Rutinitas kita terutama di kota besar yang didominasi semua yang serba cepat, membuat kita tak pernah “berhenti sejenak“. Kita selalu berputar dari satu tempat ke tempat lain yang tak pernah kunjung selesai. Semua lini kehidupan kita, dipacu untuk selalu berlari dan berlari. Tanpa pernah “berhenti sejenak“. Karena tergesanya kita, apapun yang kita lakukan rasanya tak pernah ternikmati dengan baik. Tuntutan hidup membuat kita selalu tergesa. Berangkat kerja selalu terburu-buru. Mau bukti? Setiap hari berapa ribu bunyi klakson kita hamburkan di jalanan, pertanda kita tak mau bersahabat dengan pengguna jalan yang lain.
Padahal “berhenti sejenak“itu ada perlunya. Jika kita tak mau terburu-buru berangkat ya bisa bangun pagi dan berangkat pagi. Kita pasti bisa menikmati perjalanan. Siapa tahu di tengah perjalanan itu kita malah menemukan hal-hal yang selama ini terlewatkan begitu saja. Misalnya, tempat makan enak, tempat nongkrong baru, yang semuanya itu sebenarnya sudah lama ada tapi kita tak pernah melihatnya karena selalu diburu dan terburu-buru.
“Berhenti sejenak“ penting kita lakukan demi menjaga keseimbangan raga. Bagi saya “berhenti sejenak“ itu sama dengan kontemplasi. Tak perlu tempat yang sunyi senyap. Yang penting kita bisa konsentrasi. Sebenarnya “berhenti sejenak“ itu ya menyadari sesadar-sadarnya apapun yang kita lakukan. Guru SMA saya pernah mengatakan bahwa pikiran itu ibarat kuda liar. Dia akan terus liar dan meronta. Sebentar ingin ini sebentar ingin itu. Begitu satu keinginan dituruti, dia pasti akan menagih keinginan yang lainnya. Demikian seterusnya hingga tak terbatas lagi keinginannya. Apalagi pikiran selalu lari ke masa lalu dan masa yang akan datang. Bukti konkretnya adalah kita tidak pernah bisa menyadari apa yang sedang kita lakukan. Misalnya saat ini kita sedang memotong sayur di dapur, tapi pikiran kita sudah shopping di mall. Akibatnya tak sengaja tangan kita teriris pisau.
Pola konsumerisme yang membabi buta juga perlu kita hentikan barang sejenak. Kita tak selalu harus melihat lemari pakaian di etalase-etalase pusat perbelanjaan. Saatnya kita melongok ke lemari pakaian kita sendiri di rumah. Berapa banyak pakaian yang cuma sekali pakai. Berapa banyak yang masih bagus, dll. Belanja boleh saja. Tidak ada yang melarang. Tapi tidak perlu jor-joran. Sebab jika tidak, seperti seorang teman saya, lemari kita sudah tak cukup menampung pakaian lagi!
Sudah saatnya kita mengistirahatkan semua indera untuk “berhenti sejenak“. Kita nikmati sesadar-sadarnya nafas yang tak pernah kita sadari sebelumnya. Apalagi tanpa nafas kehidupan pasti terpenggal! Kita hentikan sejenak kaki yang terus berlari. Nikmati dan sadari apa yang ada di sekitar kita sekarang juga. Sudah saatnya kita pause dari hingar bingar jalanan kehidupan.
No comments:
Post a Comment