Monday, August 8, 2011

Teror Sahur

Jakarta, 02.30

Dak dik. Dar Der Dor. Tang Tang. Ting Tung. Bkekk......
Bunyi-bunyian itu keras terdengar. Sepertinya dipukul persis di sebelah telinga. Sangat memekik. Entah apa yang merasuki orang-orang itu begitu kejam dengan tetabuhannya. Di luar sana gulita masih terbenam.

Bulan ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, umat Muslim dunia melakukan ibadah puasa. Saya lebih suka menyebut Muslim daripada Islam. Muslim dibenak saya, yang bukan pemeluknya, terdengar Indah, Teduh. Sementara Islam, karena beragam atribut, saya merasa Garang, Tukang Bikin Onar, Kerusuhan, juga Terorisme.

Dari kecil sampai hari ini, saya memiliki banyak kawan Muslim. Bukan Islam. Bahkan keluarga besar almarhum Ayah saya adalah pemeluk Muslim yang baik. Sampai detik ini. Juga Ketika saya kuliah dulu, hampir semua kawan saya adalah Muslim. Dan mereka memperlakukan saya sebagai seorang minoritas dengan baik.Intinya Muslim yang saya kenal benar-benar sangat baik dan menyejukkan.

Kembali ke puasa. Tahun ini adalah tahun kedua saya tinggal sendiri, di sebuah petak kecil. Seperti tahun lalu juga, puasa kali ini terasa lebih ramai di sekitar rumah. Gang sempit menuju rumah, hampir pasti selalu penuh kendaraan lalu lalang. Apalagi menjelang jam buka puasa. Hampir semua lapak makan & minuman diserbu warga. Baik yang puasa & tidak, sama-sama berburu. Terutama hidangan yang manis. Seperti bunyi iklan, "berbukalah dengan yang manis"....

Hampir tiap hari, saya tidur jam 12an ke atas. Jam bisa terlelap sejam kemudian. 1 hingga 2 jam kemudian, biasanya berbagai bebunyian di nyalakkan! Saya bilang menyalak karena suaranya memekakkan telinga. Apaun di tabuh, di pukul. Seolah semua harus bangun. Seolah semua tidak bisa bangun untuk sahur. Saya yakin seorang Muslim yang taat, sekalipun tidak dibangunkan dengan "keras" seperti itu, jika memang puasanya sudah diniati dengan tulus, pasti akan bangun dengan sendirinya. Kebetulan saya memiliki beberapa kawan yang melakukan puasa tidak hanya bulan puasa. Dan mereka bisa mengatur diri sedemikian rupa sehingga dia bisa bangun tepat pada waktunya, tanpa harus di "teror". Saya yakin, pemeluk Muslim yang baik sekalipun, jika dibangunkan seperti itu, pasti akan berkeluh. Bahkan bisa jadi akan mematik emosi. Ujung-ujungnya niat untuk melakukan ibadah puasa pun menjadi berkurang.

Dalam hati saya berpikir, apa memang tidak ada cara yang lebih sopan untuk membangunkan orang? Bukankah tujuan baik harus disertai tindakan yang baik, agar tujuannya tercapai dengan baik? Bukankah puasa adalah ibadah? Apakah yang namanya ibadah harus dijalankan dengan baik? Biar pahalanya juga baik?Apakah karena merasa mayoritas, jadi tak perlu kewajiban untuk menghormati yang minoritas?

Mungkin MUI perlu memberi fatwa untuk urusan "beginian". Jangan cuma kasih fatwa urusan "begituan".


Tabik,


No comments: