Hal serupa juga dilakukan Ibu Rohmani. Wanita asli Betawi ini telah menjanda dengan anak-anak yang sudah besar. Ndut, demikian biasa wanita berbadan besar ini di sapa. Meski memiliki rumah sendiri peninggalan orang tuanya, dengan beberapa kamar kontrakan, namun ia tak berpangku tangan. Setidaknya sudah tahunan ia menjalani sebagai seorang Yakult Lady. Pembawaan yang ceplas ceplos memudahkan ia menjaring beberapa konsumen. Seperti hari itu, ketika kami mengikutinya. Dalam sekejap beberapa botol kecil Yakult telah berpindah tangan. Bahkan ada seorang ibu yang gigit jari karena tidak kebagian. "Nanti saya datang lagi kok Bu" demikian hiburnya.
Apa yang dilakukan Ibu-ibu ini mengingatkan saya dengan Ibu di rumah. Sejak Bapak meninggal, Ibulah yang membanting tulang membesarkan kami berlima. Prinsip Ibu waktu itu cuma satu: kerja, kerja, dan kerja. Anak-anaknya tak satupun yang tidak diperbolehkan nganggur, apalagi bermain. Harap maklum, jika kami kurang banyak teman bermain. Sebab masa kecil kami, hanya diisi dengan bekerja. Mainanku cuma satu kala itu: sepak bola.
Di keluarga kami semua sudah ada jatah kerjanya. Ada yang ambil kayu, memasak, menggembala kambing, dan tentu juga membantu membuat tape singkong. Dari jenis tapioka inilah Ibu mempertahankan ekonomi keluarga, juga berhasil mengentaskan pendidikan kami. Urusan pendidikan memang tak pernah ditinggalkan Ibu. Setiap kali ada kartu pembayaran SPP datang, setiap itu pula, SPP segera dilunasi. Bahkan sampai satu tahun ajaran. Selain itu juga, jika ada buku pelajaran yang harus dibeli, Ibu segera meminta kami untuk memberi catatan untuk diberikan kepada penjual buku pelajaran tak jauh dari tempat berdagangnya di emperan pasar. Dan hari itu pula biasanya kami sudah memegang buku pelajaran yang diminta ibu guru. Meski berpeluh, tapi itu semua patut kami syukuri kini. Sebab hingga sekarang keluarga kami baik-baik saja. Ibu sudah kami minta untuk "pensiun". Biarlah kami yang menggantikannya.
Ibu Eni, Ibu Rohmani mungkin contoh umum masyarakat pinggiran dalam menyiasati melambungnya harga-harga. Walau tak jarang banyak pula yang akhirnya tergilas dalam perubahan ini dan menyerah terhadap keadaan. Namun rasa optimis harus terus ditumbuhkan. Rasa bahwa masih ada harapan tersisa dari situasi yang sulit inilah yang menjadi semangat untuk terus bertahan dan berjuang.
3 comments:
Weh, nonton juga jeh. Gagasan film ini memang menarik, meski pada penggarapannya kurang mengigit. Tapi tetap saja sebuah peluang untuk sineas kita belajar membuat film yang lebih baik. Wanna make one?
hehehe
rena
Siapa takut. Selama ada kesempatan kenapa tidak?
Btw, kayaknya elu salah kasih komen deh Ren. ;) ?!
Post a Comment