Monday, November 24, 2008

Harga Sebuah Stempel

Pagi itu jam tanganku belum lama beranjak dari angka sembilan. Suasana lalu lintas sudah mulai ramai. Tapi kantor kelurahan Duri Kosambi masih agak sepi. Meski di dalam ternyata sudah banyak warga yang mengantri mengurus berbagai surat. Di temani kakakku, hari itu aku bermaksud mengurus beberapa surat. Maklum, negara ini memang tak pernah lepas dari soal birokrasi. Di dalam kantor yang berasap karena rokok itu, ada seorang ibu yang mengurus surat domisili. "Untuk buka rekening Pak" jawabnya ketika di tanya petugas.

Beberapa orang juga tampak menunggu giliran. Dengan berbagai keperluan mereka datang. Tak menunggu lama, akhirnya giliranku tiba. "Pak ini surat pengantarnya dari RT" ujarnya sambil menyerahkan secarik kertas putih. "Ya pokoknya bikin sesuai surat pengantar ini Pak" pintaku. Bunyi mesin printer terdengar ditengah keheningan pagi itu. Berharap segera selesai semua urusan ada di kepala barisan antrian. "Pak Lurah lagi ke wali kota" ungkap seorang petugas. "Wah berarti gak bisa selesai dong hari ini" timpal seorang bapak. "Tapi biasanya sih sekretaris lurah udah bisa kok Pak" hiburnya. "Duh hampir saja umpatan aku lontarkan". Beruntung urusan pagi itu di kelurahan cepat selesai. Tanpa ba bi bu, sekretaris lurah yang masih muda membubuhkan tanda tangan satu per satu.

Mendung tebal menggelayut di luar. Lalu lalang kendaraan makin padat saja. Jalanan ternyata sudah agak gerimis. Motor, gerobak, mobil saling bertarung merebut jalan. Klakson menggema dimana-mana. Tiba saatnya setelah kelurahan, kantor kecamatan yang harus dituju. Ini pengalaman pertama. Maklum tak pernah sekalipun aku berurusan dengan kantor ini. Suasana pagi itu sepi sekali. Beberapa pegawai tampak baru datang. Pelampung dan persiapan banjir teronggok di sudut kantor kecamatan yang agak lusuh. Tiba di lantai dua. Setelah menyerahkan berkas kepada seorang pegawai, segera ku istirahatkan badanku. Di bangku itu kudapati seorang ibu menunggu cap untuk mendapatkan gakin dari rumah sakit. Orangnya sudah paruh baya. Suaminya terkena vonis prostat di rumah sakit. Di seberang sana, beberapa pegawai kecamatan sibuk baca koran. Ada yang ngobrol. Ada yang bawa map kesana-kemari. Ada yang mengumpulkan uang untuk beli gorengan. Sangat kontras dengan kegelisahan Ibu ini. "Ibu sudah lama?" tanyaku. "Sudah Mas, tapi saya tak tahu juga kok lama begini". "Padahal kayaknya ya gak rame-rame amat ya". "Yah sabar deh Bu" hiburku. Setengah jam sudah berlalu. Akhirnya panggilan itu datang juga. "Saya duluan ya Mas" pamitnya. "Iya Bu silahkan". Tak kurang lima belas menit, namaku akhirnya di panggil. "Mas ini ada biaya untuk bulan dana PMI". "Masing-masing 5000, jadi semua 10.000". Kaget bukan kepalang. Padahal disana tercetak jelas bahwa satu kwitansi bulan dana PMI itu hanya 1.000. Seribu. SE-RI-BU. Dengan berat hati akhirnya kuikuti kemauan pegawai berkerudung itu. Aku yakin Ibu tadi juga kena jumlah yang sama. Jumlahnya mungkin memang tidak banyak. Tapi jika dikalikan dalam sehari saja, potensi korupsi dana PMI di kecamatan ini sangat besar. Ini baru satu kecamatan. Kalikan saja dengan jumlah kecamatan di Jakarta. Maskud PMI yang mulia, ternyata masih saja dikotori oleh tangan-tangan tak bermoral. Jika kwitansi dana PMI saja di korupsi, gimana dengan proyek yang lain. Sebuah harga stempel yang mahal tentunya.

2 comments:

Anonymous said...

Memang susah Mas Wid, kebiasaan korupsi ini sudah berakar dari zaman Belanda dulu, katanya. Sampai-sampai masyarakat sudah pasrah, kalau cuma dikenai IDR 10.000 masih bersyukur, tempat lain pungutannya bisa lebih gila, dsb. Padahal tetap aja judulnya korupsi. Aku percaya kuncinya adalah pendidikan. Suatu saat nanti kalau pendidikan sudah merata (termasuk pendidikan budi pekerti dan anti korupsi), korupsi akan lenyap (sedikitnya berkurang) di negara ini.

hidoep@perjoeangan said...

Emang. Dari urusan remeh temeh aja kita mulai dengan sogokan.