May. Singkat. Itulah judul film yang terpampang. Diliputi rasa penasaran, aku cari infonya di internet. Info singkat yang aku dapat bahwa May merupakan kisah cinta dengan latar belakang kesaksian atas peristiwa yang merupakan catatan kelam bangsa Indonesia yaitu Peristiwa Mei 98. May menggambarkan bagaimana cinta antara tokoh Antares yang pribumi dan May yang warga keturunan harus berpisah dan hancur lebur karena peristiwa sosial yang terjadi, termasuk memisahkan orang-orang sekitar mereka. Namun demikian May juga menampilkan upaya penyembuhan luka dan pemaafan melalui cinta.
Sayang karena agak terlambat, aku tidak mengikuti pemutaran film ini dari awal. Alur maju mundur terlihat jelas di film ini. Angle dokumenter terasa sekali dalam proses pengambilan gambar film ini. Sangat memanjakan indra penglihatan kita. Maklum DOP film ini adalah seorang dokumentaris, Ical Tanjung yang memang sudah malang melintang di jagad dokumenter.
Melihat film ini awalnya saya berharap dapat melihat "rekonstruksi" utuh tentang kejadian 10 tahun silam. Maklum, saya termasuk yang melihat langsung sejarah kelam itu. Namun harapan tinggal harapan karena ini hanyalah sebuah film semata. Adegan kerusuhan, penjarahan, kebringasan 10 tahun silam tak terekam jelas. Hanya simbol-simbol saja yang berbicara. Itu pun tak tuntas sekali. Yang ada hanya samar-samar saja. Padahal dalam benak saya, justru bagian ini yang harusnya menjadi titik perhatian dalam film ini. Namun lepas dari itu semua, dramaturgi cerita film ini patut diacungi jempol. Akting Jenny Chang yang memerankan May menurut saya sangat baik. Dia mampu memerankan dua tokoh di beda jaman dengan baik, meski tidak bisa dikatakan terlalu baik. Kecentilan vs kedewasaan inilah yang menjadi kontradiksi peran May. Dia yang selalu manja dengan Antares sepuluh tahun silam berbanding terbalik dengan kondisi dia kini yang harus tumbuh sendiri tercerai berai dengan masa lalu, anak yang tak dikehendaki, juga terpisah dengan Cik Bing (ibunya) sendiri. Sayangnya, bagi saya kisah cinta May & Antares terasa sangat datar. Kisah manusia yang berbeda mungkin akan menarik jika disertai pertentangan orang tua yang memang biasa terjadi. Bagaimana perjuangan mereka dalam mewujudkan cinta itu akan menarik kalau dieksplor lebih lanjut. Mungkin karena urusan durasi, sehingga point ini kurang tergarap. Sementara itu, akting yang kurang maksimal justru datang dari Yama Carlos (Antares), pacar May. Kurang maksimal. Selebihnya akting aktris pendukung seperti Ria Irawan, Lukman Sardi, Niniek L Karim mampu menutupi kekurangan-kekurangan sebagai mana terjadi pada sebuah produksi film. Namun dari sekian banyak peran, menurut saya, justru peran Lukman Sardi yang harus diapresiasi. Dia mampu berperan sebagai orang Jawa yang patuh dan memiliki prinsip, juga memiliki hati nurani. Meski sukses, tapi karena diliputi perasaan bersalah karena telah menggadaikan sertifikat rumah Cing Bing (ketika Cing Bing mau meloloskan diri ke luar negeri), ia mati-matian berjuang, termasuk menanggung malu keluarganya sendiri demi mengobati perasaan bersalahnya kepada keluarga Cik Bing. Baginya, hidup sederhana tak memiliki beban nurani jauh lebih bermartabat daripada hidup kaya raya namun di atas derita orang. Point ini yang menurut saya kejelian penulis cerita film ini. Sebuah nilai yang patut dilihat dan diteladani punggawa negara kita yang masih jauh dari "nurani" ini.
Meski ending film ini terasa kurang menggigit, namun tontonan malam itu benar-benar sarat makna. Meski pula yang melihat malam itu bisa dihitung dengan jari, namun saya yakin mereka yang pulang ke rumah pasti membawa sesuatu. Seonggok sejarah kelam bangsa yang jangan sampai terjadi lagi!
No comments:
Post a Comment