelan ia menghampiri kami. Langkahnya mantap walau tak terlalu cepat karena badan yang gemuk. Tak tampak rasa ketakutan di wajahnya. Padahal kami baru bertemu pertama kali. Bulunya merona putih bercampur hitam. Entah siapa namanya. Aku sebut saja si belang. Sebab bulunya cuma 2 warna hitam & putih. Dia menghampiri kami. Satu per satu berusaha di dekati. Tak lama ia pun mendekatiku.
Cerita seorang kawan, Idris, dari Yayasan Terangi, si Belang ini dibawa dari Bogor. Dulunya sekawan tiga ekor, namun yang berhasil beradaptasi tinggal si Belang. Entah sampai kapan si Belang masih bisa bertahan.
Si Belang di pulau Panggang ini menyeruakkan pikiranku ke masa lalu. Masa dimana aku masih pakai baju merah putih. Masa itu kami sekeluarga memelihara si Belang hampir 40an ekor. Sekandang besar. Tiap hari kami harus mencari rumput & beraneka pakan lain. Pemeliharaannya tak bisa main-main. Pergantian pakan, cukup sirkulasi udara, persediaan air, dll adalah sebagian kecil dari ritual pemeliharaan si Belang dkk. Salah urus sedikit saja, si Belang satu per satu meninggalkan kita. Dan itu juga yang terjadi dengan si Belang kami. Entah karena kesibukan kami yang harus ikut membantu orang tua, satu per satu si Belang meninggalkan kami. Saat-saat yang paling mendebarkan adalah ketika si Belang betina beranak. Sekali beranak bisa mencapai 5-6 ekor sekaligus. Hampir sama dengan anjing.
Flash back sebentar, keluarga kami pada dasarnya penyuka binatang. Setidaknya ada kambing hingga 8 atau malah 10 ekor ya. Ayam, belum lagi 2 anjing kami. Poni dan Bandit. Poni anjing betina dengan corak belang juga. Hitam dan putih. Poni sudah beranak pinak entah sampai berapa. Tiap kali kami ke sawah, Poni selalu membuntuti dan menjaga kami dari belakang. Bahkan suatu kali, tanpa kami sadari dia berhasil menangkap "garangan". Garangan dalam bahasa kami adalah sejenis hewan liar yang merusak tanaman. Hari itu Poni membawa lauk untuk kami hari itu. Sebagai balasannya, kami berikan Poni porsi besar. Poni seperti anjing kampung lainnya, selalu menjaga kami di malam hari. Dia tidak pernah tidur di dalam rumah. Jarang sekali dia seliweran di dalam rumah. Satu dua kali dia di dalam rumah karena urusan makan. Kami biasanya makan bareng. Poni sangat penurut. Tiap kali makan kami selalu memintanya duduk. Dan dia menuruti. Mungkin itu karena kami latih semenjak dia kecil. Sayang sekali, Poni harus meninggalkan kami dengan tragis. Sebuah motor mencabut nyawanya. Kami pun sangat kehilangan.
Selang beberapa lama, kami menemukan penggantinya. Masih kecil. Kira-kira baru berusia beberapa bulan. Kami namai Bandit. Bandit artinya bandel, karena kali ini anjing kami jantan. Bulunya berwarna coklat. Tiap kali pulang sekolah, rasanya kurang afdol kalau tidak menggendongnya atau memberi tajin kesukaannya. Sayang, Bandit juga meninggalkan kami dengan tragis. Kali ini sebuah bis mini. Poni & Bandit meninggalkan kami selamanya. Itu kejadian sudah lama sekali. Rasanya masa-masa itu, sekarang ini sedang aku sangat rindukan. Entah sampai kapan aku akan kembali dikelilingi Si Belang, Poni, ataupun Bandit lagi. Poni, Bandit dimana kamu sekarang??
No comments:
Post a Comment