Sebuah pagi yang muram. Mendung sendu bertebaran. Tapi nyanyi burung terdengar riuh di pohon mangga. Hari itu sudah waktunya bayar pajak "si hitam". Niat hati bangun pagi, tapi rengek malas menggelayut. Agak siang akhirnya baru ku pacu "si hitam" ke samsat. Setengah jam sudah "si hitam" mengguncang badanku. Tiba jua akhirnya di kantor itu. Gedungnya tinggi, kokoh. Parkir motor sudah agak penuh. Wah coba kalau pagian dikit, pasti kebagian ditempat yang sejuk. Beberapa orang hilir mudik membawa berkas. Di sudut sana, kantin mulai ramai orang untuk mengganjal perut yang tak sempat sarapan. Di ujung berikutnya tukang foto kopi sibuk menerima order. Dengan gesit ia merobek lembar demi lembar dengan bekas plat nomor kendaraan. "Mas, habis ini kemana nih" tanya ibu muda. "Ya masukin aja tuh ke kantor sana" tunjuk seorang bapak di sebelahku. "Duh ribet nih kayaknya" timpal ibu muda ini. Dari gelagatnya bisa dipastikan ini adalah pengalaman pertamanya mengurus & membayar pajak. Tak berselang lama, selesai juga foto kopianku. "Semua 2.000 Mas" ujar tukang foto kopi itu.
Alat detektor (entah berfungsi atau enggak) mencegat di pintu masuk. Beberapa orang berjaga-jaga waspada. Begitu masuk ternyata sudah ramai. Terlihat seorang polisi berpakaian resmi memakai selendang bertuliskan "Pemandu". Terlihat ada perubahan memang. Langsung saja mampir ke satu loket mengambil formulir pendaftaran. Sejurus aku sudah ditengah-tengah kerumunan orang mengisi lembaran kosong itu. Disana disediakan alat tulis, juga contoh lembar isian yang harus diisi. Aku bertemu lagi dengan ibu muda tadi. Lagi-lagi ia bertanya. "Ini gimana ngisinya Mas" ujarnya cemas. Hampir semua orang menjadi korban ketidaktahuannya. Padahal jelas-jelas disana tertulis jelas contoh pengisian formulir itu. Ternyata tidak hanya ibu muda ini saja yang bertanya. Seorang bapak tua juga bertanya hal yang sama. Belum lagi seorang anak muda berikutnya. Padahal disana semua sudah terpampang jelas. "Apa mereka tidak membaca ya?" pikirku. "Atau jangan-jangan mereka memang tidak bisa membaca?". "Masak hari gini masih ada orang gak bisa membaca sih?".
Ingatanku menerawang pada tulisan seorang teman di Bali. Karena sedang menggelar hajatan, tokonya tutup sementara waktu. Di depan toko jauh hari terpampang pengumuman kalau hari itu toko tidak buka. Namun apa lacur. Masih banyak saja orang datang menanyakan tokonya buka atau tidak hari itu. Sekali dua kali ia masih sabar memberi penjelasan. Tapi lama-lama ia jengkel juga. Dengan dongkol ia menyuruh membaca tulisan di depan toko setiap kali orang bertanya.
Di tengah berpacu menghindari jalan keriting sepanjang jl. Daan Mogot, aku termenung atas semua kejadian tadi. Ternyata banyak dari kita memang tidak pernah benar-benar melihat bacaan dengan baik. Lebih senang mendengar dan melihat daripada membaca. Lihat saja di bawah tanda dilarang parkir ternyata banyak pula mobil berjajar seenak hati. Tak heran banyak rumah di pintu tertulis: "SELAIN ANJING, DILARANG PARKIR DISINI". Aku jadi teringat ketika masih SD, di setiap genteng rumah terpampang B3B, bebas tiga buta. Sebuah program mulia pemerintah kala itu. Salah satunya bebas buta aksara. So, jangan-jangan kita memang belum sepenuhnya B3B! Jadi kita masih saja mengalami buta baca.
No comments:
Post a Comment