Thursday, April 28, 2011

Manusia Gila

Berikut sebuah catatan tentang mereka yang cinta dengan negerinya. Mereka yang jarang berkeluh. Mereka yang lebih memilih untuk melakukan sesuatu untuk berbagi. Mereka yang banyak disebut orang banyak sebagai orang-orang "gila":

1. Dosriana Bakkara












Hilir mudik kereta lewat persis didepan mata meraung-raung minta jalan. Rumah-rumah semi permanen juga berderet, berserak di tepi. Di ujung sana, seorang ibu menelan dalam-dalam asap rokok yang baru dipatiknya. Matahari terasa membakar. Wajahnya pucat pasi kecoklatan. Beberapa pemuda tanggung, bekerja membangun toilet. Di seberangnya seorang ibu, membalut tubuhnya dengan handuk. Rambutnya masih basah. Sebagian besar warga yang tinggal bekerja di sektor informal. Kaki lima hingga pengemis di jalan.

Di sudut lain, suara anak-anak bersautan. Riuh, mengikuti setiap kata yang keluar dari mulut Dosriana Bakkara. Sejak 2007, Mis Dos, begitu Dosriana biasa dipanggil, mendedikasikan penuh waktu dan tenaganya mendidik anak-anak di bantaran rel kereta api, Jl. Salak, Medan. Dua ruangan semi permanen ia sewa dengan kocek pribadi. Semua dilakukan atas nama panggilan. "Kalau ada niat, pasti ada jalan kok Mas" sambungnya ketika ditanya pendanaan. Lulusan FISIP USU ini, melihat bahwa anak-anak tidak akan bisa memutus kemiskinan orang tuanya jika terus menerus turun ke jalan dan tidak mengenyam pendidikan. "Anak-anak ini, sangat rentan Mas" ujarnya. "Ya karena mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk belajar, padahal secara akademik mereka juga tidak bodoh". "Mereka pintar, tapi kurang pembinaan". "Bayangkan kalau mereka tidak berpendidikan, pasti ujung-ujungnya akan turun ke jalan".

Dosri masih ingat betul, bagaimana pandangan orang pertama kali. Kecurigaan terpancar dari warga sekitar. "Mereka sebenarnya juga orang-orang yang rentan" katanya. "Rentan, karena memang tidak banyak yang memihak mereka, terlebih pemerintah". Berkat kegigihannya, perlahan warga sekitar mendukung usaha ini. Bahkan mereka merasa, anak-anaknya makin rajin ke sekolah karena Dosri. "Ini adalah sekolah alternatif".

Tak sekedar memberi pelajaran akademik, Dosri yang dibantu beberapa relawan dari mahasiswa juga membantu anak-anak rentan ini untuk belajar tata krama, sopan santun, kebersihan, dan juga karakter. "Memberi bahan ajar ini jauh lebih sulit daripada belajar akademik" ujarnya. Lanjutnya, mereka kan sudah terbiasa hidup tanpa aturan, di jalanan. Untuk mencegah anak-anak ini turun ke jalan menjadi pengemis, Dosri memperpanjang jam belajar di sekolah. "Ini semata-mata untuk melindungi mereka". "Jika mereka lama di sekolah kan berarti kesempatan mereka turun ke jalan berkurang, harapannya mereka nanti tidak lagi turun ke jalan" harapnya.

Bukan hanya warga sekitar yang awalnya menaruh curiga terhadap upaya Dosri ini. Cibiran dan keheranan juga tampak dirasakan Dosri dari orang-orang terdekat. Maklum saja, sudah menjadi sebuah kelaziman, begitu lulus kuliah untuk mencari kerja. Menersukan kehidupan. Tapi Dosri memilih jalan lain. Jalan yang tidak biasa. Jalan yang sebagian besar orang disebut "gila".

Jadi orang itu harus berguna. Itu yang menjadi pegangan Dosri. "Dan warisan ilmu, melebihi warisan apapun", "Warisan paling kekal adalah warisan ilmu" tandasnya.

2. Munawar
Sabtu pagi yang cerah. Ibu-ibu terlihat riang tertawa mengikuti setiap gerakan instruktur. Sesekali mereka mengelap keringat. Sesekali juga terbahak bila melirik kawannya yang salah mengikuti instruktur. Semua gaduh, tapi santai. Mereka terlihat sangat menikmati. Itulah sepotong kegiatan dalam posyandu lansia yang digagas Munawar dkk di yayasan amil zakat, Ulil Albab, jl. Gagak Hitam, Medan. Yayasan in merupakan bukti kebulatan tekad dari Munawar dkk. Beberapa program diusung, mulai dari pendidikan, kesehatan, dan layanan kemanusiaan.

Dari sekian program itu, Posyandu Lansia menjadi salah satu program unggulannya. Sebulan sekali di minggu ke-3, ia menggelar posyandu bagi lansia di Jl. Gagak Hitam, Medan. Halaman ruko yang digunakan sekaligus kantor lembaga ini menjadi pusat pelayanan. Posyandu selama ini identik dengan anak-anak, tapi Munawar melihat bahwa lansia juga memerlukan layanan terpadu layaknya anak-anak. "Puskesmas disini sudah ada, tapi kita melengkapi saja pelayanan yang memang belum ada selama ini" ungkapnya. "Prinsipnya, kita menangkap kebutuhan masyarakat". "Dan inilah yang dibutuhkan mereka". Semua layanan disini gratis. Tidak bayar sama sekali.

Dalam posyandu lansia, layaknya posyandu bagi anak-anak, juga dilakukan penyuluhan kesehatan, timbang badan, dan juga pemberian gizi tambahan.

Munawar dkk boleh jadi bermimpi bahwa posyandu lansia ini tidak ada lagi di masa yang akan datang. Itu artinya, pelayanan terpadu masyarakat kita sudah berjalan dengan baik. Tapi rasanya mimpi ini masih belum terwujud dalam waktu dekat!

Munawar dkk adalah manusia "gila" yang mau mengurusi hal-hal yang dianggap orang adalah remeh temeh. Tapi Munawar bergeming bahwa justru mengurusi hal remeh temeh ini ibarat menebar rahmat, menuai berkah.

3. Marandus Sirait


Pagi masih tersisa ketika kami menginjakkan kaki di sebuah kampung di desa Rang, Kec. Lumban Julu, Kab. Toba Samosir. 30 menit berkendara dari pinggir danau Toba. Pohon dan dedaunan, masih basah embun. Udara sejuk langsung kami hirup dalam-dalam. Tak berselang, sosoknya menghampiri kami. Ramah. Kulit wajahnya kecoklatan terbakar. Kumis dan jenggotnya menggelantung. Beberapa warna putih terhias. Bukti si empunya sudah berumur. Tapi melihat fisiknya, masih terlihat sangat liat. Dialah Marandus Sirait. Pengelola Taman Eden 100, sebuah lahan konservasi yang pernah menerima penghargaan Kalpataru untuk kategori perintis lingkungan tahun 2005 silam.

Dari guru musik beralih menjadi penggiat lingkungan. Itulah jalan yang diambil Marandus. Jika kebanyakan orang akan menggunakan tanah keluarga demi pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, hal ini tidak berlaku bagi Marandus. Tanah keluarga seluas 40ha, ia sulap menjadi lahan konservasi. Marandus menamakan Taman Eden ini sebagai tempat agrowisata rohani. "Siapa saja bebas masuk kesini untuk berkomtemplasi diri" ujarnya. Taman Eden diambil dari Nats Alkitab : Kejadian 2 ; 15 "Usahai dan Lestarikanlah Bumi".

Yang menarik dari taman ini adalah setiap batang pohon yang ditanam, ia sertakan nama penanamnya. Usaha inilah yang membuat taman eden hidup dan berkembang. Selain itu juga Marandus melakukan upaya pembibitan beberapa jenis tanaman, seperti durian, dll. "Biar orang lain juga bisa menanam dimana pun mereka mau" ujarnya.

Selain itu, dibantu seorang dokter, Marandus juga membudidayakan anggrek Toba yang sudah mulai langka. "Konservasi anggrek ini juga buat bahan penelitian" katanya.

"Kita sudah lelah berwacana tentang kerusakan alam dan lingkungan". "Sudah saatnya bertindak". Apalagi danau Toba juga sudah mengalami kerusakan yang parah. Makanya dibutuhkan usaha bersama untuk menyelamatkannya. Di sekitar sini saja, saya rasa, perlu 10 ribu orang yang melakukan seperti saya ini" sambungnya.

Marandus Sirait dan Taman Eden, memberi sepenggal kisah yang merefleksikan manusia dan bumi yang ikhlas dalam upaya pemulihan, pelestarian, dan perlindungan integritas ekosistem.

Negeri ini memang masih terus membutuhkan "orang-orang gila". Gila yang tak hanya pandai berdebat, gila yang tak hanya pandai mengeruti, tapi gila karena mau melakukan sesuatu yang berguna bagi orang banyak.

No comments: