Agak terlambat aku melihat tayangan siang itu. Di kotak ajaib terpampang seorang ibu, menggendong setengah menyeret anaknya. Rambutnya hampir semua berganti uban. Sepotong adegan itu lalu diikuti sebuah cuplikan judul, Tukirah. Rentetan wawancara dalam bahasa Jawa menyusul, tentu diiringi teks warna kuning. Dokumenter cerita itu terus mengalir. Ya Tukirah, dengan penuh kesabaran mengasuh ketiga anaknya yang mengalami kecacatan sejak lahir. Tanpa kenal lelah tentu. Mulai dari memandikan, menyuapi, hingga membantu anaknya ketika buang hajat. Jika dilihat, ketiga anaknya sudah dewasa dengan kumis menggelatung.
Bagi Tukirah, anak dengan segala kondisinya merupakan titipan yang di atas. Harus tetap disyukuri. Segenap waktu seluruhnya ia dedikasikan hanya untuk merawat ketiga anak-anaknya. Banyak yang memuji keteguhannya, namun tak jarang ada pula yang mencibir. Namun semua itu hilang dengan ketelatelannya dalam menjaga & membesarkan ketiga anaknya itu. Dengan keriangan seorang ibu, ia terus menemani anak-anaknya. Beruntung ia memiliki suami yang penuh perhatian. Suaminya, Samidan, seorang pendidik. Walau ia tak berpendidikan tinggi, namun ia memperoleh banyak pelajaran dari sang suami. Tukirah kadang merasa malu. Malu karena waktunya lebih banyak mengurus sang anak. Tugas sebagai istri akhirnya menjadi korban. Namun sang suami justru mendukung. Ia tidak pernah menuntut. Kadang kala pagi sebelum berangkat kerja sang suami tak sempat sarapan. Begitu sampai rumah, ternyata Tukirah juga belum sempat menyiapkan semuanya. Suaminya sangat mengerti dengan kondisi ini. Bagi Tukirah dan suami, anak-anak mereka adalah yang utama. Samidan tak pernah mau diistimewakan. Kadang kala, ketika makan, Tukirah mendahulukan sang suami, namun justru hal itu ditampik Samidan. Ia tak mau diistimewakan. Yang perlu diistimewakan adalah ketiga anaknya.
Walau terlihat teguh, ternyata Tukirah menyimpan kegundahan. Apalagi jika bukan ketakutan akan usianya. Ia takut jika kelak di panggil Yang Kuasa, siapa yang lantas mau menjaga anak-anaknya. . Ia justru berharap biarlah anak-anaknya dulu yang dipanggil. Sebab menjaga anak dengan keterbatasan, tak hanya butuh kesabaran. Sentuhan seorang Ibu diyakini tak akan pernah tergantikan.
Selamat hari Ibu.
No comments:
Post a Comment