Sekian lama dibumpat, akhirnya era itu datang juga. Sejak kran kebebasan dibuka Habibie, masyarakat bebas menumpahkan segala unek, aspirasi, dan kehendak. Hanya saja kata Buya Syafiie Maafif, kran itu terlalu lebar dibuka. Sehingga yang ada ya seperti sekarang ini terjadi. Dimana orang dengan bebas sesuka hati memotong hak orang lain tanpa beradab. Menghantam pihak yang berseberangan dengan pentungan seperti tragedi Monas minggu silam. Itu dilakukan kelompok yang mengatasnamakan pembela agama. Padahal agama mana sih yang menghalalkan kekerasan atas alasan apapun? "Boleh saja berbeda pendapat dan argumen, tapi yang dewasa dong"begitu kelakar teman suatu sore. Benar juga. Jika melihat yang terjadi sekarang, otak tak lagi dipakai sebagian orang untuk menyampaikan aspirasinya. Yang digunakan cuma otot dan okol. Yang penting apa yang diinginkan terpenuhi. Persetan dengan hak orang lain yang tercarut. Ini kan alam demokrasi, jadi bebas sesuka hati. Boleh bebas, tapi apa boleh bebas juga menginjak-injak orang yang berseberangan pikiran dan pendapat?
Alam bebas itu kini dimaknai dengan demonstrasi. Unjuk rasa biasanya identik dengan demontrasi. Demo itulah yang belakangan kerap terjadi. Bahkan intensitasnya ada tiap hari. Lihat saja TV kita. Tiap hari pasti selalu disuguhi berita demontrasi dengan berbagai sebab. Gaji yang tak dibayar, hak yang terampas, dan seabreg ketidakadilan disana. Prinsipnya demo atau unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau menentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak yang merugikan. Namun tak jarang unjuk rasa dan demonstrasi dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu dengan tujuan tertentu pula. Ringkasnya sesuai pesananlah. Jadi kelompok ini berunjuk rasa tergantung siapa yang bayar, walau tak paham betul apa yang diunjukrasakan. Maklum jaman sekarang cari pekerjaan susah. Bahkan Pram dalam salah satu tulisan mengatakan "orang Melayu itu kalau berjuang cuma sampai perut." Artinya, kalau perut sudah terisi, maka kekritisan hilang dengan sendirinya. Itu pula yang menghiasi wajah-wajah demontran kita. Meski tak semua begitu. Tapi begitulah yang terjadi.
Bang kumis, Andi Malarangeng mengatakan bahwa demonstrasi adalah bunga-bunga demokrasi. "Silahkan berdialog, berargumen, tapi jangan anarkis"pintanya. Memang benar adanya bahwa demonstrasi merupakan hal lumrah dalam alam demokrasi. Terlebih ketika parlemen tak memiliki daya dan tenaga dalam mengatasi aspirasi yang berkembang. Sehingga, demonstrasi biasa disebut sebagai "parlemen jalanan". Tapi justru dari parlemen jalanan inilah, biasanya kekuatan massa terbentuk untuk membuat perubahan yang lebih besar. Jika melihat peristiwa 98 justru disinilah titik pijak perubahan bangsa ini dimulai, bukan dari dalam parlemen yang kala itu menjadi "hamba" penguasa saja.
Disisi lain, tak bisa dipungkiri, peran media begitu besar dalam mendorong terjadinya demokrasi ini. Sayangnya, media hanya men-cover hal yang bombastis dan sensasional saja dari proses demokrasi ini. Ini terbukti dari ucapan seorang wartawan 9 tahun silam ketika saya masih menyandang status mahasiswa. Ia mengatakan kalian percuma saja teriak-teriak. Akan seru kalau ada bentrokan. Itu baru berita. Ini kan kacau balau. Justru yang memprovokasi terkadang wartawan itu sendiri. Bahkan grup media besar, membuat dua koran yang saling bertentangan di Ambon. Ini bukti kecil dari sekian ribu andil media dalam memprovokasi proses demokrasi yang akhirnya sering berujung anarki. Padahal jauh hari jurnalisme damai digembar-gemborkan. Ide ini muncul ditengah berkecamuknya media yang selalu berdarah-darah (kekerasaan). Hingga kini idealime jurnalisme yang santun masih terus diperjuangkan. Sebab idealisme ini kurang mendapat porsi yang lebih dalam media ditengah persaingan media yang makin bebas. Memang tak ada hukum yang melarang media untuk mengekpos tindak kekerasan. Bad news is good news. Itulah pedoman dasar yang dipakai pemilik media. Atas nama oplah dan rating, mereka memburu berita apapun tanpa pernah mau berpikir terhadap eksesnya. Yang penting oplah dan rating naik. Habis perkara. Tak peduli berita itu berdarah-darah dan menitikkan air mata kesedihan, yang penting oplah dan rating berlipat-lipat. Jika sudah begitu, kuncinya cuma satu: diperlukan kecerdasan masyarakat dalam memaknai berita media dalam arus deras demokrasi sekarang ini. Jangan hanya melihat permukaannya saja. Jika tidak maka demonstrasi akan menjadi democrazy yang disertai anarki.
No comments:
Post a Comment